Oleh: Miliani Ahmad
Begitu beratnya menanggung amanah hingga gunung-gunung, langit dan bumi pun menghindarinya. Allah swt berfirman,
إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنْسَانُ ۖ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا
"Sungguh Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka mereka semua enggan untuk memikul amanat itu dan mereka merasa khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh." (QS. Al-Ahzab: 72).
Menurut Imam Al-Aufi dari Ibnu Abbas r.a, menafsirkan bahwa al-amanah yang dimaksud pada ayat ini merupakan bentuk ketaatan yang ditawarkan kepada gunung, langit dan bumi sebelum ditawarkan kepada manusia yakni Adam a.s. Namun, mereka semua menolaknya dan Adam lah yang menerimanya. Allah swt berfirman, "Apakah engkau sanggup untuk menerimanya?"
Kemudian Adam pun bertanya, "Apakah isinya, Ya Rabbku?"
Allah pun selanjutnya menjawab,
"Apabila engkau melakukan kebaikan maka engkau akan memperoleh balasan dan apabila engkau melakukan keburukan maka siksa pula yang akan engkau terima."
Mendengar hal yang demikian kemudian Adam pun menerima dan siap untuk menanggungnya.
Maka, mulai saat itu berlakulah semua beban amanah tersebut dipikulkan kepada manusia. Konsekuensinya, manusia wajib terikat dengan amanah tersebut yakni taat kepada seluruh yang Allah perintahkan dan menjauhi apa yang dilarangNya.
Tentu amanah yang dibebankan tersebut bukanlah perkara yang mudah. Sebab, akan banyak sekali tipu daya yang akan memalingkan manusia untuk tetap konsisten dalam menjalankan amanah tersebut. Salah satunya, sebagaimana janjinya setan yang akan melakukan segala hal untuk menjerumuskan manusia agar tergelincir mengikuti langkah mereka.
لَعَنَهُ اللَّهُ ۘ وَقَالَ لَأَتَّخِذَنَّ مِنْ عِبَادِكَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا
وَلَأُضِلَّنَّهُمْ وَلَأُمَنِّيَنَّهُمْ وَلَآمُرَنَّهُمْ فَلَيُبَتِّكُنَّ آذَانَ الْأَنْعَامِ وَلَآمُرَنَّهُمْ فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلْقَ اللَّهِ ۚ وَمَنْ يَتَّخِذِ الشَّيْطَانَ وَلِيًّا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَانًا مُبِينًا
''Setan yang dilaknati Allah itu berkata, 'Saya benar-benar akan mengambil hamba-hambaMu bagian (jahat) yang sudah ditetapkan (untuk saya), dan aku betul-betul akan menyesatkan mereka, dan aku akan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan memerintah mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka betul-betul memotongnya (untuk dipersembahkan pada berhala-berhala), dan aku perintah mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu betul-betul mereka mengubahnya'.'' (QS An-Nisaa' [4] : 118-119).
Dalam realitas kehidupan saat ini, tipu daya tersebut amat jelas nampak di hadapan manusia. Salah satu tipu daya yang paling halus namun mematikan adalah tipu daya pemikiran. Kita bisa menyaksikan ada banyak sekali pemikiran-pemikiran yang mampu menggerogoti keimanan manusia. Meskipun tidak langsung membuat pelakunya mengatakan berpaling dari Allah swt atau murtad, namun tindak tanduk kelakuan manusia semakin memperjelas menyimpangnya pemikiran tersebut. Sebut saja saat munculnya pemikiran yang berupaya menjauhkan agama dari kehidupan (sekuler).
Sekilas pemikiran sekuler nampak menjadi jalan terbaik yang dipilih manusia agar tidak terikat seluruhnya dengan agama. Manusia masih bisa beribadah secara ritual namun pada aspek ibadah yang lainnya semisal aspek muamalah justru banyak dikebiri.
Lihat saja sistem pendidikan yang lebih bertumpu pada materi, sistem pemerintahan yang bertumpu pada demokrasi, sistem ekonomi yang lebih bertumpu pada kapitalisme, sistem budaya yang bertumpu pada akal, serta sistem interaksi yang bertumpu hanya pada maslahat.
Kesemua sistem tersebut berjalan sesuai dengan keinginan pemikiran manusia. Padahal pemikiran manusia bersifat lemah dan terbatas. Namun karena tipu daya lebih menguasai, manusia akhirnya lebih menyukai untuk mengikuti kelemahan-kelemahan tersebut. Tanpa disadari, tipu daya-tipu daya pemikiran ini lambat laun menggiring manusia menjauhi esensi amanah yang telah dibebankan atas mereka.
Manusia lebih senang berada pada sisi moderat. Tidak senang meletakkan diri pada posisi terikat keseluruhan (kafah). Mereka pun berupaya menunjukkan kemoderatannya dengan memerankan diri menjadi bagian orang-orang yang memperjuangkan sekularisme. Sementara di sisi lain, mereka pun kerap kali berupaya 'menyerang' manusia-manusia yang konsisten dan komitmen terhadap amanah Allah.
Inilah realitas manusia kebanyakan hari ini. Maka sudah selayaknya kita sebagai manusia yang diberikan kesempurnaan akal tentu memiliki kewajiban untuk bisa berfikir lagi dengan benar. Jika sudah tahu bahwa amanah ini tidaklah mudah, maka langkah yang paling nyata yang bisa dilakukan adalah berupaya untuk terikat kepada amanah tersebut. Bukan mencari pembenaran melalui pemikiran-pemikiran salah agar bisa terlepas dari amanah tersebut.
والله أعلمُ ﺑﺎ ﻟﺼﻮﺍﺏ
“dan Allah lebih tahu yang sebenar-benarnya”
Palembang, 09 Agustus 2021