Oleh: Eni Imami
Seseorang lebih merasa nyaman dan senang jika melakukan sesuatu berdasarkan keputusannya sendiri. Orang bilang, jika berdasarkan keputusan sendiri hasilnya bisa maksimal. Namun, jika dipaksa bukan dari keputusannya sendiri akan dilakukan dengan berat hati.
Sekaliber sahabiyah pun pernah merasa berat hati menerima keputusan dari orang lain. Namun ketika dia tau bahwa itu keputusan Allah dan Rasul-Nya, langsung tunduk dan taat.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥٓ أَمْرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ ٱلْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَن يَعْصِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَٰلًا مُّبِينًا
"Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata." (Qs. Al-Ahzab: 36)
Ayat tersebut berpesan agar orang-orang beriman tidak ragu akan keputusan Allah. Bahwa setiap keputusan Allah merupakan solusi atas setiap persoalan dan pasti membawa kebaikan. Maka tidak patut bagi kita ada pilihan lain setelah Allah dan Rasul-Nya memberikan keputusan.
Dalam penjelasan tafsir Ibnu Katsir yang cukup panjang, sari intinya bahwa Zainab binti Jahsy menolak lamaran Rasulullah untuk Zaid bin Haritsah karena Zaid seorang budak yang dimerdekakan dan menjadi anak angkat Rasulullah. Sedangkan Zainab merasa lebih terhormat. Kemudian turunlah ayat ini yang menjadikan Zainab mematuhi keputusan Allah dan Rasul-Nya kemudian menerima lamaran tersebut.
Dikisahkan pula bahwa Rasulullah melamar seorang perempuan dari kalangan Anshor kepada Ayahnya untuk beliau kawinkan dengan Julaibib. Ayah tersebut meminta untuk bermusyawarah dulu dengan istrinya, dan istrinya keberatan. Namun, si anak perempuan mendengar bahwa itu lamaran yang dibawa oleh Rasulullah. Jika Rasulullah menghendakinya mengapa kita menolak? Maka si anak perempuan itu rela dinikahkan dengan Julaibib.
Apa yang dilakukan Zainab bin Jahsy dan si anak perempuan yang dinikahi oleh Julaibib adalah wujud ketaatan seorang mukmin kepada keputusan Allah dan Rasul-Nya. Dan dibalik itu semua mengandung hikmah yang besar, karena semua terjadi atas petunjuk Allah.
Dari pernikahan Zainab dengan Zaid menghapuskan tradisi jahiliyah terkait kesetaraan sosial atau keturunan dalam pernikahan. Menghapus anggapan bahwa anak angkat posisinya sama dengan anak kandung sehingga jandanya tidak boleh dinikahi. Selepas perceraian Zainab dengan Zaid, Zainab dinikahi oleh Rasulullah.
Julaibib, orang yang dipandang sebelah mata ternyata memiliki kedudukan mulia dihadapan Allah dan Rasul-Nya. Julaibib syahid di medan jihad dan Rasulullah sendiri yang memanggul jenazahnya. Kemudian Rasulullah mendoakan janda Julaibib tidak kekurangan apapun hingga ia dikenal sebagai orang yang paling dermawan.
Sungguh, taat kepada keputusan Allah dan Rasul-Nya membawa kebaikan. Ini semua juga sebagai penguji keimanan. Sungguh dikatakan tidak beriman jika kita merasa berat hati terhadap keputusan Allah dan Rasul-Nya terhadap perkara yang diperselisihkan.
والله أعلمُ ﺑﺎ ﻟﺼﻮﺍﺏ
“dan Allah lebih tahu yang sebenar-benarnya”