Oleh: Muslihah
Banyak orang bak kebakaran jenggot saat ada teman atau kenalan mengkritik penguasa. Padahal ia juga tidak punya kekuasaan. Ia hanya rakyat biasa, tetapi terlihat sangat tidak terima ketika ada yang mengkritisi kebijakan penguasa. Mereka selalu mengatasnamakan kewajiban taat kepada ulil amri. Mungkin mereka memakai dalil ayat ini, Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
اعوذ بالله من الشيطان الرحيم
يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْۤا اَطِيْـعُوا اللّٰهَ وَاَ طِيْـعُوا الرَّسُوْلَ وَاُ ولِى الْاَ مْرِ مِنْكُمْ ۚ فَاِ نْ تَنَا زَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَا لرَّسُوْلِ اِنْ كُنْـتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِا للّٰهِ وَا لْيَـوْمِ الْاٰ خِرِ ۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا
"Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan ulil amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu, lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (QS. An-Nisa' 4: Ayat 59)
Di awal ayat ini, memang jelas diperintahkan agar taat kepada Allah, Rasul dan ulil amri (pemegang kekuasaan). Akan tetapi harus dipahami bahwa ketaatan kepada Ulil Amri itu sebatas ketika perintah (aturan) sang pemegang kekuasaan itu tidak bertentangan dengan syariat Allah.
Sedangkan pada masa kini, kebanyakan aturan tidak sesuai dengan Al Qur'an maupun Sunnah Rasulullah. Banyak syariat yang diabaikan. Perhatikan riba ada di mana-mana. Semua legal menurut hukum negara. Apakah riba itu tidak bertentangan dengan syariat Allah? Konon minuman keras dilarang, tetapi pabriknya legal. Apakah ini taat kepada Allah? Kalau demikian apa kaum muslimin harus selalu taat tanpa tapi?
Dalam sebuah riwayat disebutkan
لا طاعة لمعصية الله
Artinya: tidak ada ketaatan kepada maksiat kepada Allah.
Dalam riwayat lain
لا طاعة لمخلوق لمعصية الخالق
Artinya: Tidak ada ketaatan kepada makhluk untuk bermaksiat kepada Al Kholiq (Sang Pencipta).
Sementara itu ada kelanjutan ayat ini, "Kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikan kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (Sunnahnya) jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian."
Frasa ini sering dilupakan oleh mereka. Mereka yang kebakaran jenggot saat penguasa dikritik, hanya mencukupkan sampai kewajiban taat kepada ulil amri saja. Menafikan lanjutan ayat tersebut. Apakah yang demikian ini bisa dibenarkan?
Padahal Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
بسم الله الرحمن الرحيم
فَلَا تُطِعِ الْمُكَذِّبِيْنَ
"Maka janganlah engkau patuhi orang-orang yang mendustakan (ayat-ayat Allah)." (QS. Al-Qalam 68: Ayat 8)
Bisa dilihat dalam banyak kebijakan, penguasa saat ini tidak berpijak pada aturan Allah saat membuat kebijakan. Mereka melakukan segala sesuatu hanya demi kepentingan pribadi dan kelompok saja. Berdalih menegakkan hukum, tetapi hukum buatan mereka sendiri. Meskipun itu tidak sesuai dengan syariat Allah.
Bukankah menafikan kelanjutan ayat itu sama halnya menganggap tidak ada? Bukankah menganggap tidak ada itu bahasa lain dari mendustakan? Kalau demikian apakah masih ada kewajiban taat kepada penguasa? Kasihan sekali mereka, membela sesuatu tanpa berdasar Al Qur'an. Padahal mereka jelas-jelas beragama Islam, tetapi lupa jika dalam berperilaku harus berpedoman pada Al Qur'an.
Di sisi lain ada perintah untuk selalu amar makruf nahi mungkar dan saling mengingatkan dalam kebenaran. Dalam surat yang selalu dibaca anak-anak TPQ menjelang pulang.
بسم الله الرحمن الرحيم
والعصر ان الانسان لفي خسر الا الذين امنوا وعملوا الصالحات وتواصوا بالحق وتواصوا بالصبر
"Demi masa. Sesungguhnya manusia itu berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang beriman dan mengerjakan amal saleh dan saling menasihati dalam kebenaran, dan saling menasihati dalam kesabaran." (QS Al Asri ayat 1-3).
Maka apakah salah jika mengingatkan penguasa yang melanggar aturan Allah? Bukankah dengan mengingatkan itu bukti sayang kepada yang diingatkan? Agar yang diingatkan tidak terlalu jauh terjerumus ke dalam kedzaliman?
والله أعلمُ ﺑﺎ ﻟﺼﻮﺍﺏ
“dan Allah lebih tahu yang sebenar-benarnya”
Mojokerto, 17 Juli 2021