Oleh: Wina Fatiya
Pernah suatu kali ada yang bertanya, apakah membicarakan pemerintah itu termasuk ghibah? Apalagi membicarakan keburukannya. Bukankah ghibah itu dilarang?
Sebelum menjawab pertanyaan ini mari kita telusuri definisi ghibah dalam Islam.
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ ». قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ « ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ ». قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِى أَخِى مَا أَقُولُ قَالَ « إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ »
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tahukah engkau apa itu ghibah?” Mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Ia berkata, “Engkau menyebutkan kejelekan saudaramu yang ia tidak suka untuk didengarkan orang lain.” Beliau ditanya, “Bagaimana jika yang disebutkan sesuai kenyataan?” Jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jika sesuai kenyataan berarti engkau telah mengghibahnya. Jika tidak sesuai, berarti engkau telah memfitnahnya.” (HR. Muslim no. 2589).
Dalam Al Adzkar (hal. 597), Imam Nawawi rahimahullah menyebutkan, “Ghibah adalah sesuatu yang amat jelek, namun tersebar dikhalayak ramai. Yang bisa selamat dari tergelincirnya lisan seperti ini hanyalah sedikit. Ghibah memang membicarakan sesuatu yang ada pada orang lain, namun yang diceritakan adalah sesuatu yang ia tidak suka untuk diperdengarkan pada orang lain. Sesuatu yang diceritakan bisa jadi pada badan, agama, dunia, diri, akhlak, bentuk fisik, harta, anak, orang tua, istri, pembantu, budak, pakaian, cara jalan, gerak-gerik, wajah berseri, kebodohan, wajah cemberutnya, kefasihan lidah, atau segala hal yang berkaitan dengannya. Cara ghibah bisa jadi melakui lisan, tulisan, isyarat, atau bermain isyarat dengan mata, tangan, kepala atau semisal itu.”
Dari keterangan diatas kita bisa menyimpulkan batasan ghibah menurut imam Nawawi adalah membicarakan aib yang berkenaan dengan diri pribadi seseorang.
Nah, bagaimana dengan membicarakan/mengkritik kebijakan pemerintah/penguasa, apakah ini termasuk ghibah?
Para ulama sepakat bahwa membicarakan/mengkritik kebijakan pemerintah/penguasa bukan termasuk bab ghibah melainkan bab nasihat atau muhasabah lil hukkam.
Dalilnya adalah:
Dari Abu Ruqayyah Tamim bin Aus al-Dari ra, ia berkata bahwa Nabi ﷺ bersabda :
عَنْ أَبِي رُقَيَّةَ تَمِيْمٍ بْنِ أَوْسٍ الدَّارِي رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ قُلْنَا : لِمَنْ ؟ قَالَ للهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُوْلِهِ وَلِأَئِمَّةِ المُسْلِمِيْنَ وَعَامَّتِهِمْ – رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Dari Abu Ruqayyah Tamim bin Aus Ad-Daari radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Agama adalah nasihat.” Kami bertanya, “Untuk siapa?” Beliau menjawab, “Bagi Allah, bagi kitab-Nya, bagi rasul-Nya, bagi pemimpin-pemimpin kaum muslimin, serta bagi umat Islam umumnya.” (HR. Muslim, no. 55).
Ustadz Yuana Ryan tresna menjelaskan tentang syarah hadist ini:
“Nasihat kepada Allah adalah mengimani-Nya, nasihat kepada kitab-Nya adalah meyakini bahwa hukum Al-Qur'an adalah sebaik-baiknya hukum dan tidak ada hukum yang sebaik Al-Qur'an, nasihat kepada Rasul adalah mengikuti dan mencontohnya, nasihat kepada para pemimpin adalah menyampaikan amar makruf nahi munkar dan menyampaikan muhasabah (koreksi) atas kekeliruan kebijakan penguasa. Bahkan dalam banyak hadits disebutkan bahwa amar makruf dan nahi munkar yang utama adalah yang disampaikan kepada penguasa.”
Narasi bahwa mengkritik penguasa adalah ghibah biasanya dilontarkan oleh orang-orang yang berharap manusia diam atas suatu kebatilan/kedzoliman. Sehingga para pelaku, pendukung, dan penikmat keuntungan dari kebatilan/kedzoliman itu pun merasa aman dan nyaman.
Inti narasi itu adalah untuk membuat muslimin diam dengan kebatilan. Padahal orang yang diam dengan kebatilan/kejahatan adalah setan bisu. Sebagaimana Abu Ali Ad Daqaq Rahimahullah mengatakan:
مَنْ سَكَتَ عَن ِالْحَقِّ فَهُوَ شَيْطَانٌ أَخْرَسُ
“Siapa yang diam saja tidak mengambil sikap bersama Al Haq, maka dia adalah syetan bisu”. (Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 2/20
Ustadz Farid Nu'man, Lc. menyatakan bahwa Ghibah adalah Haram dan Dosa Besar, jika kita membicarakan Aib Pribadi saudara kita, lalu kita membicarakannya di muka umum. Itulah perbuatan mencampuri urusan orang lain, yang tidak dibenarkan.
Tapi membicarakan Aib dan Keburukan seseorang yang berdampak pada orang banyak, apalagi pelakunya pun terang-terangan, serta membahayakan manusia, agama, dan negara, maka Itu Bukan Ghibah Yang Terlarang. Ini adalah nahi munkar.
Kisah-kisah kejahatan manusia sejak zaman dulu telah terbukukan, baik dalam Al-Qur'an, As-Sunnah, Kitab Sirah, Kitab Tarikh, jelas nama dan perbuatan jahatnya, dan dibaca secara umum baik ulama dan orang biasa. Tidak satu pun mengatakan itu Ghibah atau mencampuri urusan lain.
Dengan demikian Quran Surat Al-Hujurat ayat 12 dibawah ini adalah dalil untuk ghibah bukan dalil untuk mentolerir kedzoliman dan kejahatan penguasa yang tidak punya hati.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Hujurat Ayat 12)
Namun ada ghibah-ghibah yang diperbolehkan sebagaimana keterangan Imam an Nawawi dalam RIYADHUSSHALIHIN diantaranya:
- Bertujuan menasehati, agar orang lain tidak terpedaya oleh orang tersebut.
- Terhadap orang yang terang-terangan melakukan kejahatan, maka yang demikian bukan ghibah, sebab ia sendiri yang menampakannya
(Hal. 366-367, Maktabatul Iman, Al Manshurah, Mesir)
Kesimpulannya, menasehati dan mengingatkan penguasa yang dzolim bukanlah suatu ghibah yang diharamkan melainkan suatu kewajiban supaya kaum. Muslim tidak rusak dengan kedzolimannya.
والله أعلمُ ﺑﺎ ﻟﺼﻮﺍﺏ
“dan Allah lebih tahu yang sebenar-benarnya”