Oleh: Yati Azim
Melahirkan sikap adil bukan sekedar enak atau tidak enak. Baik atau tidak baiknya latar belakang seseorang. Apalagi jika, posisi kita sebagai seorang yang dipercaya memegang amanah.
"Ah saya tidak enak sama dia, dia itu baik sama saya".
"Dia baik sekali sama saya, tidak pernah bohong, dia teman yang selalu jujur, maka saya harus jujur juga sama dia."
Terkadang kebaikan orang lain sangat mudah mendorong kita untuk kembali bersikap baik. Lalu, bagaimana jika ada orang yang sering membuat kesel, bikin emosi, bikin suntuk itu pun hadir di tengah kita. Sedangkan kita memiliki amanah juga untuk menegakkan keadilan itu.
Inilah yang selayaknya wajib kita pahami, bahwa menjadi penegak keadilan itu bukan karena perasaan manusia semata-mata atau karena timbal balik. Tapi, ini karena perintah Allah ﷻ. Allah ﷻ telah memberikan kita cara pandang yang benar sehingga melahirkan sikap yang benar juga.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ ۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
"Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS. Al-Ma'idah Ayat 8)
Bayangkan jika kita masih memutuskan perkara dengan rasa manusia, pasti ini akan melahirkan kerusakan yang teramat parah. Akan menimbulkan pro dan kontra yang tak kunjung usai. Kehidupan bukannya tentram dan damai tapi akan kacau.
Dalam lingkup keluarga kecil kitapun harus ditumbuhkan sikap adil. Misalnya seorang ibu, ia tak boleh lalai dalam perhatian dan kasih sayang. Tersebab kesel dengan si adik, lalu lebih mementingkan perhatian ke si kakak saja. Atau, selalu mengadu dan mengeluh dengan cerita tanpa kejelasan sehingga membuat kesaksian palsu. Kisah palsu yang akhirnya membuat suaminya mendapatkan informasi yang tidak benar.
Padahal sejatinya hal ini tak berguna sama sekali. Ia mengikuti dorongan hawa nafsu. Sungguh ini kepuasan hawa nafsu yang akan merusak bukan menyelesaikan masalah. Ujungnya, ada pihak yang dirugikan.
Betapa pentingnya kita berlaku adil. Dan syarat takwa inilah yang meluruskan manusia dari kebengkokan. Sungguh, seruan keadilan ini hanya bisa ditegakkan oleh hamba-Nya yang bertakwa. Ia senantiasa mendengar dan mentaati titah Allah ﷻ Penciptaan dan Pengaturan kehidupan.
Bayangkan jika seseorang ini adalah pemimpin dalam sebuah negara. Maka, kondisi sosial kemasyarakatan akan kacau. Akan melahirkan gejolak sosial yang parah. Kerusakan demi kerusakan bisa jadi semakin mengganas sebab tak di kontrol oleh syariat. Padahal, jika seseorang ingin adil ia harus merujuk pada syariat saja, baik dalam memimpin umat muslim maupun non muslim.
Urgensi kehadiran manusia yang bertakwa sangat penting. Sebab, ketakwaan akan melahirkan manusia menuju fitrah. Momentum Ramadhan sangat relevan mencetak manusia seperti ini. Sebab, ia dididik dan dilatih selama 30 hari untuk menahan hawa nafsunya. Tidak kemudian mengambil keputusan dari persangkaan manusia semata, sebab manusia itu lemah. Ia hanya akan kuat jika berpedoman kepada Khalik yang menguasai semesta yaitu Allah ﷻ.
Maka, hanya yang beriman saja yang dengan kelembutan hatinya akan mengambil seruan ini. Seruan yang dilakukan tersebab takwa. Tersebab pahala yang banyak. Tersebab ingin meraih surga dari dunia.
والله أعلمُ ﺑﺎ ﻟﺼﻮﺍﺏ
“dan Allah lebih tahu yang sebenar-benarnya”