Oleh: Wina
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَاءَهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ ۚ بَلْ أَتَيْنَاهُمْ بِذِكْرِهِمْ فَهُمْ عَنْ ذِكْرِهِمْ مُعْرِضُونَ
Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan (Al-Qur'an) mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu. (Al-Mu’minun 23: 71)
Ramai perdebatan yang terjadi di tengah-tengah kita. Hampir dalam setiap perdebatan ujung darinya adalah pertanyaan kebenaran menurut siapa. Iya kan?
Misal perdebatan tentang aturan mana, atau aturan siapa yang layak mengatur manusia. Para cendekiawan di abad pencerahan Eropa menyimpulkan bahwa kebenaran itu memang dari Tuhan, tapi Tuhan sudah memberikan kebenaran itu pada akal dan rasa manusia. Sehingga untuk mencapai kebenaran, manusia harus berkumpul dan 'bermusyawarah' mengenai kebenaran itu.
Pada akhirnya yang menjadi landasan kebenaran itu adalah kesepakatan yang dibuat dalam forum-forum bersama di kalangan manusia. Pertanyaannya benarkah kebenaran itu adalah hasil kesepakatan? Atau jika dibalik, benarkah kesepakatan akan menghasilkan kebenaran?
Nah, patut kita garis bawahi bahwa dalam pandangan mereka, kedaulatan dan kekuasaan itu dimaknai sama. Yaitu kebebasan untuk mengeluarkan kehendak. Jadilah manusia yang berkuasa itu adalah manusia yang bisa berdaulat mengatur dirinya sendiri tanpa paksaan dan intervensi pihak lain.
Ini jelas pemahaman keliru. Mengapa? Sebab jika manusia yang berdaulat itu bebas menentukan aturan hidupnya sendiri maka imbasnya tidak ada kebenaran mutlak. Yang ada adalah kebenaran itu relatif mengikuti hasrat dan kehendak manusia.
Pertanyaannya apakah manusia satu dengan manusia lainnya memiliki kehendak yang sama? Bagaimana jika terjadi pertentangan kehendak dan persinggungan kepentingan, siapakah yang benar? Siapakah yang harus dibela?
Jika ini landasannya, wajar jika manusia bersibuk diri membuat berbagai perangkat aturan yang membuat mereka merasa benar. Aturan yang menurut mereka adalah sumber rujukan kebenaran. Kebenaran karena disepakati bersama.
Dengan mekanisme ini, wajar jika kebenaran itu relatif dan bisa diubah sesuai pencetusnya. Jika pencetusnya adalah kelompok yang berorientasi ekonomi, maka kebenaran itu basisnya adalah ekonomi yang menguntungkan mereka. Jika pencetusnya adalah kelompok yang gigih berkuasa, maka basis kebenaran itu adalah supaya langgeng kekuasaannya.
Nah, pertanyaannya bagaimana jika kelompok pencetusnya ini tidak loyal dengan kebenaran mufakat tapi lebih loyal kepada kepentingan kelompoknya?
Maka yang terjadi adalah oligarki kekuasaan dan oligarki ekonomi. Inilah yang terjadi saat ini. Dan kesalahan fatal itu bermula dari disamakannya kedaulatan dan kekuasaan.
Islam telah jelas membedakan antara kedaulatan dan kekuasaan. Kedaulatan adalah hak preogratif Allah ﷻ, Sang Pencipta manusia. Tidak boleh manusia atau sekelompok manusia mengambil alih hak ini. Mengapa? Karena yang mengetahui seluk beluk kebenaran dan kebaikan untuk manusia bahkan untuk seluruh makhluknya hanyalah Allah ﷻ.
Sedangkan untuk kekuasaan, Allah ﷻ mempersilakan manusia untuk berkuasa atas dirinya, atas kelompoknya, atas bumi dan segala isinya. Manusialah yang menjual subjek untuk meriayah titipa Allah ﷻ ini.
Dalam perkembangan selanjutnya, Allah ﷻ menggariskan mekanisme periayahan ini dengan adanya kepemimpinan manusia. Kepemimpinan itulah yang disebut khalifah. Dan aturan yang mengawal kepemimpinan itu haruslah aturan syariat dari Allah ﷻ. Hanya saja kepemimpinan itu tidak bisa dilepaskan dari wadahnya. Wadah itu juga harus bersumber dari Allah ﷻ yaitu Khilafah.
Dalam ayat ini Allah ﷻ menegaskan bahwa kebenaran itu hanyalah milik Allah ﷻ. Sebagaimana tertera dalam Quran Surat Al-Baqarah ayat 147:
الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ ۖ فَلَا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ
Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu. (Al-Baqarah 2: 147)
Juga Allah ﷻ menggambarkan jika kebenaran itu dikembalikan kepada manusia, maka akan binasa seluruh yang ada di langit dan di bumi. Benarlah informasi ini.
Kita lihat saat ini bumi porak-poranda karena salah tata kelola manusia. Manusia semakin tidak bermoral dan beretika karena rusaknya akal dan jiwa manusia dalam sistem hari ini.
Sudah saatnya kita kembali pada aturan Allah Swt, dan mengembalikan kebenaran itu hanyalah milik-Nya.