Oleh: Umi Rizkyi
Setiap manusia memiliki dua potensi dalam hidup yaitu potensi untuk jadi orang taat atau jadi orang maksiat. Semua itu murni dari diri manusia itu sendiri. Mau jadi orang taat atau jadi orang maksiat?
Semua pilihan murni pada pilihan manusia itu sendiri. Tidak ada manusia yang diciptakan untuk maksiat atau untuk taat. Allah telah menyempurnakan penciptaan manusia dibandingkan dengan mahkluk yang lainnya adalah dengan diberikan akal kepadanya.
Hal inilah yang membedakan antara manusia taat atau maksiat. Jika manusia itu menggunakan akalnya untuk berpikir atas kebesaran dan keagungan Allah SWT maka ia cenderung akan taat kepada Allah. Ia akan senantiasa bersyukur dan melakukan segala sesuatu dengan distandarkan dengan hukum Syara' bukan dengan akal manusia.
Berbeda dengan manusia yang kufur nikmat, tidak mau menggunakan akalnya untuk memikirkan keagungan dan kebesaran Allah SWT. Senantiasa hanya menggunakan akalnya sebagai standard mereka beramal. Jika membuahkan keuntungan dan kesenangan untuk akalnya maka ia akan melaksanakan. Dan sebaliknya jika tidak mendatangkan keuntungan dan kebahagiaan akalnya maka ia akan meninggalkannya. Sekalipun itu wajib menurut syariat.
Misalnya, ia akan meninggalkan solat lima waktu asal dia bisa tetap bekerja dan mendapatkan kebahagiaan akalnya. Padahal telah jelas dalam Islam, bahwa mendirikan solat lima waktu bagi setiap muslim adalah sebuah kewajiban. Namun bagi mereka, solat lima waktu tidak bermanfaat, tidak memberikan keuntungan dan kebahagiaan untuk mereka maka mereka akan meninggalkannya. Padahal telah jelas bahwa hal ini adalah kemaksiatan kepada Allah SWT.
Begitu pula, sebaliknya Allah SWT akan menerima dan membalas kebaikan amal manusia. Walau sebesar biji zarrah. Tidak ada amal kebaikan di sisi Allah yang sia-sia. Tidak bernilai dan tidak ada balasannya. Allah akan membalas dan melipatgandakan kebaikannya itu.
Ada sebuah kisah, ada seorang muslim solih yang senantiasa menjaga dan taat kepada Allah. Pada suatu ketika ia diuji oleh Allah SWT. Di suatu saat ia dalam perjalanan, ia merasakan kehausan yang luar biasa. Kemudian ia berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkan air.
Ketika itu musim kemarau. Jauh dari sungai, di mana ia mudah mendapatkan air minum. Jauh dari pemukiman. Tidak ada sungai yang mengalir. Kemudian dengan rasa dahaganya yang amat sangat, ia tetap berusaha untuk mencari air.
Setelah beberapa lama dan lumayan jauh ia berjalan, ia akhirnya menemukan sebuah sumur tua yang lumayan dalam. Namun airnya hanya sedikit. Tak ada wadah atau alat untuk mengambil air dari dalam sumur itu. Kemudian iapun terpaksa masuk ke dalam sumur itu untuk minum dan menghilangkan rasa haus dan dahaganya setelah beberapa waktu ia menahannya.
Setelah ia merasakan haus dan dahaganya terobati, ia pun keluar dari sumur itu. Namun ketika ia sudah ada di luar sumur itu ada seekor anjing yang nampak kehausan selayaknya yang ia rasakan sebelum menemukan dan meminum air sumur itu.
Karena rasa peduli dan sayangnya terhadap makhluk Allah yang lainnya, ia pun kembali ke dalam sumur itu. Ia mengambil dan membawa air ke atas sumur untuk diberikan kepada seekor anjing tadi dengan sepatu yang ia gunakan tadi.
Dalam kisah ini, ada hikmah yang bisa dijadikan pelajaran yang luar biasa. Yaitu menolong dan menyayangi makhluk Allah yang lainnya. Walau menurut manusia itu hanya hal sepele yaitu memberi minum seekor anjing yang kehausan.
Namun di sini terdapat ketaatan dari seorang hamba-Nya untuk senantiasa menyayangi makhluk Allah yang lainnya. Walaupun itu hanya membantu seekor anjing yang kehausan. Dan akhirnya dengan alasan yang demikian di sisi Allah SWT, ia mendapatkan balasan surga dari-Nya.
Jadi teringat dengan ayat cinta-Nya, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
اِنَّ اللّٰهَ لَا يَظْلِمُ مِثْقَالَ ذَرَّةٍۚ وَاِنْ تَكُ حَسَنَةً يُّضٰعِفْهَا وَيُؤْتِ مِنْ لَّدُنْهُ اَجْرًا عَظِيْمًا
"Sungguh, Allah tidak akan menzalimi seseorang walaupun sebesar zarrah, dan jika ada kebajikan (sekecil zarrah), niscaya Allah akan melipatgandakannya dan memberikan pahala yang besar dari sisi-Nya." (QS. An-Nisa'[4]:40).
Sungguh luar biasa, tidak ada hak sedikitpun bagi manusia untuk menyepelekan amal, sekecil apapun itu. Walau hanya bisa bertutur kata dengan sopan santun, tidak menyakiti hati orang lain. Atau hanya dengan membantu orang yang sedang merasa kesulitan.
Misalnya membantu orang lain untuk meneleponkan anaknya untuk menanyakan kabarnya yang ada di luar kota. Walau hanya sekedar memboncengkan orang yang sedang jalan kaki, yang rumah atau tujuan perginya searah dengan kita pergi.
Dan masih banyak lagi contoh amalan yang mungkin di hadapan manusia itu kecil dan tidak berarti, namun hal itu bernilai besar di sisi Allah SWT.
والله أعلمُ ﺑﺎ ﻟﺼﻮﺍﺏ
“dan Allah lebih tahu yang sebenar-benarnya”