Oleh: Muslihah
"Menurut anda bagaimana hukum waris itu?" tanya seorang teman saat aku main ke rumahnya.
"Maksudmu?" tanyaku balik. Setahuku ia seorang yang cukup mengetahui hukum agama. Saat kecil ia turut belajar di pondok. Ia pun lulusan Madrasah Aliyah.
"Ya, kan ada waris menurut Islam dan menurut hukum negara."
"Ya, sebagai orang Islam, pasti memilih yang sesuai hukum Islamlah."
"Iya, ya. Tapi kan biasanya anak perempuan itu lebih sayang ke orang tua dibandingkan anak lelaki. Aku, sih kepingin semua dibagi sama rata. Apalagi wanita zaman sekarang kan hampir semua bekerja." Ia mengucapkan dengan pandangan menerawang jauh.
Inilah potret orang Islam masa kini. Akibat sistem kapitalis mereka menjadi orang yang melihat sesuatu dengan sangat dangkal, hanya apa yang ada di depan mata saja. Mestinya ia melihat dengan pandangan iman Islam. Bahwa Allah memberi aturan tentang segala sesuatu pasti yang terbaik untuk hambaNya, termasuk tentang waris. Jika kelihatannya tidak cocok dengan keadaan, maka semestinya keadaan disesuaikan dengan Islam. Bukan sebaliknya.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
اعوذ بالله من الشيطان الرحيم
يُوْصِيْكُمُ اللّٰهُ فِيْۤ اَوْلَا دِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُ نْثَيَيْنِ ۚ فَاِ نْ كُنَّ نِسَآءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ ۚ وَاِ نْ كَا نَتْ وَا حِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ ۗ وَلِاَ بَوَيْهِ لِكُلِّ وَا حِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ اِنْ كَا نَ لَهٗ وَلَدٌ ۚ فَاِ نْ لَّمْ يَكُنْ لَّهٗ وَلَدٌ وَّوَرِثَهٗۤ اَبَوٰهُ فَلِاُ مِّهِ الثُّلُثُ ۗ فَاِ نْ كَا نَ لَهٗۤ اِخْوَةٌ فَلِاُ مِّهِ السُّدُسُ مِنْۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُّوْصِيْ بِهَاۤ اَوْ دَيْنٍ ۗ اٰبَآ ؤُكُمْ وَاَ بْنَآ ؤُكُمْ ۚ لَا تَدْرُوْنَ اَيُّهُمْ اَقْرَبُ لَـكُمْ نَفْعًا ۗ فَرِيْضَةً مِّنَ اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَا نَ عَلِيْمًا حَكِيْمًا
"Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika dia (anak perempuan) itu seorang saja, maka dia memperoleh setengah (harta yang ditinggalkan). Dan untuk kedua ibu-bapak, bagian masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika dia (yang meninggal) mempunyai anak.
Jika dia (yang meninggal) tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh kedua ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga. Jika dia (yang meninggal) mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) utangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana." (QS. An-Nisa' 4: Ayat 11)
Masih kurang jelaslah ayat itu? Bukankah ayat itu sudah menjawab semua pertanyaannya? Bahkan kekhawatiran jika anak lelaki kurang menyayangi di masa tuanya nanti. Jika semua anak paham syariat, maka laki-laki atau perempuan sama saja. Sama-sama memiliki kewajiban berbakti kepada orang tua.
Dan jika ia memahami bahwa menjalankan aturan Allah itu wajib, maka ia tidak usah risau apakah di masa tuanya ia akan bersama anak lelaki atau perempuan. Taklif yang ada pada pundaknya adalah menjalankan hukum Allah, selebihnya serahkan kepada-Nya.
Di lain tempat ada seorang lelaki yang memiliki istri dan beberapa anak, meninggal dunia dengan meninggalkan harta sebuah rumah mewah yang cukup besar. Yang pasti harga rumah cukup sulit dijangkau orang dengan ekonomi menengah kebawah. Di antara mereka ada yang kesulitan ekonomi. Salah seorang kerabat menyarankan agar rumah itu dijual kemudian hasilnya dibagi sesuai hukum waris.
"Aku masih hidup dan sehat, kok rumah diwaris," timpal sang istri dengan sinis.
Padahalkan semua sudah ditentukan bagiannya. Pada ayat berikutnya Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
بسم الله الرحمن الرحيم
وَلَـكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ اَزْوَا جُكُمْ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهُنَّ وَلَدٌ ۚ فَاِ نْ كَا نَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَـكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ مِنْۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُّوْصِيْنَ بِهَاۤ اَوْ دَ يْنٍ ۗ وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّكُمْ وَلَدٌ ۚ فَاِ نْ كَا نَ لَـكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ مِّنْۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوْصُوْنَ بِهَاۤ اَوْ دَ يْنٍ ۗ وَاِ نْ كَا نَ رَجُلٌ يُّوْرَثُ كَلٰلَةً اَوِ امْرَاَ ةٌ وَّلَهٗۤ اَخٌ اَوْ اُخْتٌ فَلِكُلِّ وَا حِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ ۚ فَاِ نْ كَا نُوْۤا اَكْثَرَ مِنْ ذٰلِكَ فَهُمْ شُرَكَآءُ فِى الثُّلُثِ مِنْۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُّوْصٰى بِهَاۤ اَوْ دَ يْنٍ ۙ غَيْرَ مُضَآ رٍّ ۚ وَصِيَّةً مِّنَ اللّٰهِ ۗ وَا للّٰهُ عَلِيْمٌ حَلِيْمٌ
"Dan bagianmu (suami-suami) adalah seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika mereka (istri-istrimu) itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya setelah (dipenuhi) wasiat yang mereka buat atau (dan setelah dibayar) utangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan (setelah dipenuhi) wasiat yang kamu buat atau (dan setelah dibayar) utang-utangmu.
Jika seseorang meninggal, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu) atau seorang saudara perempuan (seibu), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersama-sama dalam bagian yang sepertiga itu, setelah (dipenuhi wasiat) yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) utangnya dengan tidak menyusahkan (kepada ahli waris). Demikianlah ketentuan Allah. Allah Maha Mengetahui, Maha Penyantun." (QS. An-Nisa' 4: Ayat 12)
Tidakkah mereka membaca kitab sucinya? Yang aku tahu istri si-mayit juga seorang guru Qur'an. Ia bahkan sering diundang untuk membaca tilawah di berbagai acara. Bahkan konon pernah menjuarai musabaqoh Tilawatil Quran tingkat propinsi. Akan tetapi demikianlah faktanya. Guru Qur'an pun tak menjamin ia memahami isi dari kitab suci yang diajarkan setiap hari. Kok bisa demikian? Iya, karena ia hanya mengajarkan cara membaca Al Qur'an saja. Tidak dengan kandungannya.
Dimasa ini di sebuah perumahan yang penghuninya lebih banyak orang awam, saat ada seorang yang bisa membaca Al Qur'an sudah sangat terhormat. Penghormatan mereka bisa terlihat dengan cara mereka berbicara yang sopan, dan seringnya bingkisan yang datang untuk beliau. Demikian itu menjadikan beliau terlena dan merasa sudah yang terbaik. Maka saat ada orang yang dianggap lebih rendah menasehati atau mengingatkan, ia menjadi tersinggung. Bukannya introspeksi ataupun mencari kebenaran, ia malah marah merasa diremehkan. Subhanallah.
Seandainya ia mau mendengar nasehat, atau mau mencari kebenaran dari nasehat itu, tentu akan mendapat solusi dari problemnya. Anaknya yang kesulitan ekonomi terurai kesulitannya. Hubungan dengan semua anak-anaknya akan lebih baik. Yang lebih penting yang sudah pergi ke alam baka lebih tenang karena sudah tidak punya sangkut paut dengan harta di dunia. Lebih utama lagi sudah melaksanakan kewajiban membagi harta warisan yang ditinggalkan si-mayit.
والله أعلمُ ﺑﺎ ﻟﺼﻮﺍﺏ
“dan Allah lebih tahu yang sebenar-benarnya”
Mojokerto, 22 Juli 2021