Oleh: Tini Ummu Faris
وَالْوَالِدٰتُ يُرْضِعْنَ اَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ اَرَادَ اَنْ يُّتِمَّ الرَّضَاعَةَ ۗ وَعَلَى الْمَوْلُوْدِ لَهٗ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِۗ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ اِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَا تُضَاۤرَّ وَالِدَةٌ ۢبِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُوْدٌ لَّهٗ بِوَلَدِهٖ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذٰلِكَ ۚ فَاِنْ اَرَادَا فِصَالًا عَنْ تَرَاضٍ مِّنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا ۗوَاِنْ اَرَدْتُّمْ اَنْ تَسْتَرْضِعُوْٓا اَوْلَادَكُمْ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ اِذَا سَلَّمْتُمْ مَّآ اٰتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوْفِۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ وَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ
"Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna. Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut. Seseorang tidak dibebani lebih dari kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita karena anaknya dan jangan pula seorang ayah (menderita) karena anaknya. Ahli waris pun (berkewajiban) seperti itu pula. Apabila keduanya ingin menyapih dengan persetujuan dan permusyawaratan antara keduanya, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin menyusukan anakmu kepada orang lain, maka tidak ada dosa bagimu memberikan pembayaran dengan cara yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan." (QS. Al-Baqarah, 2: 233)
MasyaAllah, tiba kembali tilawah pada ayat ini. Melalui ayat tersebut selain kita di ingatkan tentang keharusan seorang ibu untuk menyusui anaknya selama dua tahun penuh, kita diingatkan kembali kewajiban nafkah ada di pundak seorang ayah.
Ya, kewajiban menafkahi ada di pundak seorang kepala keluarga. Dalam Islam laki-laki yang sudah balig wajib menafkahi dirinya dan tanggungannya. Bila sudah berkeluarga, ia wajib menafkahi. Bila ia memiliki tanggungan yang lain, semisal ibunya, saudaranya, wajib pula menafkahinya.
Nafkah suami yang diberikan kepada istrinya juga anak-anaknya memang tidak ditentukan berapa nominalnya. Yang jelas, Islam mengharuskan seorang suami optimal dalam menafkahi keluarganya, semampunya. Artinya, bila seorang laki-laki menikahi seorang perempuan kaya, ia tetap harus menafkahinya, sekalipun perempuan tersebut bergelimang harta, artinya cukup. Namun, bukan berarti suaminya harus menafkahinya sesuai standar hidup dia sebelumnya. Tetap, suami wajib menafkahi semampunya dengan ikhtiar maksimalnya.
Kewajiban memberi nafkah ini harus dipahami oleh setiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan. Jangan sampai terjadi salah paham yang akhirnya menimbulkan kekacauan. Islam dengan tegas mengingatkan bahwa seorang suami wajib menafkahi keluarganya. Kewajiban tergantikan jika sang suami sakit, tidak mampu menafkahi. Artinya, bila suami sehat dan mampu berikhtiar menafkahi, kemudian ia lalai dan justru meninggalkan kewajiban tersebut maka ia berdosa.
Dalam kehidupan kapitalis sekuler saat ini, memang kondisi kadang berbalik. Sebagian masyarakat memahami nafkah seakan tidak lagi hal yang wajib dipenuhi segera oleh sang suami atau kepala keluarga. Akhirnya, istri harus banting setir, turun tangan dalam nafkah keluarga.
Kondisi sulitnya mendapat pekerjaan atau bekerja sesuai dengan kemampuan menambah deretan lemahnya nafkah yang diberikan kepada keluarga. Saat ini lapangan pekerjaan seakan lebih banyak tersedia untuk kaum hawa. Sementara untuk kaum adam yang notabene di pundaknya ada kewajiban menafkahi semakin berkurang. Jadilah para istri menjadi tulang punggung keluarga. Padahal sejatinya tulang punggung ada di pundak suami.
Dalam hal ini, kaum muslim tidak boleh kalah begitu saja. Seorang laki-laki muslim harus tetap beroptimal ikhtiar menafkahi sesuai dengan kadar kemampuannya. Entah dengan bekerja ataupun berwirausaha semampunya. Kondisi kapitalis sekuler inilah yang akhirnya mengharuskan kaum hawa terjun ke medan nafkah. Sekalipun kaum perempuan dalam Islam boleh bekerja, namun bukan berarti, kewajiban nafkah beralih ke pundaknya. Istri yang bekerja sifatnya hanya membantu saja, bukan sebagai pelaku utama nafkah. Jadi, kalaupun dihadapkan pada sulitnya mencari nafkah, tidak berarti posisi boleh ditukar. Istri bekerja, suami di rumah.
Memang miris kondisi saat ini. Kaum kafir jelas menginginkan keruntuhan keluarga. Satu per satu bagian penting kaum Muslim dirusaknya. Kaum hawa di giring ke luar rumah untuk bekerja, lapangan pekerjaan pun disediakan untuk kaum hawa lebih banyak, sementara untuk kaum adam sedikit. Akhirnya, beralihnya fungsi suami dan istri. Astaghfirullah...
Kaum Muslim janganlah lemah. Pemahaman yang keliru harus dillawan. Kaum laki-laki hendaknya giat dalam mencari nafkah. Kaum perempuan hendaknya fokus dengan tugas utamanya sebagai ummun wa rabbatul baitnya.
Kaum hawa janganlah terlalu banyak menuntut suaminya dengan nafkah yang melangit. Tetaplah qana'ah dengan apa yang diberikan suami. Tetaplah rida dengan nafkah yang diterima. Kaum adam, tetaplah engkau memaksimalkan diri dalam tugas mulia menafkahi keluargamu. Singkirkan penghalang besar rasa malas dan kesulitan yang ada di hadapanmu. Sungguh, Allah ﷻ sebaik-baik pemberi rezeki. Allah ﷻ lah yang memudahkan.
والله أعلمُ ﺑﺎ ﻟﺼﻮﺍﺏ
“dan Allah lebih tahu yang sebenar-benarnya”