Oleh: Muslihah Saiful
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
اعوذ بالله من الشيطان الرجيم
قُلْ يٰعِبَا دِيَ الَّذِيْنَ اَسْرَفُوْا عَلٰۤى اَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوْا مِنْ رَّحْمَةِ اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ جَمِيْعًا ۗ اِنَّهٗ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ
Katakanlah, "Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri! Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang." (QS. Az-Zumar 39: Ayat 53)
Allah Maha Pengampun, ampunan-Nya jauh lebih besar daripada dosa yang paling besar sekalipun. Asalkan si hamba benar-benar tulus dalam meminta ampun. Bahkan terhadap orang yang zalimnya kebangetan sampai melampaui batas pun, Allah akan mengampuni jika ia tidak berputus asa terhadap rahmat-Nya.
Teringat pada kisah di masa Nabi Musa. Dikisahkan ada seorang yang sangat jahat. Dosanya tidak lagi terhitung. Ia berulang kali membunuh jiwa yang tak berdosa. Konon ada 99 nyawa yang meregang di tangannya. Ia mendatangi seorang rahib, dan menanyakan apakah Tuhan akan mengampuni dosanya? Sang rahib meragukan akan hal itu. Menurut rahib, Tuhan tidak mungkin mengampuni dosanya sang sangat banyak itu.
Ia pun sangat marah dan sekali lagi menghunus pedang. Rahib itu pun menghadap Sang Khalik tersebab dibunuh oleh pendosa itu. Maka genap seratus orang mati di tangannya. Ia kemudian datang kepada ulama muslim dan menyampaikan keinginan untuk bertobat. Usai menceritakan jika dia telah membunuh 100 jiwa yang salah satunya adalah seorang rahib, ia bertanya kemungkinannya, "apakah Allah akan memberikan ampunan?"
Ulama itu menjawab, Allah Maha Pengampun. Selama ia meminta dengan tulus tanpa pamrih dan tanpa ada keraguan. Allah pasti akan mengampuni. Sebanyak apapun, sebesar apapun, jika Allah berkenan mengampuni, tidak akan ada yang mampu menghalangi. Tapi ulama tersebut menekankan agar taubatnya sungguh-sungguh dan tidak mengulangi perbuatan jahatnya lagi, agar hal itu dapat dilakukan sang ulama menyarankan agar berhijrah dari tempat tinggal lamanya. Yaitu mendekati kampung yang dihuni orang-orang Solih, menjauhi kampung yang ia huni selama ini. Sebab penduduk kampung yang ahli maksiat hanya akan mempengaruhinya dari azam berhijrah kepada perilaku agamis.
Namun apa mau di kata. Saat ia dalam perjalanan ke tempat hijrah, ternyata terjadi kecelakaan. Orang yang hendak bertobat meninggal sebelum sempat melakukan amal salih apapun. Hal ini menjadikan malaikat rahmat dan malaikat zabaniyah berebut ruhnya. Malaikat zabaniyah bermaksud membawanya ke neraka sebab ia sejak awal sudah melakukan kejahatan, kemaksiatan yang tidak terhitung lagi.
Sementara malaikat rahmat menganggap ruh orang tersebut layak masuk surga sebab sudah bertaubat dan sudah meninggalkan kampungnya yang banyak para pembuat maksiat. Kedua malaikat itu menghadap Allah dan bertanya seharusnya dibawa kemana ruh orang itu. Apakah ke surga atau ke neraka? Allah yang Maha Adil memerintahkan agar mengukur jarak dari tempatnya meninggal. Apakah lebih dekat ke tempat asalnya atauka lebih dekat ke tempat tujuannya? Ternyata ia lebih dekat ke tempat tujuannya. Maka ruh itu berhak dibawa ke surga. Masya Allah.
Teringat sebuah hadits yang menceritakan tentang seorang Yahudi yang masuk Islam. Ia belum sempat melakukan salat, namun dinyatakan Rasulullah ﷺ sebagai penghuni surga. Sebab ia menyatakan syahadat ketika Subuh dan ia syahid di perang Uhud sebelum waktu Zuhur datang. Maka tidak sekedar banyaknya amal yang menjadikan seseorang masuk surga. Lebih dari itu rahmat Allah yang hadir dari kesungguhan sang hamba mendekatkan diri kepada-Nya, itulah yang mengantarkannya ke surga. Insya Allah.
Semoga kelak Allah ﷻ memasukkan kita semua yang membaca tulisan ini ke surga-Nya dengan rahmat-Nya dan penuh kasih sayang. Aamiin~
والله أعلمُ ﺑﺎ ﻟﺼﻮﺍﺏ
“dan Allah lebih tahu yang sebenar-benarnya”