Oleh: Winafatiya
Pernahkan mendapatkan hadiah dari orang yang kita sayang? Jika ya, bagaimana rasanya saat hadiah itu rusak atau hilang? Pasti sedih kan ya?
Bagaimana bentuk penghargaan kita kepada sang pemberi hadiah? Biasanya kita berterimakasih sembari memanfaatkan hadiah itu atau kita menyimpannya supaya terkenang selalu pada si pemberi hadiah atau momen saat hadiah itu diberikan.
Saking senangnya dengan hadiah itu, kita menggembar-gemborkan ke seantero manusia baik di dunia real maupun dunia maya. Tak jarang ada yang mengadakan tasyakuran atas berbagai hal yang menyenangkan.
Itu perlakuan untuk hadiah dari manusia. Bagaimana dengan bentuk penghargaan atas pemberian dari Allah ﷻ? Apakah kita sesenang dan seriang saat mendapatkan hadiah dari manusia? Apakah kita seantusias menyebarkan hadiah itu sebagaimana dari manusia?
Hadiah dari manusia kemungkinan bisa teraba atau terasa manfaatnya. Namun hadiah dari Allah ﷻ justru banyak yang tidak disadari oleh manusia. Wajar jika banyak manusia yang kurang berterimakasih (baca: bersyukur) kepada Allah ﷻ.
Padahal hadiah dari Allah ﷻ begitu banyak. Bahkan ada yang setiap hari hingga setiap detik kita rasakan. Subhanallah. Hadiah kesehatan, hadiah makanan, hadiah udara, hadiah waktu luang, hadiah hidup, bahkan hadiah iman dan Islam. Semuanya adalah hadiah dari Allah ﷻ. Semuanya adalah nikmat dari-Nya. Sebagaimana definisi nikmat adalah pemberian atau karunia dari Allah ﷻ.
Salah satu bentuk syukur (terimakasih) yang bisa dilakukan oleh kaum Muslim adalah tahadduts bin ni’mah yaitu menyampaikan kenikmatan. Sebagaiamana dari An Nu’man bin Basyir, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
من لم يشكر القليل لم يشكر الكثير، ومن لم يشكر الناس لم يشكر الله والتحدث بالنعمة شكر وتركها كفر…
"Barangsiapa tidak mensyukuri yang sedikit, niscaya tidak akan mensyukuri yang banyak. Siapa yang tidak bersyukur (berterima kasih) kepada orang lain, tidak bersyukur kepada Allah. Tahadduts bin ni’mah (menyampaikan kenikmatan) itu bentuk rasa syukur, dan meninggalkannya bentuk kufur (terhadap nikmat)." (HR. Ahmad)
Menyampaikan kenikmatan yang diperoleh adalah bentuk pengakuan sekaligus penghargaan kepada sang pemberi nikmat yaitu Allah ﷻ. Sebagaimana tercantum dalam Al-Qur'an surat Ad-Dhuha ayat 11:
وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ
Artinya: "Adapun nikmat dari Tuhanmu, maka sampaikanlah."
Imam Abu Bakr Ibnul Arobi al-Maliki menuturkan:
إذا أصبت خيراً أو علمت خيراً فحدث به الثقة من إخوانك على سبيل الشكر لا الفخر والتعالي
"Jika kau memperoleh atau mengetahui suatu kebaikan, maka sampaikanlah kepada saudaramu yang kau percaya, sebagai bentuk rasa syukur, bukan untuk menyombongkan diri ataupun tinggi hati."
Jadi, tahadduts bin ni’mah ini memang ada syariatnya yaitu menyebarkan kabar bahagia atas nikmat Allah ﷻ.
Jika saat ini banyak orang yang menunjukkan sesuatu ketika mendapatkan hadiah atau rezeki, maka bisa jadi ia sedang melakukan tahadduts bin ni’mah bukan pamer atau riya. Begitupun jika ada seorang pengemban dakwah memajang hasil karyanya di etalase beranda, atau di profil sosial media, bisa jadi itu adalah tahadduts bin ni’mah bukan pamer atau riya.
Memang beda tipis antara tahadduts bin ni’mah dan riya. Mereka tersekat oleh satu lapisan yang namanya NIAT. Jika niatnya pamer, maka nikmat Allah ﷻ itu akan membukakan pintu riya di hatinya. Dan itu justru mencabut keberkahan nikmat itu. Sebaliknya jika niatnya tahadduts bin ni’mah, maka justru yang terbuka ada pintu keberkahan.
Seorang pengemban dakwah tentulah tahadduts bin ni’mahnya adalah dengan dakwah dan ketaatannya pada syariah Allah ﷻ. Sebagaiamana Imam Sufyan bin Uyainah berkata kepada Abu Abdillah ar-Razy rahimahumallah:
"Wahai Abu Abdillah, sesungguhnya termasuk bentuk syukur kepada Allah atas kenikmatan adalah dengan engkau memuji-Nya atasnya, dan menjadikannya untuk membantu menaati-Nya. Maka tidak bersyukur kepada Allah seseorang yang menjadikan nikmat-Nya untuk membantu bermaksiat kepada-Nya." (Hilyatul Auliya', 7/278).
Seorang pengemban dakwah akan mengarahkan segala apa yang ia miliki semata-mata untuk dakwah. Hartanya, jiwanya, raganya, waktunya, pikirannya, tenaganya dan semua yang ia miliki. Itu adalah bentuk syukur yang tinggi kepada Allah ﷻ.
Tahadduts bin ni’mah paling tinggi bagi seorang pengemban dakwah dan kaum Muslim secara umum adalah ketika syariat Allah ﷻ itu tegak di atas dunia. Karena mewujudkan syariat yang kaffah adalah bukti tanda syukur yang paling tinggi atas nikmat Islam dan nikmat syariat yang Allah ﷻ berikan.
Islam adalah agama yang paripurna dan tahadduts bin ni’mah atas karunia agama ini adalah dengan berjuang mengerahkan segenap potensi untuk menjadikan Islam kembali tegak di muka bumi.
والله أعلمُ ﺑﺎ ﻟﺼﻮﺍﺏ
“dan Allah lebih tahu yang sebenar-benarnya”