Oleh: Yuyun Rumiwati
Kita sering mendengar bagaimana pentingnya arti sebuah keimanan. Keimanan ibarat pondasi menentukan bagaimana kokohnya sebuah bangunan. Bahkan keimanan ini pula sebagai penentu diterimanya amal. Bahkan, bagaikan debu kemudian diterpa hujan tanpa bekas, gambaran aktivitas tanpa landasan keimanan.
Pertanyaannya, bagaimana agar keimanan itu menghujam dengan kuat dan melahirkan keimanan yang produktif. Keimanan yang berbuat ketaatan tanpa nanti dan tapi.
Bagaimana gambaran para sahabat Abu Bakar As-Sidiq saat hari pertama masuk Islam. Ia ajak para sahabat-sahabatnya untuk mengenal Islam hingga atas izin Allah memeluk Islam Usman Bin Affan, Abdurrahman bin Auf Zubair dan sahabatnya lewat tangannya.
Kita pun tercengang membaca bagaimana keberanian Abdullah bin Mas'ud untuk membacakan Al-Qur'an di tempat umum, walau harus dipukuli hingga babak belur dan luka-luka.
Belum lagi, gambaran sosok Mus'ab bin Umair yang rela meninggalkan kehidupan nyamannya demi keimanan yang ia pegang.
Maka, saat kita kaitkan dengan kondisi sekarang, terasa sulit kita temukan jawara muslim yang demikian. Walaupun, tetap akan ada orang serupa mereka. Maka tidak heran jika Rasulullah ﷺ mengabarkan kerinduannya pada sang "temannya" atau umatnya yang hidup jauh dari masanya, namun kecintaan dan ketaatan terhadap Allah dan Rasul-Nya sebagaimana sahabat Rasulullah ﷺ di zamannya.
Lalu bagaimana agar keimanan ini bisa menjadi ruh atas aktivitas seorang mukmin?
Bagaimana memperolehnya? Bagaimana menjaganya agar tetap produktif dalam kebaikan?
Sebuah pertanyaan besar bagi kita bagaimana metode Rasulullah ﷺ dalam menancapkan keimanan yang luar biasa ini?
Menurut Syaikh Taqiyuddin An-Nabhabi dalam beberapa kitabnya, diantaranya dalam kitab syaksiyah Islam, didefinisikan keimanan itu adalah tasdiqul jazm (pembenaran secara pasti). Pembenaran dengan sebenar-benarnya, keyakinan yang benar-benar meyakinkan tanpa ada sebuah keraguan sedikitpun.
Keimanan di atas diperoleh dengan jalan berfikir secara cemerlang mengenai apapun yang bisa dilihat oleh manusia, kemudian dikaitkan siapa dibalik alam beserta isinya ini. Lalu, akan kemana semua ini?
Dari proses berpikir ini akan ditemukan bahwa apapun yang ada di alam ini termasuk manusia hanya makhluk bagi Allah ﷻ sang pencipta.
Keimanan adanya sang pencipta dialah Allah ﷻ, mengantarkan pada sebuah keyakinan adanya iman pada Al-Qur'an dan segala yang dikabarkan dalam Al-Qur'an adalah pasti kebenarannya.
Maka tidak heran saat Rasullah ﷺ menggambarkan janji surga bagi orang beriman, dengan bersegera para sahabat menyambut seruan perintah jihad. Saat dikabarkan perintah jilbab langsung dipakaikan kain dalam memenuhi kewajiban itu.
وَبَشِّرِ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ ۖ كُلَّمَا رُزِقُوا مِنْهَا مِنْ ثَمَرَةٍ رِزْقًا ۙ قَالُوا هَٰذَا الَّذِي رُزِقْنَا مِنْ قَبْلُ ۖ وَأُتُوا بِهِ مُتَشَابِهًا ۖ وَلَهُمْ فِيهَا أَزْوَاجٌ مُطَهَّرَةٌ ۖ وَهُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang beriman dan berbuat kebajikan, bahwa untuk mereka (disediakan) surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Setiap kali mereka diberi rezeki buah-buahan dari surga, mereka berkata, “Inilah rezeki yang diberikan kepada kami dahulu.” Mereka telah diberi (buah-buahan) yang serupa. Dan di sana mereka (memperoleh). pasangan-pasangan yang suci. Mereka kekal di dalamnya. (QS. Al-Baqarah 2: 25)
Gambaran Indahnya surga sangat nyata bagi orang beriman. Dahsyatnya siksa neraka pun sangat menakutkan bagi mereka. Maka sikap wara' (berhati-hati) menghiasai jiwa orang beriman.
Iman yang kokoh dan produktif senantiasa dipupuk, bukan dibiarkan begitu saja. Sebagaimana karakteristik keimanan itu adalah yajid wa yankus (naik dan turun). Saat mulai turun agar tidak sampai pada titik terbawah. Maka dibutuhkan nutrisi penguat. Secara akliyah (pemikiran) bisa dikuatkan dengan banyak membaca, menuntut ilmu, mentadaburi ciptaan Allah ﷻ. Hingga kesadaran diri siapa kita dan akan kemana kita setelah kehidupan dunia yang sementara ini terus terjaga dan terpatri dalam akal dan jiwa.
Adapun secara nafsiyah saat keimanan mulai terasa menurun, maka kita butuh memperbanyak amalan takarub (mendekat) pada Allah ﷻ. Mulai dari memperbanyak istighfar, shalat sunah, mengingatkan kematian dan lainya.
والله أعلمُ ﺑﺎ ﻟﺼﻮﺍﺏ
“dan Allah lebih tahu yang sebenar-benarnya”