Oleh: Riza Mulyani
MasyaAllah... Maka nikmat Tuhanmu manakah yang kamu dustakan? Begitu firman Allah ﷻ dalam surat Ar-rahman diulang sebanyak 31 kali.
Allah ﷻ telah memberikan kepada manusia, semua keperluan dari segala apa yang dia mohonkan kepada-Nya dan yang tidak dia mohonkan kepada-Nya.
Betapa banyak nikmat yang telah Allah ﷻ anugerahkan kepada manusia, karena kelemahan dan ketidakberdayaan manusia, ia tidak mampu menghitung nikmat Allah ﷻ tersebut, terlebih mensyukurinya. Hal ini sudah Allah ﷻ sampaikan dalam surat Ibrahim ayat 34:
وَاٰتٰىكُمْ مِّنْ كُلِّ مَا سَاَلْتُمُوْهُۗ وَاِنْ تَعُدُّوْا نِعْمَتَ اللّٰهِ لَا تُحْصُوْهَاۗ اِنَّ الْاِنْسَانَ لَظَلُوْمٌ كَفَّارٌ ࣖ
"Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah)." (Q.S. Ibrahim: 34)
Ayat di atas seharusnya menjadi perhatian kita, bahwa manusia memang selalu zalim kepada dirinya, tidak mampu mensyukuri nikmat yang sudah Allah ﷻ anugerahkan padanya.
Terkadang tanpa dia sadari, manusia sering iri melihat kehidupan orang lain yang lebih baik dari dirinya. Misalnya lebih kaya, lebih pintar, lebih dihormati dan lebih sukses. Tidak jarang sering terbersit dalam hati ingin seperti mereka, atau bahkan lebih dari itu.
Sebetulnya keinginan seperti itu adalah hal yang manusiawi. Karena dalam setiap diri manusia punya keinginan suatu perubahan untuk menjadi lebih baik dari waktu ke waktu.
Kalau rasa iri dimaknai kedalam hal yang positif, untuk memotivasi diri, meningkatkan etos kerja, mengembangkan ketrampilan dan lain-lain. Itu adalah hal yang baik dan dibolehkan.
Namun celakanya adalah kalau rasa iri diartikan kedalam hal yang negatif, memunculkan rasa benci kepada seseorang atas keberhasilan orang lain baik berupa harta, jabatan, ilmu dan kesuksesan.
Lebih parah lagi kalau rasa iri berkembang lebih jauh, yaitu menjatuhkan usaha orang hingga bangkrut, memfitnah bahkan yang lebih sadis tega membunuh demi melampiaskan rasa iri tersebut.
Na'udzubillah...
Begitulah fenomena yang terjadi di tengah-tengah kita saat ini, manusia sudah tidak pandai bersyukur. Selalu memandang kehidupan orang lain lebih baik dari dirinya. Seperti pepatah "rumput tetangga lebih hijau dari rumput sendiri".
Memaknai bahagia standarnya materi, menghalalkan segala macam cara untuk mendapatkannya. Inilah buah keberhasilan pemikiran kapitalis mencengkram masuk meracuni benak kaum muslim saat ini.
Visi dalam jiwanya adalah akidah sekuler dan misinya bersifat materialistis. Visi dan misi rendah ini menjadi konsep pelaksana sistem kehidupan sekuler, yang diemban oleh seluruh negara termasuk Indonesia. Jadilah kaum muslim mengadopsi tatanan kehidupan sekuler, sehingga menjauhkan mereka dari rasa syukur kepada Allah Subhanahu wata'ala.
Hal demikian tentunya tidak terjadi pada seorang mukmin yang mengimani Allah Jiwa dan Rasul-Nya. Dia sangat bersyukur atas apa yang ada dalam dirinya, mulai dari anugerah kenikmatan-kenikmatan yang tidak terhitung, hingga potensi yang sudah Allah ﷻ titipkan kepadanya.
Nikmat Allah ﷻ tersebut dia jadikan sebagai modal agar dapat digunakan semaksimal mungkin untuk menjadi orang yang bersyukur dan beruntung.
Kunci bisa menikmati dan mensyukuri kehidupan adalah melihat kedalam diri kita, bukan ke luar (orang lain). Kita lihat apa yang kita miliki bukan apa yang kita inginkan. Bukan pula melihat apa yang orang lain miliki.
Karena yang kita miliki adalah sebuah anugerah yang luar biasa, yang telah Allah ﷻ berikan kepada kita. Sementara yang di luar sana bukan milik kita dan belum tentu baik untuk kita.
Allah Maha Tau yang terbaik untuk hamba-hamba-Nya, sesuai kapasitas yang di miliki hamba-Nya. Allah ﷻ akan memberikan sesuatu kepada orang yang tepat, pada saat yang tepat dan dengan cara yang tepat. Inilah konsep kelayakan menurut Allah ﷻ.
Dengan memahami konsep kelayakan ini, maka tidak akan ada perasaan kecewa dalam diri kita, meskipun apa yang diharapkan belum menjadi kenyataan. Menikmati dan memaksimalkan sesuatu yang kita miliki jauh lebih baik dan lebih bermakna bagi kehidupan kita.
Dengan cara ini, kita sudah menunjukkan rasa syukur kita kepada Allah ﷻ. Maka, kita tinggal berharap, sesuai janji Allah ﷻ bahwa siapa yang bersyukur atas nikmat-Nya, pasti Allah ﷻ akan menambah nikmat kepadanya. Seperti yang termaktub dalam surat Ibrahim ayat 7:
وَاِذْ تَاَذَّنَ رَبُّكُمْ لَىِٕنْ شَكَرْتُمْ لَاَزِيْدَنَّكُمْ وَلَىِٕنْ كَفَرْتُمْ اِنَّ عَذَابِيْ لَشَدِيْدٌ
"Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat."
Satu hal yang menarik, untuk mewujudkan individu-individu yang hanya beriman kepada Allah ﷻ dan Rasul-Nya, tidak bisa dipungkiri membutuhkan support sistem. Sistem yang visinya, yakni akidah Islam, serta misinya sebagai pewujudan kesejahteraan bagi seluruh alam.
Visi dan misi istimewa ini terwujud melalui keberadaannya sebagai pelaksana syariat Islam kaffah. Dengan demikian, nilai ruhiyah, insaniah, moral, dan materi akan terwujud serasi di kehidupan masyarakat.
والله أعلمُ ﺑﺎ ﻟﺼﻮﺍﺏ
“dan Allah lebih tahu yang sebenar-benarnya”