Oleh: Wina Fatiya
Para pegiat pernikahan beda agama bisa bersenandung ria. Pasalnya beberapa hari ini viral foto dan video yang memperlihatkan sepasang mempelai didampingi keluarga dan pendeta yang melakukan prosesi pernikahan di Gereja St. Ignatius Krapyak, Kota Semarang, Sabtu (5/3).
Terlihat mempelai wanita itu mengenakan kerudung putih dipadukan setelan gaun pernikahan warna senada. Sedangkan mempelai pria menggunakan jas hitam. Mereka didampingi seorang saksi pernikahan. Belakangan diketahui bahwa saksi pernikahannya itu adalah Achmad Nurcholis, seorang konselor pernikahan.
Setelah dikonfirmasi, ia mengakui bahwa pasangan yang menikah itu berbeda agama. Sang pengantin pria beragama Katolik, sementara pengantin perempuan beragama Islam. (cnnindonesia.com, 8/3/2022)
Ia mengaku sudah mendampingi sekitar 30an pernikahan beda agama selama menjadi konselor pernikahan. Menurutnya pernikahan beda agama sangat mungkin dilakukan di Indonesia. Prosesnya dua tahap yaitu pemberkatan di gereja lalu akad nikah secara Islam bagi pengantin yang beragama Islam.
Sementara itu Ketua Komisi Dakwah MUI (Majelis Ulama Indonesia) KH Cholil Nafis mengungkapkan bahwa nikah beda agama hukumnya tidak sah. Ia menuliskan dalam cuitannya, "Menjawab banyak pertanyaan tentang nikah beda agama maka saya tegaskan menurut fatwa MUI hukumnya tidak sah, baik pernikahan beda agama yang muslim maupun yang muslimah." (tribunnews.com, 9/3/2022)
Di sisi lain berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan menyataan, "Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu."
Waspada Arus Liberalisasi Agama
Sejumlah program liberalisasi Islam di Indonesia diungkapkan dalam disertasi Dr. Greg Barton yang berjudul Gagasan Islam Liberal di Indonesia. Di antara program itu adalah: (a) Pentingnya konstekstualisasi ijtihad, (b) Komitmen terhadap rasionalitas dan pembaruan, (c) Penerimaan terhadap pluralisme sosial dan pluralisme agama-agama, (d) Pemisahan agama dari partai politik dan adanya posisi non-sektarian negara.
Agenda penyebaran pluralisme dan liberalisasi agama menjadi isu utama yang diarusderaskan. Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa ada strategi dan program yang sistematis dalam upaya meliberalkan Islam khususnya di Indonesia.
Pandangan bahwa semua agama itu sama dan setara menjadi pintu pembuka maraknya pernikahan beda agama.
Ulil abshor abdala, seorang pegiat Islam liberal pernah mengatakan, "Semua agama ada dalam satu keluarga besar yang sama: yaitu keluarga pencinta jalan menuju kebenaran yang tak pernah ada ujungnya."
Ia juga menyatakan, “Larangan kawin beda agama, dalam hal ini antara perempuan Islam dengan lelaki non-Islam sudah tidak relevan lagi.” (hidayatullah.com, 8/2/2022)
Proyek liberalisasi Islam di Indonesia bukanlah gerakan lokal. Beragam organisasi yang diikuti Indonesia baik regional maupun internasional serta LSM-LSM seperti The Asia Foundation, Ford Foundation dll senantiasa menggaungkan pluralisme dan kebebasan sebagai nilai universal yang harus disebarkan.
Bahkan liberalisasi Islam melalui kurikulum pendidikan sudah kita saksikan bersama polemiknya. Pelarangan jilbab di lingkungan sekolah, pembahasan jihad dan khilafah yang sudah dihapuskan dari materi pelajaran agama, wacana pelajaran agama sekedar ekstrakurikuler dll. Bahkan yang paling kentara adalah proyek moderasi beragama yang saat ini massif digaungkan di berbagai lini kehidupan.
Pandangan Islam
Terkait dengan pernikahan beda agama, KH. Hafidz Abdurrahman menjelaskan bahwa Islam dengan tegas melarang kaum Muslim menikah dengan wanita/pria kafir musyrik berdasarkan Al-Qur'an surat Al-Baqarah ayat 221.
Pengkhususan di Al-Qur'an surat Al-Maidah ayat 5, dikatakan bahwa wanita Ahli Kitab boleh dinikahi lelaki Muslim, tetapi tidak sebaliknya. Namun demikian ayat ini menetapkan tiga syarat, yaitu Muhshanat (menjaga kesucian), Ghaira Musafihat (tidak berbuat zina), dan Muttakhidzati akhdan (menjadi simpanan).
Siapa itu kafir musyrik dan ahli Kitab? Beliau menjelaskan bahwa Ahli Kitab adalah penganut Yahudi dan Nasrani, karena baik penganut Yahudi maupun Nasrani, sama-sama diberi kitab suci. Sedangkan Musyrik adalah para penganut agama, selain Yahudi dan Nasrani. Mereka adalah orang Hindu, Budha, Konghuchu, penganut Aliran Kepercayaan, dan lain-lain.
Bagaimana jika ketentuan ini dilanggar?
Jika ketentuan ini dilanggar, baik Muslim menikah dengan wanita Musyrik, maupun Muslimah menikah dengan lelaki Ahli Kitab atau Musyrik, maka pernikahannya dinyatakan batal. Pelakunya bukan hanya dianggap melanggar hukum pernikahan, tetapi juga dinyatakan telah melakukan zina. Karenanya, jika tidak dibatalkan, pelakunya bisa dijerat dengan pasal zina, dan dikenai sanksi perzinaan.
Sanksi perzinaannya pun bergantung kepada masing-masing pasangan. Jika sebelumnya mereka belum pernah menikah, maka bisa dijatuhi sanksi Jild (cambuk) 100 kali. Tidak hanya itu, mereka pun harus dipisahkan. Karena, pernikahannya dianggap tidak ada. Jika mereka sebelumnya sudah pernah menikah, maka bisa dijatuhi sanksi Rajm (dilempari batu) hingga mati.
Jika pernikahan (perzinaan) ini sampai berlanjut, bahkan sampai melahirkan anak, maka karena status pernikahannya tidak sah, status nasab anaknya pun tidak bisa dinisbatkan kepada bapak bilogisnya. Dengan demikian, bapak biologisnya tidak bisa menjadi wali anak tersebut. Demikian juga dengan konsekuensi waris bagi masing-masing, baik bapak mewarisi anaknya maupun anak mewarisi bapaknya, sama-sama tidak bisa diberlakukan.
Jika kondisi seperti ini terjadi, maka Negara Khilafah harus mempunyai data yang akurat terkait dengan mereka dan anak-anaknya, sehingga hukum Islam bisa diterapkan dengan tepat dan akurat. Misalnya, ketika anak tersebut hendak menikah, dan membutuhkan wali, maka bapak biologisnya tidak bisa menjadi walinya. Ini penting untuk menghindari terjadinya ketidakabsahan akad berikutnya, sehingga bisa menimbulkan terjadinya zina turunan. Dalam hal ini, penguasa Negara Khilafah-lah yang akan bertindak menjadi wali bagi anak-anak seperti ini.
Selain aspek perzinaan, pernikahan seperti ini juga bisa menjadi sarana pemurtadan. Dalam hal ini, Allah ﷻ sudah mengingatkan,
أُولَٰئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ ۖ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ ۖ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
“...Ula’ika yad’una ila an-nar, wa-Llahu yad’u ila al-jannah wa al-maghfirah bi idznih.”
(Mereka [orang Kafir] itu mengajak ke neraka [termasuk murtad], sementara Allah mengajak ke surga dan ampunan-Nya dengan izin-Nya) (Surat Al-Baqarah Ayat 221).
Karena itu, selain sanksi perzinaan, yang diberlakukan terhadap pernikahan ilegal ini, maka hadd riddah juga bisa diberlakukan terhadap pasangan yang murtad.
Islam juga menetapkan, bahwa agama anak yang belum baligh dinisbatkan kepada agama bapaknya, bukan agama ibunya, sebagaimana lazimnya nasab. Karena itu, ketentuan ini sekaligus memberikan jaminan, bahwa kebolehan Muslim menikahi wanita Ahli Kitab, tidak akan membahayakan agama anaknya. Tentu, dengan catatan, jika isterinya taat. Meski demikian, sangat sulit dibayangkan, jika suami-isteri yang berbeda agama itu bisa mewujudkan filosofi pernikahan, yaitu terwujudnya keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَتَّقُوا اللَّهَ يَجْعَلْ لَكُمْ فُرْقَانًا وَيُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ۗ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ
Hai orang-orang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, Kami akan memberikan kepadamu Furqaan. Dan kami akan jauhkan dirimu dari kesalahan-kesalahanmu, dan mengampuni (dosa-dosa)mu. Dan Allah mempunyai karunia yang besar. (Surat Al-Anfal Ayat 29)
والله أعلمُ ﺑﺎ ﻟﺼﻮﺍﺏ
“dan Allah lebih tahu yang sebenar-benarnya”