Banyak orang mulai sadar bahwa negeri ini tidak sedang baik-baik saja. Korupsi makin menjadi-jadi. Penguasaan lahan (termasuk hutan) dan SDA yang makin brutal oleh segelintir pemilik modal. Banyak BUMN yang bangkrut. Banyak proyek infrastruktur mangkrak atau terancam makrak. Infrastruktur yang sudah jadi pun ada yang ‘tak berguna’, seperti Bandara Kertajati di Majalengka. Ada juga infrastruktur yang kemudian terpaksa dijual atau berencana dijual, seperti beberapa ruas jalan tol, sebagaimana diwacanakan Pemerintah.
Persoalan lainnya, harga kebutuhan pokok masyarakat makin mahal. Yang terbaru minyak goreng. Padahal negeri ini penghasil kelapa sawit terbesar di dunia. Utang luar negeri makin menumpuk hingga mencapai ribuan triliun rupiah. Di dunia usaha, banyak pengusaha skala kecil dan menengah yang terpuruk. Banyak terjadi PHK. Otomatis angka pengangguran pun makin tinggi. Selama Pandemi Covid-19, angka kemiskinan juga meningkat. Di tengah berbagai keterpurukan ini, Pemerintah malah mengesahkan rencana pemindahan ibukota baru ke Kalimantan dengan rencana biaya ratusan triliun rupiah dari APBN. Tentu sebagiannya dari utang dan pajak rakyat. Rencana ini disinyalir hanya untuk memenuhi nafsu segelintir kaum oligarki, yang cengkeramannya makin kuat. Sama sekali bukan untuk kepentingan rakyat.
Anehnya, di tengah segudang masalah yang membelit negeri ini, yang selalu dipersoalkan adalah radikalisme. Seolah-olah permasalahan utama bangsa ini adalah radikalisme. Seolah-olah solusi atas semua keterpurukan ini kemiskinan, korupsi, bangkrutnya BUMN, menumpuknya utang luar negeri, banyaknya pengangguran, dll adalah dengan memberantas radikalisme. Tentu saja tidak nyambung.
Sebagaimana diketahui, ‘nyanyian radikalisme’ atau ‘jualan isu radikal-radikul’ kembali dimainkan. BNPT, misalnya, baru-baru ini merilis pernyataan ratusan pesantren yang dituding radikal. BNPT juga berencana melakukan pemetaan terhadap masjid-masjid. Lagi-lagi demi mencegah radikalisme. Sebelumnya, terjadi ‘razia’ oleh Densus 88 terhadap ratusan kotak amal yang dituding terkait pendanaan terorisme/radikalisme. Kemenag sebelumnya juga rajin bicara tentang pentingnya moderasi agama, yang tentu tidak jauh dari niat melawan radikalisme. Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) baru-baru ini menerbitkan buku yang intinya juga perang melawan radikalisme. Pada saat yang sama, keganasan KKB di Papua yang bahkan telah membunuh puluhan anggota TNI, juga warga sipil, tidak dianggap sebagai teroris. Mereka bahkan diklaim sebagai ‘saudara’.
Politis dan Dipaksakan
Yang pasti, semua ‘nyanyian radikalisme’ atau ‘jualan isu radikal-radikul’ menyasar Islam dan kaum Muslim. Karena itu korban dari isu radikalisme adalah Islam dan kaum Muslim. Buktinya, atas nama perang melawan radikalisme, sebagian ajaran Islam dikriminalisasi. Contohnya ajaran Islam tentang syariah kâffah, jihad dan khilafah. Demikian pula kriminalisasi atas sejumlah tokoh umat yang berujung pemenjaraan, seperti HRS, HBS, Gus Nur, dll. Selain itu beberapa kelompok Islam non-kekerasan seperti HTI dan FPI dibubarkan. Lagi-lagi karena dianggap radikal.
Jelas, isu radikalisme di tengah keterpurukan negeri ini adalah isu politis dan tampak sangat dipaksakan. Sama sekali tidak relevan dan tidak penting. Menjadi pertanyaan apakah ini pengalihan semata, yakni mengalihkan perhatian masyarakat dari kegagalan rezim dalam mengatasi berbagai persoalan, khususnya persoalan ekonomi?
Di sisi lain, istilah radikalisme terkesan sengaja dibuat tidak jelas. Tujuannya tentu supaya mudah digunakan sebagai alat untuk memukul siapapun yang anti rezim. Faktanya, begitu mudahnya tokoh Islam atau kelompok Islam dicap radikal hanya gara-gara kritis terhadap rezim.
Karena itu sudah seharusnya kaum Muslim tidak terkecoh. Isu radikalisme tidak menggambarkan fakta dan peristiwa yang sesungguhnya. Isu ini jelas lebih bernuansa politis. Tujuannya adalah untuk memperkokoh rezim dan melemahkan sikap kritis umat Islam.
Radikal vs Moderat
Dengan dalih untuk mencegah radikalisme, berbagai pihak kemudian mengkampanyekan moderasi agama. Moderasi agama secara garis besar adalah paham keagamaan yang moderat. Moderat sering dilawankan dengan radikal. Kedua istilah ini bukanlah istilah ilmiah, tetapi cenderung merupakan istilah politis. Kedua istilah ini memiliki maksud dan tujuan politik tertentu. Sebabnya, moderat adalah paham keagamaan (Islam) yang sesuai selera Barat; sesuai dengan nilai-nilai Barat yang notabene sekuler (memisahkan agama dari kehidupan). Sebaliknya, radikal adalah paham keagamaan (Islam) yang dilekatkan pada kelompok-kelompok Islam yang anti Barat. Mereka adalah pihak yang menolak keras sekularisme. Mereka inilah yang menghendaki penerapan syariah Islam secara kâffah dalam seluruh aspek kehidupan.
Sejak Peledakan Gedung WTC 11 September 2001, AS telah memanfaatkan isu terorisme sebagai bagian dari skenario globalnya untuk melemahkan Islam dan kaum Muslim. Untuk itu, para peneliti kemudian menganjurkan beberapa pilihan langkah bagi AS. Salah satunya adalah mempromosikan jaringan “Islam moderat” untuk melawan gagasan-gagasan “Islam radikal”.
Lebih dari itu, dalam Dokumen RAND Corporation 2006 bertajuk, “Building Moderate Muslim Networks” disebutkan bahwa kemenangan AS yang tertinggi hanya bisa dicapai ketika ideologi Islam terus dicitraburukkan di mata mayoritas penduduk di tempat tinggal mereka. Salah satunya dengan labelisasi “radikal”, “fundamentalis”, “ekstremis”, dll.
Mantan Presiden AS George W Bush pernah menyebut ideologi Islam sebagai “ideologi para ekstremis”. Bahkan oleh mantan PM Inggris Tony Blair, ideologi Islam dijuluki sebagai “ideologi setan”. Hal itu ia nyatakan di dalam pidatonya pada Konferensi Kebijakan Nasional Partai Buruh Inggris (2005). Blair lalu menjelaskan ciri-ciri “ideologi setan” yaitu: (1) Menolak legitimasi Israel; (2) Memiliki pemikiran bahwa syariah adalah dasar hukum Islam; (3) Kaum Muslim harus menjadi satu kesatuan dalam naungan Khilafah; (4) Tidak mengadopsi nilai-nilai liberal dari Barat.
Alhasil, isu radikalisme sesungguhnya isu global. Isu ini merupakan kelanjutan dari isu terorisme yang telah gagal dalam mencapai tujuan negara-negara Barat, khususnya AS, untuk melumpuhkan perlawanan umat Islam terhadap penjajahan Barat.
Narasi perang melawan terorisme, radikalisme dan ekstremisme dengan target memerangi Islam dan umat Islam inilah yang juga terus-menerus dikampanyekan oleh para penguasa Muslim, termasuk di negeri ini. Mereka terus-menerus mengkampanyekan narasi-narasi kebencian terhadap Islam (islamophobia) dan kaum Muslim. Rezim anti Islam pun mengadu-domba sesama kelompok-kelompok Islam. Mereka memanfaatkan ulama-ulama yang tertipu untuk menyerang ajaran Islam khilafah dengan keji. Tujuannya tidak lain agar umat Islam semakin jauh dari ajaran Islam yang kâffah dan mengokohkan penjajahan negara-negara Barat atas Dunia Islam.
Sikap Umat Islam
Allah SWT berfirman:
يُرِيدُونَ أَنْ يُطْفِئُوا نُورَ اللَّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَيَأْبَى اللَّهُ إِلَّا أَنْ يُتِمَّ نُورَهُ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ
Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut-mulut mereka, sementara Allah enggan kecuali menyempurnakan cahaya-Nya meski orang-orang kafir tidak menyukainya (QS at-Taubah [9]: 32).
Melalui ayat ini Allah ﷻ mengingatkan kita bahwa musuh-musuh Islam tidak pernah melewatkan satu pun kesempatan yang dapat mereka gunakan untuk menyerang Islam dan Kaum Muslim. Semuanya demi suksesnya tujuan besar mereka: melenyapkan Islam hingga dari akar-akarnya.
Karena itu kaum Muslim tak boleh kendor. Tak boleh menjadi lemah. Tak boleh takut. Tetap harus berani. Tetap harus kuat, bahkan lebih kuat dalam melakukan perlawanan terhadap rezim anti Islam. Tentu tanpa harus melakukan aksi-aksi kekerasan.
Hendaknya rasa takut kita hanya kepada Allah ﷻ. Bukan kepada sesama manusia. Inilah yang mendorong generasi salafush-shalih selalu lantang dan menyuarakan kebenaran dan dalam menentang para penguasa zalim. Contohnya adalah Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Ia pernah berdiri di atas mimbar mengoreksi kebijakan Khalifah al-Muqtafi. Padahal ketika itu banyak orang diam dibungkam rasa takutnya pada penguasa. Saat itu Khalifah al-Muqtafi mengamanahkan jabatan peradilan kepada hakim yang zalim. Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menyampaikan kritiknya secara terang-terangan di atas mimbar masjid ketika Khalifah berada di hadapan sang ulama panutan:
وَ لَيْتَ عَلَى الْمُسْلِمِيْنَ أَظْلَمَ الظَّالِمِيْنَ وَ مَا جَوَابُكَ غَدًا عِنْدَ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
“Engkau telah mengangkat seseorang untuk kaum Muslim yang paling zalim di antara orang-orang zalim. Lantas apa jawabanmu esok hari (di Akhirat) di hadapan Tuhan Penguasa alam?” (Muhammad ash-Shallabi, Asy-Syaikh ’Abd al-Qadîr al-Jailâni, hlm. 85).
Itu semua ditegakkan tanpa gusar terhadap celaan orang-orang tercela (lawmata lâ’im), sebagaimana terucap di masa kini di balik stigma negatif “radikal” dari mereka yang terpedaya dunia. Allah ﷻ berfirman:
يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلاَ يَخَافُونَ لَوْمَةَ لاَئِمٍ
(Mereka) tetap berjihad di jalan Allah dan tidak takut terhadap celaan orang yang suka mencela (QS al-Maidah [5]: 54).
Bukankah Rasulullah ﷺ dan para Sahabat pun telah mencontohkan keberanian dan sikap teguh menghadapi berbagai tantangan dakwah?
Karena itu janganlah kita takut kepada makhluk-Nya dengan mendurhakai-Nya. Ini merupakan sebab kebinasaan, sebagaimana terjadi pada kaum terlaknat, kaum ’Ad (QS Hud [11]: 59-60).
Allah ﷻ menginformasikan bahwa di antara sebab kebinasaan mereka adalah memenuhi syahwat rezim yang bertindak sewenang-wenang dan menentang kebenaran yang dibawa para rasul pilihan.
Ingatlah, makhluk itu fana. Kekuasaan mereka pun akan binasa. Sebaliknya, Allah ﷻ sebaik-baiknya Pelindung (wa kafâ biLlâhi nashîr[an]) dan sebaik-baiknya Pemelihara (wa kafâ biLlâhi wakîl[an]).
Hikmah:
Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنِ التَمَسَ رِضَاءَ اللَّهِ بِسَخَطِ النَّاسِ كَفَاهُ اللَّهُ مُؤْنَةَ النَّاسِ، وَمَنِ التَمَسَ رِضَاءَ النَّاسِ بِسَخَطِ اللَّهِ وَكَلَهُ اللَّهُ إِلَى النَّاسِ
Siapa saja yang mencari keridhaan Allah meskipun mendatangkan kemurkaan manusia, Allah akan mencukupkan dia dari bantuan mereka. Siapa saja yang mencari keridhaan manusia dengan mendatangkan kemurkaan Allah, Allah akan menyerahkan dia kepada manusia.” (HR at-Tirmidzi). []
والله أعلمُ ﺑﺎ ﻟﺼﻮﺍﺏ
“dan Allah lebih tahu yang sebenar-benarnya”
Kaffah Edisi 230