Oleh: Rita Mutiara
Ghibah artinya menggunjing, membicarakan keburukan orang lain. Istilah populernya adalah gosip. Dalam kehidupan sehari-hari bergosip menjadi makanan sehari-hari terutama di kalangan ibu-ibu. Apakah mereka sadar ghibah merupakan dosa besar? Dalam Al-Qur'an ditegaskan:
إِنَّ الَّذِينَ يُحِبُّونَ أَنْ تَشِيعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِينَ آمَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ ۚ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang, kamu tidak mengetahui. (QS. An-Nur 24: 19)
Kenapa menjadi seorang muslim masih suka berghibah? Allah ﷻ sangat menganjurkan untuk menutup aib sesama muslim. Bukan hanya aib orang lain, aib sendiri pun tidak boleh untuk diumbar. Allah ﷻ yang Maha Pengampun sejatinya telah menutupi aib hamba-Nya, tetapi kebanyakan manusia tidak menyadarinya.
Sebuah hadis dari Salim bin Abdullah, dia berkata, "Aku mendengar Abu Hurairah radhiyallahu’ anhu bercerita, bahwa beliau pernah mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:"
Setiap umatku akan mendapat ampunan, kecuali mujahirin (orang-orang yang terang-terangan berbuat dosa). Dan yang termasuk terang-terangan berbuat dosa adalah seseorang berbuat (dosa) pada malam hari, kemudian pada pagi hari dia menceritakannya, padahal Allah telah menutupi perbuatannya tersebut, yang mana dia berkata, ‘Hai Fulan, tadi malam aku telah berbuat begini dan begitu.’ Sebenarnya pada malam hari Rabb-nya telah menutupi perbuatannya itu, tetapi pada pagi harinya dia menyingkap perbuatannya sendiri yang telah ditutupi oleh Allah tersebut. (HR. Bukhari dan Muslim).
Suatu kelalaian dan dosa besar melibatkan diri berghibah di berbagai kesempatan ketika berkumpul, namun masih sangat banyak orang menganggap itu lumrah.
Penyebab orang melakukan ghibah
Pertama keluar dari mulut orang yang sedang dilanda amarah.
Kemarahan terhadap seseorang dilampiaskan dengan membicarakan kejelekannya. Amarah terhadap seseorang mendorong pelaku membeberkan aib yang bersangkutan, sebab amarah tersebut mengendap dan semakin mengeras dalam batinnya.Seharusnya muslim yang berakhlak mulia berjiwa besar, memaafkan orang sebab masalah itu lebih baik dibicarakan secara terbuka pada orang yang bersangkutan. Dengan demikian amarah tidak menjadi dendam kesumat yang selamanya teringat dan lalu berulang kali menyebutkan keburukan si fulan. Berhati-hatilah amarah dan dendam pemicu dominan ghibah.
Kedua, solidaritas yang salah tempat.
Awal pertemuan berbincang biasa-biasa saja, lalu beralih melontarkan isu, gosip, dan kabar burung tentang seseorang. Muncul solidaritas, menanggapi topik pembicaraan akhirnya masuk dalam pusaran ghibah.
Ketiga, mendegradasi kredibilitas si objek ghibah.
Ini bisa jadi muncul karena faktor persaingan tidak sehat atau untuk tujuan mereduksi kredibilitas seseorang dalam hal persaksian. Pelaku dalam kondisi semacam ini melakukan serangan lebih awal untuk menjatuhkan lawannya itu di depan publik.Ini sangat mungkin terjadi ketika jabatan menjadi menjadi rebutan.
Keempat, dalam pandangan al-Juba'i ialah cuci tangan atas perbuatan yang sama-sama pernah dilakukan dengan si objek.
Ghibah bertujuan mencitrakan diri seolah-olah bersih dan sepenuhnya tidak terlibat, padahal fakta tidak demikian. Pelaku ghibah akan menguak aib yang sebenarnya, ia juga melakukannya. Ia berbohong untuk dirinya sendiri, tetapi ia jujur menguliti keburukan orang lain.
Al-Jubai melanjutkan, pemicu ghibah yang kelima ialah keinginan mengangkat status pelaku dan menjatuhkan martabat si objek dengan merendahkan dan atau menyebarkan kekurangan intelektualitasnya, misal, kepada orang lain.
Tujuannya hanya satu, meninggikan derajat diri sendiri dengan merendahkan orang lain.
Pemicu ghibah selanjutnya yang keenam, menurut al-Juba'I, ialah dengki. Ia tidak ingin saudaranya mendapat nikmat.
Bagaimana agar publik berhenti memuji saingannya itu. Caranya sangat tidak santun dan tidak beretika. Ia akan membuka aib orang tersebut di depan khalayak. Harapannya, rangkaian pujian demi pujian yang selama ini tertuju pada si objek akan terhenti.
Faktor yang ketujuh, al-Juba'i, mengingatkan kita, hendaknya mengindari menggunakan kekurangan dan aib seseorang sebagai bahan candaan.
Sadar atau tidak, candaan tidak pantas kita terhadap si fulan di belakangnya bermuatan ghibah. Meski sekadar ingin mencairkan suasana, memancing gelak tawa, ketahuilah hal itu sama sekali tidak pantas.
Menurut Al-Juba'i menjelaskan penyebab kedelapan, keinginan merendahkan dan menghina si fulan.
sekalipun pembeberan keburukan itu dilakukan di hadapannya dan ia mengetahui dan mendengar, itu pun bisa dikategorikan sebagai ghibah. Sebab, ia tidak menutupi aib dan menjadi bahaan ejekan.
Sementara pemicu ghibah kesembilan, menurut al-Juba'i sangatlah tipis dan halus muatannya.
Ini terkadang terjadi di kalangan orang-orang terdidik. Seperti perkataan demikian, Kasihan si fulan. Saya ikut prihatin. Tidak ada yang salah dengan kalimat ini. Hal yang keliru ialah biasanya kalimat ini disusul dengan membeberkan kekurangan-kekurangan si fulan yang melatarbelakangi mengapa si pelaku ghibah prihatin.
Dan, penyulut ghibah yang terakhir, dalam pandangan al-Juba'i adalah kemurkaan karena Allah ﷻ.
Kok bisa? Ya, ini lagi-lagi kerap menghinggapi mereka yang terdidik dan kalangan khusus seperti ulama. Seseorang bisa saja marah karena si fulan bermaksiat, melanggar larangan-larangan-Nya. Tetapi, secara spontan ia justru kerap membuka aib si fulan tersebut di hadapan orang lain.
والله أعلمُ ﺑﺎ ﻟﺼﻮﺍﺏ
“dan Allah lebih tahu yang sebenar-benarnya”