Oleh: Mutiara Aini
Dalam sistem yang ada saat ini, banyak orang menilai kebahagiaan adalah bersumber dari materi. Menimbun harta, memperkaya diri sendiri dan menghitung-hitung kekayaannya. Tidak peduli harta yang didapatkannya itu halal atau haram, yang penting bahagia.
Hal itu ia lakukan karena sangat cinta dan senangnya kepada harta seakan-akan tidak ada kebahagiaan dan kemuliaan dalam hidup kecuali dengan harta. Bila ia menoleh kepada hartanya yang banyak itu, ia merasakan bahwa kedudukannya sudah tinggi dari orang-orang sekelilingnya.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
وَيْلٌ لِّـكُلِّ هُمَزَةٍ لُّمَزَةٍ ۙ
wailul likulli humazatil lumazah
"Celakalah bagi setiap pengumpat dan pencela,"
٭لَّذِيْ جَمَعَ مَا لًا وَّعَدَّدَهٗ ۙ
allazii jama'a maalaw wa 'addadah
"yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya,"
(QS. Al-Humazah 104: Ayat 1-2)
Dia tidak merasa khawatir akan ditimpa musibah karena mencerca dan merobek-robek kehormatan orang lain. Karena kecongkakannya, hingga ia lupa dan tidak sadar bahwa maut selalu mengintainya, tidak memikirkan apa yang akan terjadi sesudah mati, dan tidak pula merenungkan apa-apa yang akan terjadi atas dirinya.
Allah ﷻ tidak melarang kita kaya, Allah ﷻ tidak melarang kita punya pangkat dan jabatan, namun yang harus diperhatikan, apakah Allah ﷻ rida, apakah segala yang kita dapatkan dari hasil yang halal atau haram? Karena jika Allah ﷻ sudah rida, maka hidup kita akan merasa tenang dan nyaman.
Namun sebaliknya apabila Allah ﷻ tidak meridai dan harta yang kita dapatkan hasil dari yang haram, apalagi sampai mendzalimi orang lain, maka hidupnya akan merasa sempit dan jauh dari ketenangan. Bahkan Allah ﷻ mengancamnya dengan neraka.
Banyak orang punya rumah mewah, tapi yang menikmati pembantunya, Banyak orang punya mobil mewah, tapi yang menikmati sopirnya. Punya banyak makanan tapi yang menikmati tetangganya bahkan hewan peliharaannya. Karena dia sibuk bekerja mencari dan menumpuk harta, ibaratnya pergi pagi pulang malam demi materi.
Padahal dalam Islam kabahagiaan yang sebenarnya adalah berdasarkan pada rida Alllah ﷻ. Halal haram menjadi menjadi standar perbuatan.
والله أعلمُ ﺑﺎ ﻟﺼﻮﺍﺏ
“dan Allah lebih tahu yang sebenar-benarnya”