Type Here to Get Search Results !

UCAPAN "IN SYAA ALLAH"


Oleh: Muslihah

Penghuni perumahan memang beragam latar belakangnya. Mereka datang dari berbagai daerah. Ada yang dari kota ada pula yang dari desa, ada juga orang desa yang pernah tinggal di kota. Begitupun dengan latar belakang pendidikan, ada yang pernah mendalami agama, lebih banyak lagi yang tidak mengerti agama. Bahkan bisa membaca Al Qur'an dengan benar sesuai tajwid, makhorijul huruf dan sifatul huruf adalah hal yang langka.

Apalagi memahami dan menerapkannya dalam keseharian. Mengenakan pakaian syar'i, memakai jilbab dan kerudung lebar menjadi sorotan bahkan bahan gunjingan. Astaghfirullah. Apalagi mengucapkan "in syaa Allah" saat berjanji atau beraqad tertentu. Dalam benak orang pada umumnya mengucapkan in syaa Allah, bagaikan mainan. Seakan jika berjanji boleh dengan sengaja diingkari dengan mengucapkannya.

Padahal tidak demikian. Ketika seseorang berjanji dan berkata "in syaa Allah", harusnya ia berazam 99% akan memenuhinya, sedang sisa 1% itu milik Allah. Karena manusia tidak pernah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Dan hanya Allahlah yang Maha Mengetahui apa yang akan terjadi kepadanya. Bukankah arti dari ucapan "In syaa Allah," itu adalah "jika Allah menghendaki."

Ternyata hal demikian yang mungkin dianggap sebagian besar kaum muslim saat ini sesuatu yang remeh, itu telah diajarkan Allah empat belas abad yang lalu. Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman,

اعوذ بالله من الشيطان الرجيم
ولا تقولن لشايء اني فاعل ذالك غدا الا ان يشاء الله
Dan janganlah engkau sekali-kali mengatakan terhadap sesuatu, "Aku pasti melakukannya besok pagi". Kecuali dengan mengatakan, "In syaa Allah." (QS Al Kahfi ayat 23-24)

Sudah selayaknya seorang yang berjanji atau beraqad tertentu, menyertai dengan ucapan, "in syaa Allah." Misal di saat ada yang mengajak datang ke sebuah kajian Islam. Sebaiknya menyertakan ucapan in syaa Allah saat menyanggupi untuk datang. Pernah suatu kali saya diminta hadir di acara khitanan Al Qur'an yang diadakan di salah satu rumah warga. Saat itu aku jawab, "Iya, Bu. In syaa Allah." Eh, malah si ibu menyangkal, "Jangan in syaa Allah, Bu! Beneran datang, ya!"

Nah, padahal dalam hati aku sudah benar-benar bermaksud untuk datang. Saat itu kujawab lagi, "Iya, Bu. In syaa Allah. Sebab saya tidak tahu apa yang akan terjadi dengan diri saya setelah ini. Bagaimana jika saya pulang dari sini, kesandung jatuh lalu mati? Saya jadi tidak bisa hadir di rumah jenengan, kan?" Ma syaa Allah.

Yang seperti ini terjadi di sebagian besar masyarakat muslim hari ini. Hal itu disebabkan sekulerisme yang mendarah daging, hingga tidak pernah melibatkan Allah dalam kehidupan sehari-hari. Padahal untuk bisa bernafas saja manusia tidak bisa jika bukan karena kasih sayang Allah.

Mereka mengaku beriman Islam yang salah satu rukun iman adalah beriman kepada hari Kiamat. Di hari itu semua amal perbuatan akan dipertanggungjawabkan. Apakah sesuai syariat ataukah tidak. Jika benar mereka beriman, seharusnya tak sulit mengucapkan "in sya Allah" saat mengucapkan janji. Sebab setiap janji akan dimintai pemenuhannya.

Jika kita tidak memenuhi sebuah janji, kemudian terjadi berulang kali, khawatir akan dimasukkan ke dalam golongan orang-orang yang munafik. Bukankah salah satu tanda orang munafik itu suka mengingkari janji? Semoga Allah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya hingga kita mampu menjauhkan diri dari sifat demikian. Aamiin~

والله أعلمُ ﺑﺎ ﻟﺼﻮﺍﺏ
“dan Allah lebih tahu yang sebenar-benarnya”
 
Mojokerto, 2 Agustus 2021. Pukul 23.53

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.