Kaum Muslim yang mencintai agamanya semestinya mengingat Rajab bukan saja sebagai bulan haram. Rajab juga bukan semata-mata bulan yang diagungkan. Rajab pun bukan hanya bulan yang di dalamnya terjadi Isra Mi’raj Rasulullah ﷺ.
Kaum Muslim seharusnya kembali membuka sejarah bahwa pada Rajab ini genap sudah 101 tahun kaum Muslim hidup tanpa perlindungan Khilafah Islamiyah. Khilafah Utsmaniyah, sebagai Kekhilafahan terakhir yang dibubarkan oleh Mustafa Kamal Ataturk pada 28 Rajab 1342 H/ 3 Maret 1924. Mustafa Kamal yang merupakan keturunan Yahudi Dunamah dan dia adalah perwira Turki yang menjadi kaki tangan Inggris untuk menggerogoti kekuatan kaum Muslim dan Khilafah dari dalam.
Usai membubarkan Khilafah, Mustafa mengusir khalifah terakhir, Sultan Abdul Majid II, mulai memberlakukan sekularisme di seantero Turki, dan dengan kejam menghapus ajaran Islam juga bahasa Arab; mengganti azan dengan bahasa Turki, melarang tilawah al-Quran dikumandangkan di radio-radio, menyerukan para Muslimah membuka jilbab, dia pun membiasakan minuman keras serta dansa-dansi lelaki dan perempuan. Yahudi Dunamah terkutuk ini juga memberlakukan hukuman berat untuk siapa saja yang berusaha menghidupkan ajaran Islam.
Penyebab Keruntuhan
Keruntuhan Khilafah Islamiyah bukan disebabkan oleh ajaran Islam itu sendiri, melainkan disebabkan oleh faktor internal dan eksternal umat.
Secara internal keruntuhan Khilafah dikarenakan umat Muslim sudah mengalami kemerosotan pemikiran Islam sejak pertengahan Abad XII H (ke-18 M). Kondisi itu dimulai dari pengabaian bahasa Arab pada abad ke-7 H. Akibatnya, para ulama kesulitan untuk melakukan ijtihad.
Pada penghujung abad ke-13 H (abad ke-19) kemerosotan itu semakin menjadi ketika Islam dikaji bukan sebagai ideologi untuk menjawab persoalan kehidupan. Islam dikaji sekadar untuk kepuasan intelektual. Bahkan Islam justru ditafsirkan mengikuti kondisi masyarakat saat itu, bukan untuk mengubah masyarakat agar sesuai dengan Islam. Misal, pada masa itu ada hakim yang membolehkan riba bernilai kecil, menghentikan pelaksanaan hudûd. Bahkan sebagian ulama memfatwakan kebolehan mengadopsi undang-undang Barat ke dalam perundang-undangan Khilafah Islamiyah. Akibatnya, peradilan pada saat itu terbagi dua: mahkamah syariah yang memberlakukan hukum Islam dan mahkamah sipil yang menerapkan hukum-hukum Eropa.
Pemerintahan Khilafah juga dipangku bukan oleh orang-orang terbaik di kalangan umat, melainkan karena faktor keluarga dan kekerabatan. Kondisi ini memicu konflik dan penyalahgunaan kekuasaan, termasuk melalaikan penerapan syariah Islam juga penyebaran Islam lewat dakwah dan futûhât (penaklukkan).
Keadaan suram Khilafah Utsmaniyah inilah yang menyebabkan negara-negara Barat, seperti kaum imperialis Inggris dan Prancis, menyebut Daulah Khilafah Utsmaniyah sebagai ‘The Sick Man in Europe’ (Orang Sakit di Eropa).
Adapun secara eksternal umat Muslim harus menghadapi perang pemikiran (ghazwul fikri) yang dilancarkan Barat. Kaum imperialis Barat paham bahwa kekuatan kaum Muslim adalah ajaran Islam itu sendiri. Perdana Menteri Inggris, William Gladstone, yang berkuasa dari tahun 1868 sampai tahun 1894 pernah membawa al-Quran di hadapan Parlemen Inggris. Dia lalu mengatakan, "Tidak akan pernah ada perdamaian di Bumi ini selama ada buku (al-Quran) ini. Ini adalah buku yang penuh kekerasan dan terkutuk."
Karena itu Barat mulai menggunakan strategi baru untuk memerangi kaum Muslim dan Khilafah. Tidak lain perang pemikiran.
Umat merosot pemikirannya, semakin terpuruk akibat perang pemikiran yang dilakukan para penjajah. Di antara racun pemikiran yang dihembuskan mereka adalah paham nasionalisme dan kebangsaan. Inggris lewat antek-anteknya memunculkan isu permusuhan antara bangsa Arab dan Turki. Mereka juga memprovokasi umat Muslim untuk melakukan tindak separatis dari Kekhilafahan Utsmaniyah yang disebut sebagai kaum penjajah.
Inggris menghasut dan membantu tokoh-tokoh Arab seperti Syarif Husain yang sebenarnya Wali (Gubernur) Khalifah untuk kawasan Hijaz untuk memberontak dari Khilafah Utsmaniah pada tahun 1916. Namun, Inggris kemudian menyingkirkan Syarif Husain lalu mengganti dia dengan Abdul Aziz bin Saud untuk menguasai pecahan kekuasaan Khilafah Utsmaniyah di Jazirah Arab. Inggrislah yang menentukan tapal batas Saudi Arabia, Irak dan Kuwait dalam Konferensi Uqair pada tahun 1922. Seluruhnya diberikan kepada Abdul Aziz bin Saud dan keluarganya.
Setelah Khilafah runtuh, Barat terus menjaga agar kaum Muslim tetap terpecah dalam bentuk negara-negara kebangsaan. Dengan itu dipastikan mereka tidak bisa bersatu. Juga akan selalu muncul konflik. Mereka juga menyebarkan Islamofobia di tengah umat untuk memastikan agar Islam tidak dijadikan sebagai dasar negara dan aturan negara oleh kaum Muslim.
Karena itu Inggris tidak keberatan memberikan kemerdekaan kepada Turki selama negeri itu mengusung nasionalisme Turki dan memerangi Islam. Tentang hal ini Perdana Menteri Inggris yang merancang kehancuran Khilafah, Lord Curzon, berkata, “Situasi sekarang adalah Turki sudah mati dan tidak bisa bangkit lagi. Sebabnya, kita telah menghancurkan kekuatan spiritual mereka, yaitu Khilafah dan Islam.”
Nestapa Tanpa Khilafah
Keruntuhan Khilafah berdampak luas terhadap nasib umat. Penderitaan demi penderitaan terus dirasakan umat, karena ketiadaan penjaga dan pelindung umat dan negeri-negeri mereka. Palestina yang dilindungi oleh Khilafah Utsmaniyah akhirnya jatuh ke tangan Zionis Israel. Pada tahun 1930-an imigran asal Yahudi mulai memasuki Palestina dan mengusir penduduk aslinya. Akhirnya, pada bulan Mei 1948 secara resmi dideklarasikan negara Israel di atas tanah Palestina. Sejak itu pengusiran dan pembantaian terjadi secara besar-besaran terhadap warga Palestina. Pada tahun 1982, misalnya, terjadi tragedi pembantaian Sabra-Shatila oleh gabungan milisi Israel dan Kristen Maronit terhadap pengungsi Palestina dan Lebanon. Diperkirakan korban tewas mencapai 3.500 jiwa. Kebanyakan adalah wanita, lansia dan anak-anak.
Ketika AS mulai menginvasi Irak pada tahun 2003, diperkirakan jumlah warga sipil yang menjadi korban mencapai hampir 50 ribu jiwa. Terbukti kemudian agresi militer pasukan koalisi pimpinan AS didasari pada kebohongan AS dan Inggris. Alasan bahwa Saddam Husain mengembangkan senjata pemusnah massal tidak terbukti sama sekali.
Darah Muslim Rohingya juga tumpah tanpa ada yang bisa menolong dan membela. Organisasi Doctors Without Borders melaporkan 6700 Muslim Rohingya tewas dalam aksi genosida kaum radikal Budha di sana. Lihat pula bagaimana nasib kaum Muslim di Suriah, Yaman, Sudan, Uyghur, juga India. Semua berjuang sendiri-sendiri tanpa ada pelindung dan penjaga mereka. Padahal jumlah kaum Muslim hari ini amat banyak; jumlahnya 1,93 miliar di seluruh dunia. Kekuatan militer beberapa negara muslim pun diperhitungkan dunia. Namun akibat belenggu paham nasionalisme umat jadi seperti tak berdaya. Persis seperti yang telah diingatkan Nabi ﷺ:
يُوشِكُ الْأُمَمُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُمْ كَمَا تَدَاعَى الْأَكَلَةُ إِلَى قَصْعَتِهَا، فَقَالَ قَائِلٌ: وَمِنْ قِلَّةٍ نَحْنُ يَوْمَئِذٍ؟ قَالَ: بَلْ أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ كَثِيرٌ، وَلَكِنَّكُمْ غُثَاءٌ كَغُثَاءِ السَّيْلِ
“Hampir saja bangsa-bangsa (kafir) mengerubuti kalian (umat Islam) sebagaimana mereka mengerubuti makanan yang berada di dalam piring.” Seorang laki-laki berkata, “Apakah kami waktu itu sedikit?” Beliau menjawab, “Bahkan jumlah kalian pada waktu itu sangat banyak. Namun, kalian seperti buih di lautan.” (HR Abu Dawud).
Sistem Kapitalisme yang hari ini diberlakukan di hampir seluruh penjuru dunia, termasuk negeri-negeri Islam, bukannya menciptakan kemakmuran justru penderitaan. Kesenjangan antara si kaya dan miskin amat dahsyat. Di Tanah Air, Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) menyatakan 1 persen orang kaya di Indonesia menguasai 50 persen aset nasional.
Yang ironi, sebanyak 25 grup perusahaan kelapa sawit menguasai lahan seluas 5,1 juta hektar atau hampir setengah Pulau Jawa yang luasnya 128.297 kilometer persegi. Dari 5,1 juta hektar (51.000 kilometer persegi), sebanyak 3,1 juta hektar telah ditanami sawit dan sisanya belum ditanami. Luas perkebunan sawit di Indonesia saat ini sekitar 10 juta hektar. Anehnya, hari ini rakyat mengantri untuk membeli minyak goreng sawit karena langka di pasaran.
Sistem demokrasi yang dipuji-puji membawa kedaulatan rakyat justru menciptakan oligarki; kekuasaan yang dicengkram segelintir orang. Hal ini tidak lepas dari peran kaum kapitalis pemilik uang yang berada di belakang pemilihan. Menkopolhukam Mahfud MD menyatakan bahwa 92 persen Pilkada dikuasai cukong. Menurutnya, kondisi ini melahirkan kebijakan korup dan korupsi kebijakan. Banyak kebijakan yang hanya menguntungkan pengusaha, sementara rakyat tidak mendapat apa-apa.
Nyata, hanya Khilafah Islamiyah yang bisa melindungi Islam, mengatur dunia, sekaligus membela kaum Muslim. Imam al-Mawardi mengingatkan bahwa keberadaan Imamah (Khilafah) adalah untuk menjaga agama dan mengatur dunia, “Imamah (Khilafah) merupakan istilah bagi wakil kenabian dalam menjaga agama dan mengatur dunia. Menegakkan Imamah (Khilafah) bagi manusia di tengah-tengah umat adalah wajib menurut Ijmak, kecuali menurut al-‘Asham yang telah menyempal dari mereka.” (Al-Mawardi, Al-Ahkâm as-Sulthâniyah, hlm. 15, Maktabah Syamilah).
Karena itu sudahilah penderitaan umat sekarang juga. Kembalilah pada sistem Islam, Khilafah Islamiyah, yang akan menerapkan syariah Islam secara kâffah sekaligus melindungi dan membela umat di seluruh dunia.
Hikmah:
Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّمَا الإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ
Sungguh seorang imam (khalifah) itu laksana perisai. Dia akan dijadikan pelindung dan orang-orang akan berperang di belakang dia. (HR Muttafaq ‘alayh). []
والله أعلمُ ﺑﺎ ﻟﺼﻮﺍﺏ
“dan Allah lebih tahu yang sebenar-benarnya”
Kaffah Edisi 233