Oleh: Muslihah Saiful
Sebuah perusahaan pasti memiliki aturan, yang sengaja dibuat agar karyawan menjadi tertib. Adanya peraturan dibuat agar pelanggar dikenai sangsi atau setidaknya surat peringatan. Jika sudah pernah mendapat surat peringatan tapi masih melakukan pelanggaran-pelanggaran yang lain bukan tidak mungkin akan dikenai sangsi berat sampai kepada pemecatan sang pelanggar aturan.
Sangsi apalagi pemecahan dengan tidak terhormat tentu sangat menyakitkan, atau setidaknya memalukan. Orang waras tidak akan suka mendapatkannya. Orang normal pasti akan menghindari sangsi. Artinya ia akan berusaha untuk tertib dalam melaksanakan aturan yang telah dibuat oleh perusahaan tempat ia bekerja. Ini baru contoh dari sebuah perusahaan, yang mana jika karyawan melanggar akan merugikan diri sendiri karyawan tersebut.
Apalagi dengan kehidupan ini. Manusia hidup tentu ada yang memberi kehidupan, maka wajar jika Sang Pemberi Kehidupan ini memberikan aturan yang harus ditaati oleh manusia. Allah ﷻ memiliki aturan yang disebut dengan syariat.
Ada kalanya syariat itu berkaitan dengan dirinya sendiri, seperti makanan dan pakaian. Ada kalanya berkaitan dengan Allah ﷻ secara langsung. Ini disebut ibadah makhdhah, contohnya: shalat, puasa, baca Al-Qur'an, berzikir dan lainnya. Ada kalanya syariat itu berkaitan dengan sesama manusia.
Syariat berkaitan dengan sesama manusia ini sangat luas. Termasuk di dalamnya adalah segala macam muamalah. Contohnya, jual beli, sewa menyewa, utang-piutang, sampai masalah budaya, politik, keamanan dan lain-lain.
Setiap pelanggaran aturan Allah ﷻ itulah yang bernama dosa. Setiap perbuatan dosa baik karena meninggalkan perintah atau melakukan larangan Allah ﷻ yang mestinya ditinggalkan, maka bisa dipastikan itu akan menimbulkan kegelisahan dan kerusakan jauh dari kata bahagia.
Seberapa besar kerusakannya, seimbang dengan seberapa besar dosa yang telah dilakukan. Sebesar itu pula kesulitan yang akan ia hadapi. Mengapa seks di luar nikah menurut syariat Islam merupakan kejahatan yang harus mendapatkan hukuman sangat berat, meski dilakukan suka sama suka? Karena dengan adanya pernikahan itulah manusia akan menjadi tertib, sesuai dengan fitrah penciptaan.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
اعوذ بالله من الشيطان الرجيم
وَمَنْ يَّكْسِبْ اِثْمًا فَاِ نَّمَا يَكْسِبُهٗ عَلٰى نَفْسِهٖ ۗ وَكَا نَ اللّٰهُ عَلِيْمًا حَكِيْمًا
"Dan barang siapa berbuat dosa, maka sesungguhnya dia mengerjakannya untuk (kesulitan) dirinya sendiri. Dan Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana." (QS. An-Nisa' 4: Ayat 111)
Allah ﷻ yang menciptakan manusia, tentu paling tahu akan kecenderungan manusia. Apa saja akibat buruk dari perbuatan yang tidak sesuai aturan Allah ﷻ, Allah ﷻ maha mengetahuinya. Semua perilaku manusia yang sesuai aturan dan dilakukan dengan ikhlas demi meraih rida Allah ﷻ, maka ketenangan dan kebahagiaan yang akan ia dapati. Kendati menurut orang lain bisa jadi taat aturan itu ribet. Akan tetapi bagi pelaksananya bisa jadi itulah yang membuat ia tenang dan bahagia.
Pernikahan, mungkin bagi sebagian orang adalah hal yang ribet dan tidak praktis. Hingga mereka lebih memilih tidak perlu mengadakan pernikahan, toh tetap bisa kawin. Tetapi mereka tidak memikirkan akibat dari perbuatan demikian. Kegelisahan, cekcok akibat saling mempertahankan ego, tidak di terima masyarakat dan banyak masalah akan timbul dari perkawinan tanpa nikah. Sebab pasti tidak sesuai dengan fitrah manusia dan tidak disertai dengan iman. Padahal puncak kebahagiaan itu diawali dengan iman.
Hal ini tentu sangat berbeda dengan perkawinan yang hadir dalam bingkai pernikahan dengan niat ibadah untuk menjalankan perintah Allah ﷻ.
والله أعلمُ ﺑﺎ ﻟﺼﻮﺍﺏ
“dan Allah lebih tahu yang sebenar-benarnya”