Oleh: Umi Rizkyi
Pada masa kecilku, banyak hal yang membuat diri ini bertanya-tanya. Penuh rasa ingin tahu. Terkadang juga memicu rasa takutku yang berlebihan. Sehingga terbayang-bayang, susah tidur ketika malam, selalu merasa ada yang mengikuti (hal-hal yang serem dan menakutkan). Padahal juga tidak ada apa-apa.
Tak jarang pula kutemui, orangtua, nenek, paman, orang tua teman, tetanggaku juga melakukan hal yang serupa. Yaitu memberikan sesaji kepada orang tua, nenek, mertua dan anggota keluarga lainnya. Ketika ada acara bersih desa, malam satu suro, lebaran dan lain-lain.
Ada pula yang memberikan makanan, barang-barang tertentu, ada juga yang berbentuk uang untuk ditaruh di pemandian, sendang, sumur, pertigaan jalan, di bawah pohon besar dan lain sebagainya. Tak jarang juga ada ayam panggangnya, sehingga menarik hati anak-anak yang melihatnya ketika itu Termasuk diriku. Maklum tinggal di desa, jarang makan dengan lauk ikan, daging, telur dan sejenisnya. Paling sering bakwan jagung, karena tidak beli (orang tua menanam sendiri di kebun). Namun, karena rasa takutnya terhadap sesuatu yang akan terjadi jika makan makanan termasuk daging ayam panggang tadi. Sesuatu hal yang berbahaya dan fatal bisa terjadi. Akhirnya tidak berani mengambilnya. Dan memakan daging ayam panggang hanya sebatas angan semata.
Ada hal lain lagi, yaitu ketika mendung mengelayut, cahaya matahari mulai tak terang lagi. Gemuruh petir menggelegar. Angin begitu kencang menyapu apapun yang dilaluinya. Kemudian turun hujan. Banyak orang berlarian mengitari rumah mereka, bahkan ada yang telanjang dengan mengucapkan mantra-mantra tertentu.
Hal itu dilakukan mereka karena dipercaya agar hujan turun namun tak membawa petaka atau bahaya. Misalnya angin puting beliung, petir, banjir bandang dan lain sebagainya. Sehingga sayapun sempat menyaksikannya.
Adapula yang menanggapi situasi seperti itu dengan mengikat salah satu tiang di rumahnya. Hal serupa yaitu sambil mengucapkan mantra-mantra tertentu. Terkadang lebih takut mendengarkan mantra-mantra itu dari pada petir, angin, hujan lebat, banjir dan lain-lain.
Banyak hal dari orangtuaku yang mengarah pada perbuatan yang serupa. Misalnya acara bersih desa, lebaran hutan (bikin ketupat pada saat bulan suro. Agar ketika di hutan diberi keamanan dan penjagaan oleh hutan), tasyakuran ketika hari kelahiran dan sejenisnya.
Alhamdulillah, pada suatu ketika aku berusaha dan tetap terus belajar Islam. Aku menyadari bahwa perilaku orangtuaku dan orang-orang yang lainnya adalah termasuk perbuatan syirik. Yaitu menduakan Allah SWT dengan satu hal. Misalnya batu besar, patung, arwah nenek moyang, punden, sendang dan lain-lain.
Maka dari itu, aku mulailah sadar bahwa hal itu merupakan larangan Allah SWT. Sehingga tidak perlu saya melanjutkan tradisi, kebudayaan dan kebiasaan mereka sekalian. Dan sudah menjadi kewajiban menyampaikan kepada orang tua, saudara, paman, nenek dan semuanya bahwa hal itu merupakan dosa besar. Dan juga merupakan perbuatan yang tidak akan diampuni oleh Allah SWT.
Pada peristiwa dan kejadian tersebut, teringat saya dengan firman Allah SWT. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
اِنَّ اللّٰهَ لَا يَغْفِرُ اَنْ يُّشْرَكَ بِهٖ وَيَغْفِرُ مَا دُوْنَ ذٰلِكَ لِمَنْ يَّشَاۤءُ ۗ وَمَنْ يُّشْرِكْ بِاللّٰهِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلٰلًا ۢ بَعِيْدًا
"Allah tidak akan mengampuni dosa syirik (mempersekutukan Allah dengan sesuatu), dan Dia mengampuni dosa selain itu bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sungguh, dia telah tersesat jauh sekali." (QS. An-Nisa'[4]:116).
Sungguh syirik adalah perbuatan dosa besar yang tidak akan terampuni dosanya. Dosa sebesar apapun bentuknya, Allah akan mengampuninya. Namun tidak dengan sifat syirik. Sehingga terdapat sebuah siksa yang perih nan abadi di dalamnya yaitu neraka jahanam. Dan dosa syirik tidak akan diampuni oleh Allah SWT selamanya.
والله أعلمُ ﺑﺎ ﻟﺼﻮﺍﺏ
“dan Allah lebih tahu yang sebenar-benarnya”