Oleh: Mohammad Fauzil Adhim
Ada anak yang ketika kecil nakal sekali, saat dewasa justru menjadi orang besar yang kehadirannya memberi manfaat bagi ummat manusia. Tetapi ini bukan berarti untuk menjadi orang besar, masa kecilnya harus nakal. Imam Syafi’i rahimahullah, semasa kecil menunjukkan antusiasme belajar yang sangat besar, saat beranjak besar semakin berkobar-kobar semangatnya, dan di usia yang masih amat belia, yakni 16 tahun, telah memiliki kepatutan untuk memberikan fatwa. Sebuah kedudukan yang sangat tinggi bagi seseorang yang mendalami agama ini. Beliau juga menjadi peletak dasar ushul fiqh yang sangat berpengaruh hingga kini.
Tidak sedikit pula kita membaca dalam sejarah tentang orang-orang yang membawa kerusakan di masa dewasanya, ternyata saat kecil telah menunjukkan perilaku nakalnya. Bermula dari masa kecil yang tidak tertangani dengan baik, keburukan itu melekat padanya hingga masa dewasa. Ia rusak dan merusak orang lain.
Apa yang ingin saya katakan dengan tulisan ini? Menyederhanakan masalah bahwa kenakalan anak justru bermanfaat untuk keberhasilannya di masa dewasa, merupakan kesimpulan yang terlalu gegabah. Sederhana itu memang tanda kebijaksanaan (simplexveri sigillum), tetapi terlalu menyederhanakan persoalan tanda kurang wawasan dan dangkal berpikir. Sama kelirunya menganggap kenakalan anak merupakan pertanda masa depan yang sangat buruk. Ini juga terlalu menyederhanakan masalah.
Disebuah seminar, seorang bapak dari Dinas Pendidikan setempat menyampaikan dengan sangat mantap. Ia berkata, “Anak nakal itu tidak ada. Sekali lagi, tidak ada. Yang ada adalah over-kreatif.” Ini ungkapan yang indah, memukau dan membodohkan. Jika benar kenakalan itu merupakan bentuk over kreatif, maka mafhum mukhalafah-nya yang tidak nakal pastilah menjadi orang-orang yang sangat kreatif. Tetapi yang kita jumpai tidak demikian. Yang nakal, tidak kreatif. Yang tidak nakal pun sama: tidak kreatif.
Bapak yang terhormat tersebut melanjutkan perkataannya, “Kenakalan itu tidak ada. Yang adalah over energi. Anak memiliki energi sangat besar, tetapi tidak tahu bagaimana menyalurkannya.” Hmm~, bapak kita ini rupanya lupa bahwa salah satu masalah serius kita adalah hilangnya gairah belajar sehingga seakan mereka tidak punya energi. Ditakut-takuti tidak takut, diiming-imingi tidak kepingin. Dan ada anak-anak yang justru menunjukkan perilaku tidak mau mengikuti perintah serta aturan. Semakin ia didorong melakukan, semakin ia menunjukkan keengganan. Ia mengembangkan perilaku 'dawdling' makin disuruh, makin malas ia bergerak.
Bedakan Memahami dan Menjuluki
Belakangan ini banyak orangtua maupun guru yang menghindari kata nakal dengan keyakinan bahwa itu justru dapat menjadikan anak benar-benar nakal. Mereka berusaha menghaluskan kata, memperindah istilah sehingga justru semakin membingungkan. Semakin dihaluskan, makin jauh dari makna aslinya dan bahkan rancu dengan istilah lainnya.
Sesungguhnya menghapus kata nakal samasekali berbeda dengan mengatasi kenakalan. Kekhawatiran para pendidik terhadap istilah nakal sepertinya bermula dari kerancuan antara memahami kenakalan dengan menjuluki anak dengan sebutan nakal. Keduanya sangat berbeda. Kita memang tidak seharusnya memberi label negatif dengan menjuluki anak sebagai anak nakal, bandel dan sejenisnya. Tetapi bukan berarti kenakalan itu tidak ada. Sama halnya seorang da’i harus memahami tentang berbagai bentuk kemaksiatan, tetapi bukan berarti ia patut berkata kepada seseorang yang melakukan maksiat dengan ungkapan, “Wahai Ahli Maksiat!”
Tetapi…
Sebagaimana kita tidak boleh menutup mata bahwa kenakalan itu ada, orangtua maupun guru juga tidak boleh gegabah menilai perilaku anak sebagai kenakalan. Kerap terjadi apa yang dianggap sebagai kenakalan anak, sesungguhnya adalah keengganan orangtua untuk mau bersusah payah sedikit saja. Kadangkala yang bermasalah ketika anak dianggap bertingkah justru kita selaku pendidik. Karenanya, kita perlu berusaha memahami perilaku anak termasuk kenakalan dengan benar. Dan memahami kenakalan tidak sama dengan menjuluki nakal kepada anak!
Ketahui Sebabnya, Selesaikan Masalahnya
Secara umum, ada empat sebab kenakalan anak. Kerap disebut juga tujuan anak melakukan kenakalan, yakni memperoleh perhatian, motif kekuasaan, melakukan balas dendam atau menghindari kegagalan. Yang disebut terakhir ini sebenarnya lebih merujuk kepada kondisi ketika anak dituntut untuk sempurna, tetapi ia merasa tidak akan sanggup memenuhinya, maka dia bertindak nakal justru agar dimaklumi jika nantinya gagal. Jadi, kenakalan merupakan pelarian ketika ia merasa tidak akan berhasil. Tetapi orang lain melihat sebaliknya, yakni ia gagal karena nakal.
Setiap jenis kenakalan memiliki ciri khas (karakteristik) yang berbeda-beda. Salah satu kunci menyelesaikan masalah adalah dengan memahami betul ciri khas kenakalan anak, sehingga dapat secara tepat memahami tujuan kenakalan anak. Jika kita dapat memastikan tujuan kenakalan dan itu hanya satu di antara empat maka akan lebih mudah bagi kita melakukan tindakan yang diperlukan untuk mengatasi kenakalan tersebut.
Adakalanya kenakalan itu bersumber dari rumah, ada pula yang tidak. Disini kita perlu ketahui agar dapat menempatkan masalah dengan jelas. Dalam kasus kenakalan untuk memperoleh perhatian, sumbernya bisa berasal dari rumah, bisa juga berasal dari sekolah. Itu sebabnya, kadang ada anak yang baik di rumah, tapi di sekolah memusingkan guru. Begitupun sebaliknya, kita dapati kasus anak yang di rumah bikin orangtua sakit kepala hampir tiap hari, tapi di sekolah baik-baik saja. Jadi, kenakalan karena ingin memperoleh perhatian umumnya muncul di tempat dimana ia sangat menginginkan perhatian.
Tujuan memperoleh perhatian kadang juga tersamarkan dengan kenakalan karena anak melakukan balas dendam. Seringnya kita menganggap itu sama, tindakan yang dilakukan orangtua atau guru (jika kasusnya muncul di sekolah) juga cenderung serupa dengan penanganan terhadap kenakalan karena ingin memperoleh perhatian. Ini berakibat penanganan menjadi tidak efektif.
Perbincangan tentang kenakalan karena ingin memperoleh perhatian dan kenakalan untuk melakukan balas dendam hanyalah sekedar contoh. Saya hanya ingin menekankan bahwa kita perlu mengetahui sebabnya dengan baik, memahami sumbernya, memetakan secara tepat dan sesudah itu dapat mengambil langkah yang sesuai dengan jenis kenakalan anak.
Semoga perbincangan sederhana ini bermanfaat.
والله أعلمُ ﺑﺎ ﻟﺼﻮﺍﺏ
“dan Allah lebih tahu yang sebenar-benarnya”