Rencana pemindahan ibukota negara akan mulai direalisasikan dalam waktu dekat. Di tengah pandemi yang belum tuntas, perekonomian yang belum pulih, puluhan juta rakyat menjadi miskin dan utang luar negeri yang hampir mencapai tujuh ribu triliun rupiah, Pemerintah tetap bersikukuh memindahkan ibukota ke daerah Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur.
Banyak pihak mempertanyakan kebijakan yang telah disepakati para wakil rakyat dan Pemerintah. Selain dinilai tidak mendesak, banyak persoalan lain seperti: kelayakan lokasi, nasib warga sekitar dan dampak lingkungan. Yang paling krusial adalah siapa sebenarnya yang paling diuntungkan dari proyek pembangunan ibu kota baru ini?
Benarkah rencana ini cerminan suara rakyat? Apakah suara wakil rakyat yang mengesahkan UU IKN ini benar-benar cerminan suara ratusan juta rakyat Indonesia yang tidak pernah dimintai persetujuannya? Faktanya, rakyat justru banyak yang menolak rencana ini. Bahkan warga Kalimantan Timur, khususnya warga Penajam Paser Utara, juga merasa tidak pernah dimintai persetujuannya. Muncul kecurigaan kalau pembangunan IKN ini hanya akan menguntungkan kaum oligarki, terutama para pemilik lahan dan investor lokal maupun asing, bukan untuk rakyat.
Rakyat Tak Berdaulat
Bukan pertama kali Pemerintah dan wakil rakyat mengesahkan undang-undang yang merugikan rakyat. UU Cipta Lapangan Kerja, UU Minerba, pencabutan subsidi energi seperti BBM dan gas dan UU Ormas, baru sebagian kecil produk hukum yang menyengsarakan rakyat. Padahal dalam sistem demokrasi dikatakan rakyat berdaulat. Segala undang-undang, hukum dan peraturan haruslah bersumber dari rakyat. Vox populi vox dei (Suara rakyat adalah suara Tuhan). Keberadaan lembaga perwakilan rakyat adalah sebagai penyambung lidah rakyat untuk menyuarakan aspirasi mereka kepada pemerintah.
Pada praktiknya, dalam sistem demokrasi, yang tercipta adalah oligarki, yakni kekuasaan yang dikuasai segelintir orang dengan mengatasnamakan rakyat. Karena sudah mendapat mandat sebagai wakil rakyat, mereka merasa berhak membuat dan mengesahkan berbagai peraturan dan perundang-undangan apa saja meski tidak berpihak pada rakyat kebanyakan. Di sinilah rusaknya sistem demokrasi.
Demokrasi juga menciptakan peluang bagi lolosnya kepentingan segelintir kaum kapitalis dengan jalan membuat undang-undang. Apalagi banyak pengusaha yang juga duduk sebagai wakil rakyat. Ada 45,5 persen (262 orang) dari 575 anggota DPR 2019-2024 yang pengusaha. Dalam DPR 2014-2019 malah ada 52,3 persen (293 orang) dari 560 anggota yang pengusaha. Hal ini berpeluang memunculkan konflik kepentingan antara rakyat dan para pengusaha.
Soal undang-undang yang dibuat sesuai pesanan yang disponsori pihak tertentu pernah diungkap Menko Polhukam Mahfud MD. Pada tahun 2019, Mahfud menyatakan "Problem kita itu sekarang dalam membuat aturan hukum itu sering kacau-balau. Ada hukum yang dibeli. Pasal-pasalnya dibuat karena pesanan itu ada. UU yang dibuat karena pesanan perda juga ada. Disponsori oleh orang-orang tertentu agar ada aturan tertentu." (news.detik.com, 19/12/2019).
Ironinya, semua kepentingan kaum elit itu disahkan atas nama rakyat. Inilah bagian tipudaya demokrasi. Rakyat pun masih banyak yang percaya kalau demokrasi akan menjadikan suara mereka berdaulat. Padahal kenyataannya mustahil.
Negara Pelindung Umat
Sistem demokrasi berbeda dengan sistem pemerintahan Islam. Sama sekali tak ada kemiripan di antara keduanya, baik secara asas maupun aturan yang dilahirkan. Perbedaan itu terletak pada sejumlah hal. Di antaranya: Pertama, dalam Islam kedaulatan (hak membuat hukum) ada di tangan syariah, bukan pada rakyat maupun penguasa. Kewajiban pemerintah adalah mengurus rakyat dengan menerapkan hukum-hukum Allah ﷻ, bukan sebagai pembuat hukum. Allah ﷻ berfirman:
وَأَنِ ٱحكُم بَينَهُم بِمَا أَنزَلَ ٱللَّهُ وَلَا تَتَّبِع أَهوَاءَهُم وَٱحذَرهُم أَن يَفتِنُوكَ عَن بَعضِ مَا أَنزَلَ ٱللَّهُ إِلَيكَ فَإِن تَوَلَّواْ فَٱعلَم أَنَّمَا يُرِيدُ ٱللَّهُ أَن يُصِيبَهُم بِبَعضِ ذُنُوبِهِم وَإِنَّ كَثِيرا مِّنَ ٱلنَّاسِ لَفَٰسِقُونَ
Hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut wahyu yang telah Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Berhati-hatilah kamu terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian wahyu yang telah Allah turunkan kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah Allah turunkan) maka ketahuilah bahwa Allah berkehendak menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Sesungguhnya kebanyakan manusia adalah kaum yang fasik (TQS al-Maidah [5]: 49).
Karena hukum yang berlaku berasal dari wahyu Allah ﷻ, tentu tak ada celah bagi penguasa untuk membuat hukum yang akan menguntungkan dirinya dan kelompoknya. Beda dengan sistem demokrasi. Hukum dibuat oleh manusia sesuai pesanan dan kepentingan pihak yang mensponsorinya.
Apalagi keimanan yang terpatri dalam dada membuat penguasa takut terhadap ancaman Allah ﷻ jika mengkhianati amanah mengurus umat. Mereka lebih takut terhadap siksa Allah, ketimbang sogokan, iming-iming atau ancaman kaum oligarki.
Kedua, di dalam Islam ada Majelis Umat yang berfungsi menyampaikan aspirasi masyarakat dan menjalankan fungsi amar makruf nahi mungkar. Majelis ini tidak membuat atau melegislasi peraturan dan undang-undang. Majelis Umat berkewajiban menegur Khalifah dan pejabatnya jika melenceng dari syariah Islam dan buruk dalam melayani umat. Haram hukumnya anggota Majelis Umat mendiamkan kemungkaran yang dilakukan penguasa, apalagi bersekongkol dengan mereka. Sabda Nabi ﷺ:
مَا مِنْ رَجُلٍ يَكُونُ فِي قَوْمٍ يُعْمَلُ فِيهِمْ بِالْمَعَاصِي يَقْدِرُونَ عَلَى أَنْ يُغَيِّرُوا عَلَيْهِ فَلَا يُغَيِّرُوا إِلَّا أَصَابَهُمْ اللَّهُ بِعَذَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَمُوتُوا
Tidaklah seseorang berada pada sebuah kaum yang di dalamnya dilakukan suatu kemaksiatan, sementara mereka mampu mengubah kemaksiatan tersebut, tetapi mereka tidak melakukannya, maka Allah akan menimpakan siksa kepada mereka sebelum mereka meninggal dunia (HR Abu Dawud dari Jarir ra.).
Ketiga, Khalifah sebagai penguasa wajib menjadi pelindung umat. Ia layaknya perisai yang melindungi orang yang berperang dari serangan musuh. Nabi ﷺ. bersabda:
إِنَّمَا الإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ فَإِنْ أَمَرَ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَعَدْلٌ كَانَ لَهُ بِذَلِكَ أَجْرٌ، وَإِنْ يَأْمُرُ بِغَيْرِهِ كَانَ عَلَيْهِ مِنْهُ
Sesungguhnya Imam (Khalifah) itu laksana perisai. Orang-orang berperang di belakangnya dan dia digunakan sebagai tameng. Jika dia memerintahkan ketakwaan kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan berlaku adil, maka dengan itu dia akan mendapatkan pahala. Namun, jika dia memerintahkan yang lain maka dia akan mendapatkan dosa/azabnya (HR al-Bukhari dan Muslim).
Negara diamanahi kewajiban mengurus kebutuhan umat dan melindungi hak-hak mereka dari kezaliman. Imam Syafii menyebut penguasa harus memandang rakyat sebagai anak yatim. Wali yang mengasuh anak yatim harus memperhatikan kebutuhan mereka sebaik-baiknya. Ia tidak boleh memakan harta anak yatim melainkan sekadarnya untuk hidup. Ia pun haram menipu apalagi merampas hartanya. Beliau berkata:
مَنْزِلَةُ اْلاِمَامِ مِنَ الرَّعِيِّةِ مَنْزِلَةُ الْوَلِىِّ مِنَ الْيَتِيْمِ
Kedudukan seorang pemimpin terhadap rakyatnya seperti kedudukan seorang wali terhadap anak yatim.
Mengabaikan kebutuhan rakyat, menipu mereka, apalagi untuk membela kepentingan kalangan orang berduit adalah pengkhianatan terhadap Allah dan Rasul-Nya. Nabi ﷺ mengancam para penguasa seperti itu dengan sabdanya:
مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللهُ رَعِيَّةً، يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ، إِلَّا حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ
Tidaklah seorang hamba yang Allah beri wewenang untuk mengurus rakyat mati pada hari dia mati, sementara dia dalam kondisi menipu rakyatnya, melainkan Allah mengharamkan bagi dia surga (HR Muttafaq ‘alayh).
Keadilan Hanya dalam Islam
Wahai kaum Muslim, sesungguhnya tidak ada yang bisa memberikan keadilan dan pembelaan pada umat kecuali syariah Islam. Janganlah kita terpedaya dengan slogan kedaulatan milik rakyat. Kenyataannya, hak-hak kita dirampas untuk diberikan kepada segelintir orang. Padahal Allah ﷻ telah mengingatkan:
يَٰأَيُّهَا ٱلإِنسَٰنُ مَا غَرَّكَ بِرَبِّكَ ٱلكَرِيمِ
Hai manusia, apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu Yang Maha Pemurah (TQS al-Infithar [82]: 6).
Imam Ibnu Katsir di dalam tafsirnya menjelaskan: Ayat ini adalah ancaman, bukan pertanyaan yang membutuhkan jawaban sebagaimana sangkaan sebagian orang; apa yang memperdaya kamu, wahai anak Adam, hingga durhaka kepada Tuhanmu Yang Mahaagung sehingga engkau melakukan kemaksiatan dan membalas Dia dengan tidak patut? (Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, 8/341-342 [Maktabah Syamilah]).
Sepintas aturan-aturan yang dibuat hari ini seperti UU IKN tampak bagus dan logis, misalnya dengan alasan menghindari banjir, menaikkan perekonomian, terhindar dari kemacetan dan tidak mengandalkan APBN. Namun, jika ditelusuri dengan detil dan teliti akan didapat kenyataan bahwa semua berpotensi merugikan rakyat.
Karena itu jika kita mengharapkan kebijakan yang berpihak pada rakyat, semua itu hanya ada dalam Islam. Bersegeralah! Belum cukupkah umat berkali-kali diperdaya oleh kaum oligarki dengan mengatasnamakan kedaulatan rakyat?
Hikmah:
Allah SWT berfirman:
وَإِذَا قِيلَ لَهُم لَا تُفسِدُواْ فِي ٱلأَرضِ قَالُواْ إِنَّمَا نَحنُ مُصلِحُونَ أَلَا إِنَّهُم هُمُ ٱلمُفسِدُونَ وَلَٰكِن لَّا يَشعُرُونَ
Jika dikatakan kepada mereka, “Janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi.” Mereka menjawab, “Sesungguhnya kami adalah kaum yang melakukan perbaikan.” Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah kaum yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar.” (TQS al-Baqarah [2]: 11-12). []
والله أعلمُ ﺑﺎ ﻟﺼﻮﺍﺏ
“dan Allah lebih tahu yang sebenar-benarnya”
Kaffah Edisi 229