Oleh: Rita Mutiara
Kembali cerita tentang tarawih. Di wilayah tempat tinggalku saat aku SMA ada sebuah mesjid yang kabarnya bentrok karena perbedaan jumlah rakaat sholat tarawih. Sebagian Jamaah menginginkan 21 rakaat dan sebagian yang lain 11 rakaat. Akhinya dibuat kesepakatan di masjid tersebut yaitu menyelenggarakan tarawih dua kali. Pertama menyelenggarakan tarawih dengan jumlah 21 rakaat, kemudian selanjutnya diselenggarakan tarawih berjumlah 11 rakaat. Itulah jalan tengah yang diambil. Dengan jalan keluar ini bentrok pun berhenti.
Aku seperti ingin menepuk jidat, kok bisa bentrok gitu? Kenapa tidak mengalah, begitu pikirku. Itulah pikiran sederhanaku yang cinta perdamaian saat SMA
Saat aku masuk organisasi mahasiswa Islam HMI , di sana tidak pernah dipertentangkan mengenai NU dan Muhammadiyah. Kami tidak menyoroti apakah latar belakang seseorang, NU atau Muhammadiyah. Inilah yang aku suka. Materi saat LDK HMI menitik beratkan materi aqidah dan akhlaq. Ternyata dipandang dari sisi aqidah dan akhlak tidak ada perbedaan antara NU dan Muhammadiyah. Jadi tidak perlu mempertentangan masalah furuiyah (cabang).
Seperti suatu malam aku dan kakakku tergesa-gesa keluar rumah hendak melaksanakan tarawih berjamaah di masjid. Kami memilih mesjid raya yang baru berdiri. Sebelumnya kami tidak tahu apakah mesjid itu menyelenggarakan tarawih 21 rakaat atau 11 rakaat.
Kami datang terlambat, jumlah jamaah begitu banyak sehingga tidak ada lagi tempat. Maka sebagian jamaah menggelar sajadah sholat di halaman masjid untuk sholat tarawih. Aku dan kakakku menggelar sajadah di halaman mesjid menyambung shaf yang sudah ada. Aku menghamparkan sajadah yang di bawahnya rumput, Seorang ibu yang ada di sebelahku memberi koran untuk memberi alas dibawah sajadahku agar tidak langsung terkena rumput. Kuterima pemberian koran itu untuk mengalasi sajadahku. Bertabur bintang di langit diatas kepala kami. Rembulan mencerahkan malam itu, semilir hembusan angin malam yang lembut, rasanya syahdu dan menyenangkan melaksanakan shalat tarawih di alam terbuka. Kami tidak peduli apakah akan tarawih 11 rakaat atau 21 rakaat, kami datang hanya untuk beribadah kepada Allah Subhanahu Wa ta'ala dan mengikuti imam mesjid.
Interaksiku dengan Muhammadiyah hanya 3 tahun saat aku sekolah 3 tahun di SD Muhammadiyah, selanjutnya di sekolah negeri hingga lulus SMA. Namun hal itu besar pengaruhnya dalam kehidupanku. Setelah besar aku lebih memperhatikan tokoh-tokoh nasional dari Muhammadiyah.
Sejauh ini aku tidak mengidentifikasi sebagai pengikut Muhammadiyah. Aku tidak pernah masuk organisasi Muhammadiyah tapi aku pun tidak pernah memasuki organisasi di bawah NU. Namun selain aku mengagumi tokoh-tokoh organisasi Muhammadiyah, di akhir kuliah aku mengagumi Tokoh NU Hasyim Muzadi, kudengar ceramah-ceramahnya di youtube. Aku ikut sedih ketika menerima kabar meninggalnya beliau pada tahun 2017 dalam usia 71 tahun. Beliau adalah pemimpin besar luar biasa yang berwawasan global.
Salat tarawih adalah amalan ciri khas dalam bulan Ramadhan yang dikerjakan pada malam hari. Salat tarawih hukumnya adalah sunnah muakkad atau sunnah yang sangat dianjurkan pengerjaannya.
Landasan hukum salat tarawih bersumber dari salah satu riwayat hadits Rasulullah ﷺ yang menyebut shalat qiyamu Ramadhan (sebutan untuk salat tarawih) di bulan Ramadhan adalah sunnah.
Selain memiliki hukum sunnah muakkad, salat tarawih juga dianjurkan pengerjaannya karena mengandung keutamaan. Rasulullah ﷺ menyebut dalam haditsnya, orang yang mengerjakan salat tarawih di bulan Ramadhan akan dijanjikan berupa ampunan dosa yang telah lalu.
Rasulullah ﷺ bersabda,
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Artinya: "Barangsiapa ibadah (tarawih) di bulan Ramadhan seraya beriman dan ikhlas, maka diampuni baginya dosa yang telah lampau" (HR al-Bukhari, Muslim, dan lainnya).
والله أعلمُ ﺑﺎ ﻟﺼﻮﺍﺏ
“dan Allah lebih tahu yang sebenar-benarnya”