Oleh: Muslihah Saiful
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
وَاِ ذْ تَقُوْلُ لِلَّذِيْۤ اَنْعَمَ اللّٰهُ عَلَيْهِ وَاَ نْعَمْتَ عَلَيْهِ اَمْسِكْ عَلَيْكَ زَوْجَكَ وَا تَّقِ اللّٰهَ وَتُخْفِيْ فِيْ نَفْسِكَ مَا اللّٰهُ مُبْدِيْهِ وَتَخْشَى النَّا سَ ۚ وَا للّٰهُ اَحَقُّ اَنْ تَخْشٰٮهُ ۗ فَلَمَّا قَضٰى زَيْدٌ مِّنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنٰكَهَا لِكَيْ لَا يَكُوْنَ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ حَرَجٌ فِيْۤ اَزْوَا جِ اَدْعِيَآئِهِمْ اِذَا قَضَوْا مِنْهُنَّ وَطَرًا ۗ وَكَا نَ اَمْرُ اللّٰهِ مَفْعُوْلًا
"Dan (ingatlah), ketika engkau (Muhammad) berkata kepada orang yang telah diberi nikmat oleh Allah dan engkau (juga) telah memberi nikmat kepadanya, "Pertahankanlah terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah," sedang engkau menyembunyikan di dalam hatimu apa yang akan dinyatakan oleh Allah, dan engkau takut kepada manusia, padahal Allah lebih berhak engkau takuti. Maka ketika Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami nikahkan engkau dengan dia (Zainab) agar tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (menikahi) istri-istri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya terhadap istrinya. Dan ketetapan Allah itu pasti terjadi." (QS. Al-Ahzab 33: Ayat 37)
Sebelum Nabi Muhammad diutus sebagai Rasul ﷺ, sudah menjadi tradisi di Arab jika anak angkat diperlaku sebagai anak kandung. Termasuk anak angkat berhak mewarisi harta dan ketidakbolehan menikah dengan mantan istri anak angkatnya.
Pada ayat QS Al Ahzab ayat 37 itu, ada teguran Allah ﷻ kepada Rasulullah ﷺ akibat menasehati Zaid agar mempertahankan rumah tangganya yang sudah di ujung tanduk. Padahal Rasulullah ﷺ sudah mendapat kabar dari Allah ﷻ bahwa kelak mantan istri Zaid akan diperistri beliau sendiri, agar menanamkan kepada kaum mukmin bahwa mantan istri anak angkat itu mubah diperistri oleh ayah angkatnya.
Allah Maha Mengetahui apa yang ada dalam benak Rasul, bahwa ada ketidaknyamanan dalam diri beliau menyampaikan syari'at Allah yang bertentangan dengan tradisi. Allah lebih berhak ditakuti dari pada manusia pada umumnya. Allah berhak dipatuhi dari pada memperturutkan ucapan dan cibiran manusia.
Ini selain membatalkan adat tradisi sebelumnya sekaligus menjadi pendidikan bagi orang beriman bahwa yang harus dipatuhi adalah hukum Allah bukan tradisi turun temurun. Harusnya hal demikian bisa menjadi pelajaran bagi seluruh orang yang mengaku beriman, agar mendahulukan aturan Allah daripada tradisi.
Artinya jika ada tradisi yang tidak sesuai atau tidak pernah diajarkan oleh agama Islam, orang beriman lebih memilih aturan Islam dan meninggalkan tradisi yang bukan dari Islam. Sebaliknya jika ada tradisi yang datang tidak sesuai dengan ajaran Islam bisa memilah agar tidak mengambilnya. Bukankah yang sudah menjadi tradisi saja jika tidak sesuai syari'at harus ditinggalkan? Lebih dari itu jika ada tradisi yang sebelumnya tidak ada, tak harus menambahkan atau mengada-adakan yang tidak pernah diajarkan Rasulullah ﷺ.
Sayangnya orang di masa kini banyak yang keblinger. Tidak jarang berdalih agar menghormati kearifan lokal mengorbankan ketaatan kepada Allah, Dzat yang paling berhak ditaati. Masya Allah. Contoh di sebagian masyarakat saat menikahkan anak, mereka mengadakan walimahtul arusy di malam sebelum diadakan akad nikah. Padahal filosofi mengagdakan walimatul arusy itu adalah untuk mengumumkan kepada masyarakat umum bahwa telah terjadi pernikahan antara Fulan dan fulanah.
Selain itu fakta masa kini, masyarakat lebih mementingkan resepsi daripada walimatul arusy. Padahal tidak ada perintah dalam syari'at terkait resepsi. Yang ada hanyalah perintah mengadakan walimatul arusy. Mengapa? Karena masyarakat semakin terjauhkan dari akidah dan syari'at Islam. Mereka tergerus oleh arus sekularisme dan kapitalisme yang mendahulukan prestisius (kehormatan di mata manusia) dari pada mendahulukan akidah Islam.
والله أعلمُ ﺑﺎ ﻟﺼﻮﺍﺏ
“dan Allah lebih tahu yang sebenar-benarnya”