Oleh: Umi Rizkyi
Setiap manusia memiliki hak untuk memilih. Dalam segala hal. Sebagai seorang muslim, ada yang taat ada yang maksiat. Ada yang takwa, ada pula yang durhaka. Ada yang senantiasa menjalankan perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Ada yang kaya, ada yang miskin. Penuh rasa syukur, atau selalu dalam sifat yang kufur nikmat.
Semua itu adalah sebuah pilihan. Bukan sebuah takdir yang telah ditentukan oleh Allah SWT. Bukan pula sebuah qada' yang telah ditentukan Sang Pencipta atas diri seseorang. Namun semua itu lagi-lagi adalah sebuah pilihan seseorang.
Sebagai contoh, seorang pencuri bukan karena ia ditakdirkan sebagai pencuri. Namun atas ikhtiarnya dalam menjemput rejeki dari Allah yang salah yaitu dengan mengambil jalan pintas, serba enak, cepat, praktis, tidak harus bekerja lebih keras lagi, malas berupaya untuk mencari rejeki yang halal dan Toyib akhirnya ia mencuri. Jika ia sedikit saja menggunakan akalnya, ia akan berfikir beribu-ribu kali untuk mencuri. Tak akan semudah itu ia berbuat. Sehingga ia akan berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkan rejeki dari Allah SWT dengan cara yang halal. Misalnya dengan sebagai pekerja harian, penjaga toko, memulai bisnis dan lain sebagainya.
Sebagai seorang pejabat, yang tugas utamanya adalah melindungi, mengayomi, menjaga dan memelihara seluruh warganya apapun akan dilakukannya. Menjadi seorang pejabat yang jujur, amanah, sopan, tidak sombong, suka menolong, peka terhadap warganya, tanggap terhadap lingkungan sekitar.
Bukan malah sebaliknya, bersifat sayang, peduli, empati dan halus terhadap penguasa di atasnya namun keras, tega, korupsi dan mencampakkan warganya. Hal ini menunjukkan, bahwa mau menjadi penguasa yang baik atau buruk ialah sebuah pilihan seorang penguasa.
Pedagang, menjadi pedagang yang amanah, jujur, berjual-beli dengan aqad yang sesuai Islam dan tidak melanggar hukum syariah. Baik barang yang dijualbelikan atau syarat sah jual beli lainnya. Dalam Islam ada syarat sah jual-beli yaitu ada penjual dan pembeli, ada barang yang diperjualbelikan (barang-barang yang halal), tidak ada dusta dalam proses jual-beli serta aqad yang syar'i.
Nah di sini menjadi seorang pedagang yang sesuai syariah atau yang melanggar syari'ah adalah sebuah pilihan. Tidak merupakan takdir yang Allah berikan dan tuliskan di kitab lahfud Mahfudz.
Dalam berbagai contoh hal di atas menunjukan bahwa sebagai seorang muslim hendaklah masuk Islam secara kaffah, bukan hanya sebagian-sebagian tertentu saja.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا ادْخُلُوْا فِى السِّلْمِ كَاۤفَّةً ۖوَّلَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِۗ اِنَّهٗ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ
"Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu." (QS. Al-Baqarah[2]:208).
Oleh karena itu, Allah SWT memerintahkan agar seorang muslim untuk masuk Islam secara kaffah. Menerapkan Islam dalam segala aspek kehidupan. Dari ekonomi, sosial, politik, muamalah, nikah, pergaulan, kesehatan, pendidikan dan lain sebagainya. Tidak hanya menerapkan Islam dalam urusan ibadah saja. Seperti solat, zakat, puasa dan haji. Namun dalam aspek pendidikan, ekonomi, pergaulan dan sebagainya tidak sesuai dengan aturan Islam.
Aturan Islam itu ada hanya untuk diterapkan oleh umatnya, seluruhnya tanpa terkecuali. Jadi aturan Islam itu bukan menu prasmanan di sebuah acara pesta. Bisa memilih apa yang disukai diambil. Sebaliknya yang dibenci ditinggalkan, mesti itu adalah sebuah perintah dari Allah SWT.
والله أعلمُ ﺑﺎ ﻟﺼﻮﺍﺏ
“dan Allah lebih tahu yang sebenar-benarnya”