Oleh: Muslihah
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
اعوذ بالله من الشيطان الرجيم
وَ اَوْفُوْا بِعَهْدِ اللّٰهِ اِذَا عَاهَدْتُّمْ وَلَا تَنْقُضُوا الْاَ يْمَا نَ بَعْدَ تَوْكِيْدِهَا وَقَدْ جَعَلْتُمُ اللّٰهَ عَلَيْكُمْ كَفِيْلًا ۗ اِنَّ اللّٰهَ يَعْلَمُ مَا تَفْعَلُوْنَ
"Dan tepatilah janji dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu melanggar sumpah setelah diikrarkan, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah itu). Sesungguhnya, Allah mengetahui apa yang kamu perbuat." (QS. An-Nahl 16: Ayat 91)
Ada pepatah mengatakan janji itu adalah hutang. Maka setiap janji harus ditepati. Janji kepada orang tua, kepada istri, kepada anak, kepada murid, kepada atasan, kepada anak buah, pun janji kepada rakyat. Jangan pernah berjanji jika sudah pasti tidak bisa menepati. Seseorang akan merasa kecewa bahkan sakit hati jika menemukan orang yang dipercaya mengingkari janjinya.
Seorang anak yang berjanji akan datang setiap akhir pekan kepada orang tua, akan selalu dirindukan kedatangannya. Maka ketika ia tidak datang di hari yang dijanjikan, orang tua akan bertanya-tanya ke mana putranya kok tidak datang. Mungkinkah ia sakit, atau ada kendala apa hingga tidak mengunjungi orang tuanya sesuai yang dijanjikan.
Menjelang pemilu biasanya banyak calon pemimpin yang mengumbar janji kepada masyarakat agar menarik simpati. Bahkan mereka tidak pernah berpikir apakah akan bisa menepati atau tidak. Yang mereka pikirkan hanyalah bagaimana bisa meraih simpati agar mendapat suara sebanyak mungkin supaya ia terpilih.
Dalam berumahtangga, semua pasangan tentu berharap ia adalah satu-satunya milik pasangannya. Maka ketika mendapati suaminya mempunyai wanita idaman lain akan menjadi sangat menyakitkan bagi istrinya. Demikian pun sebaliknya. Dan lain sebagainya. Intinya ketika seseorang mengingkari janji, saat itu ada pihak yang tersakiti minimal dikecewakan.
Jika terpaksa tidak bisa menepati, maka sampaikan lebih dulu dengan makruf, agar kesulitan kita dimaklumi. Dalam hal menepati janji ini sampai disebutkan bahwa orang yang suka mengingkari janji termasuk tanda orang munafik. Rasulullah Saw bersabda:
الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ
“Tanda orang munafik tiga; apabila berkata ia berbohong, apabila berjanji mengingkari, dan bila dipercaya mengkhianati.” (Hadits riwayat Bukhori Muslim).
Tentu tidak ada yang mau digolongkan sebagai orang munafik bukan? Kalau mengingkari janji saja sudah termasuk tanda-tanda orang munafik, apalagi melanggar sumpah atas nama Allah. Ini sudah masuk dosa besar, yang mewajibkan orang yang melanggarnya harus membayar kafarat tertentu.
Dalam Islam orang yang melanggar sumpah atas nama Allah adalah harus memerdekakan seorang hamba sahaya, atau memberi makan sepuluh orang fakir miskin atau jika tidak mampu, harus puasa selama tiga hari berturut-turut.
Coba kita perhatikan fakta yang terjadi di masyarakat pada saat ini. Terutama di kalangan para pejabat negeri. Setiap kenaikan jabatan, maka mereka disumpah atas nama Allah dan Al Qur'an menjadi saksi. Tapi bagaimana kelakuan mereka? Seseorang dengan memiliki jabatan seharusnya mengayomi masyarakat, malah menuntut untuk dihormati dan disanjung oleh rakyat.
Tidak hanya itu, tidak sedikit pejabat yang dipercaya akan meriayah masyarakat malah tertangkap basah menerima suap demi memperkaya diri sendiri. Atau melakukan suap kepada atasannya agar mendapat kenaikan kedudukan. Padahal di awal menjabat sudah disumpah dengan nama Allah dan Al Qur'an. Apakah mereka bukan orang beragama Islam? Maukah mereka disebut tidak beriman? Relakah jika mereka disebut sebagai orang munafik?
Sungguh Allah Maha Mengetahui apa yang terjadi dan apa yang tersembunyi. Tidakkah mereka menyadari? Demikianlah saat sistem sekuler diterapkan. Agama hanya dipakai sebagai topeng pencitraan. Tidak peduli pada amanah yang harus ditunaikan. Dalam benak yang terpikir hanyalah bagaimana bisa meraih kekayaan.
Tidakkah mereka belajar dari masa lalu, saat Islam tegak diterapkan. Islam memimpin dengan adil sebab para pejabatnya takut kepada Allah. Mereka bersedia menjadi pemimpin sebab berharap meraih pahala fardlu kifayah. Tidak terbersit mencari keuntungan dunia dengan menjadi pejabat negara. Yang ada berusaha menjalankan setiap amanah. Sebab mereka takut mendapat azab neraka. Saat hari pembalasan tiba.
Mereka menyadari setiap saat setiap waktu Allah senantiasa mengawasi. Tidak ada yang luput dari pengawasan Allah meski seujung jari. Maka setiap menjalankan amanah berharap Allah meridloi. Setiap hendak melakukan kecurangan terbayang akan azab Ilahi. Maka kecurangan pun tidak jadi dijalani. Semua itu hanya bisa muncul dari orang-orang yang memiliki iman kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya.
Yang demikian itu butuh lingkungan yang mendukung, butuh sistem yang menaungi. Islam satu-satunya sistem yang berasal dari Sang Maha Pencipta. Yang Maha Mengetahui kebutuhan manusia. Semoga Islam segera tegak menaungi hingga Islam rahmatan Lil Alamin bisa dirasakan oleh semuanya. Tidak hanya bagi kaum muslimin, bahkan untuk seluruh umat manusia. Lebih dari itu untuk seluruh alam semesta, termasuk hewan melata dan lingkungannya.
والله أعلمُ ﺑﺎ ﻟﺼﻮﺍﺏ
“dan Allah lebih tahu yang sebenar-benarnya”
Mojokerto, 28 Agustus 2021