Oleh: Dwi Indah Lestari
Kaum perempuan hidup di tengah masyarakat dalam dua kehidupan. Yaitu kehidupan umum dan kehidupan khusus. Batasan yang membedakan dari dua kehidupan ini adalah apakah saat memasuki kehidupan tersebut, dibutuhkan ijin atau tidak. Kehidupan khusus membutuhkan keridhaan atau ijin dari pemiliknya saat orang asing ingin memasukinya.
Memahami kedua kehidupan ini sangatlah penting. Karena berhubungan dengan hal-hal yang diperbolehkan dan dilarang saat berada di masing-masing kehidupan tersebut. Berkaitan dengan gambaran kehidupan khusus perempuan (muslimah), hal ini dijelaskan dengan gamblang dalam kitab Nizhom Al Ijtima’i fii Islam, Bab Kehidupan Khusus, yang ditulis oleh Syeikh Taqiyyuddin An Nabhani.
Dalam kitab tersebut dijelaskan, kehidupan khusus merupakan keadaan dimana manusia hidup di dalam rumahnya bersama dengan anggota keluarga lainnya. Di dalamnya Allah telah menetapkan hukum-hukum yang khas untuk memecahkan persoalan yang terjadi.
Di antara hal yang menonjol dalam pengaturan kehidupan khusus adalah, bahwasanya syariat telah menjadikan pengaturan kehidupan tersebut yaitu di dalam rumahnya, sepenuhnya ada di tangan pemiliknya. Siapapun dilarang memasukinya kecuali telah mendapatkan ijin dari pemilik rumah tersebut.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ بُيُوتِكُمْ حَتَّىٰ تَسْتَأْنِسُوا وَتُسَلِّمُوا عَلَىٰ أَهْلِهَا ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat.” (QS. An Nuur [24]: 27).
Keharusan untuk mendapatkan ijin dari empunya rumah mutlak berlaku untuk rumah siapapun, baik itu muslim maupun nonmuslim. Bahkan saat sang pemilik rumah meminta seseorang untuk kembali atau tidak memberikan ijin, maka ia harus pergi dan tidak boleh memaksa untuk memasukinya.
فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا فِيهَا أَحَدًا فَلَا تَدْخُلُوهَا حَتَّىٰ يُؤْذَنَ لَكُمْ ۖ وَإِنْ قِيلَ لَكُمُ ارْجِعُوا فَارْجِعُوا ۖ هُوَ أَزْكَىٰ لَكُمْ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
“Dan jika kamu tidak menemui seorang pun di dalamnya, maka janganlah kamu masuk sebelum kamu mendapat izin. Dan jika dikatakan kepadamu, “Kembalilah!” Maka (hendaklah) kamu kembali. Itu lebih suci bagimu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. An Nuur [24]: 28).
Terkait dengan kehidupan perempuan di dalamnya, maka Islam telah menetapkan bahwa perempuan hidup di rumahnya bersama sesama perempuan atau dengan mahramnya. Dalam kehidupan khusus tersebut, perempuan diperbolehkan untuk menampakkan auratnya atau tempat-tempat dimana mereka meletakkan perhiasannya, seperti telinga, rambut, leher, dan kaki, dimana dalam kehidupan umum mereka diperintahkan untuk menutupinya.
Namun begitu, Islam membatasi kebolehan menampakkan perhiasan perempuan tersebut hanya pada sesama perempuan dan mahramnya saja. Sebagaimana yang dijelaskan dalam firman Allah berikut;
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا ۖ وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ ۖ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَىٰ عَوْرَاتِ النِّسَاءِ ۖ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ ۚ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau para perempuan (sesama Islam) mereka, atau hamba sahaya yang mereka miliki, atau para pelayan laki-laki (tua) yang tidak mempunyai keinginan (terhadap perempuan) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat perempuan. Dan janganlah mereka menghentakkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu semua kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kamu beruntung.” (QS. An Nuur [24]: 31).
Ayat tersebut jelas menunjukkan kepada siapa saja yang diperbolehkan untuk melihat aurat perempuan dalam batas-batas yang tidak melebihi dalam penampakannya di dalam rumah. Maka selain yang disebutkan dalam An Nuur ayat 31 tersebut, mereka tidak berhak melihatnya.
Apabila dalam keadaan tertentu, sehingga terdapat laki-laki asing di dalamnya, maka perempuan wajib menutup auratnya sehingga hanya nampak wajah dan kedua telapak tangannya saja. Misalnya dalam aktifitas yang memang diperbolehkan bagi perempuan dan laki-laki untuk bertemu di dalam kehidupan khusus, seperti dalam jamuan makan atau menjalin silaturahmi.
Namun kebolehan pertemuan tersebut harus disertai dua syarat yang wajib dipenuhi, yaitu perempuan tersebut harus disertai mahram serta menutup auratnya secara sempurna. Meskipun laki-laki asing tersebut adalah kerabatnya, ia tetap tidak boleh melihat aurat perempuan di kehidupan khususnya itu.
Demikian syariat Islam telah memberikan pengaturan kehidupan khusus bagi perempuan. Semua itu dalam rangka menjaga kehormatan perempuan dan tercapainya ketenangan serta keamanan dalam masyarakat. Dengan begitu, interaksi laki-laki dan perempuan akan terjalin dalam batasan-batasan yang sesuai fitrahnya.
والله أعلمُ ﺑﺎ ﻟﺼﻮﺍﺏ
“dan Allah lebih tahu yang sebenar-benarnya”
Bangkalan, 27 Juli 2021 (22.01)