Oleh: Enny Ummu Almira
Penguasa dalam Islam adalah orang yang terpilih untuk memimpin suatu wilayah. Meski dalam penerapannya masih ada perbedaan pendapat berkaitan dengan harus tidaknya kita mentaati seorang penguasa atau pemimpin.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (QS. An-Nisa' 4: Ayat 59)
Sekilas jika dibaca secara tekstual, kita harus mentaati Allah dan mentaati Rosulullah serta ulil amri, yang jadi masalah adalah perbedaan pendapat mengenai Ulil Amri yang harus ditaati disini ada yang mengatakan harus yang sesuai syari'at atau yang menjalankan hukum Islam, ada yang mengatakan siapapun pemimpinnya yang terpilih dan yang berkuasa saat itu di wilayah itu.
Dasar dari yang mengatakan bahwa yang harus ditaati adalah yang sesuai dengan syari'at Islam yaitu :
لاَ طَاعَةَ فِى مَعْصِيَةٍ ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِى الْمَعْرُوفِ
“Tidak ada kewajiban ta’at dalam rangka bermaksiat (kepada Allah). Ketaatan hanyalah dalam perkara yang ma’ruf (bukan maksiat).” (HR. Bukhari no. 7257)
Rasulullah ﷺ juga bersabda,
السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى المَرْءِ المُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ، مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ، فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ
“Seorang muslim wajib mendengar dan taat dalam perkara yang dia sukai atau benci selama tidak diperintahkan untuk bermaksiat. Apabila diperintahkan untuk bermaksiat, maka tidak ada kewajiban mendengar dan taat.” (HR. Bukhari no. 7144)
Sedangkan sebagian kita mungkin sudah tau atau menyadari bagaimana kepemimpinan dinegeri ini, betapa banyaknya kemaksiatan yang dilakukan oleh para pemimpin baik di pusat maupun di bawah atau daerah, juga dalam pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya manusia, serta tidak meratanya kesejahteraan rakyat.
Juga banyaknya masalah yang timbul di berbagai bidang (IPOLEKSOSBUDHANKAM) sehingga menimbulkan berbagai masalah kemasyarakatan baik kriminal, kejahatan, judi, riba, narkoba, perzinahan dan lain-lain. Ini adalah akibat dari salahnya sistem yang menyebabkan kezaliman dan ketidak adilan. Jika sudah begini bagaimana kita mau taat? Justru yang terjadi adalah mereka berusaha ingin mencari keadilan jika perlu dengan mengganti sistem. Karena jika mengganti pemimpinnya tapi sistem yang dipakai tetap sistem bukan Islam rasanya sia-sia dan sama saja.
Sedangkan dalil yang digunakan oleh pendapat yang mengatakan kita harus menaati siapapun pemimpinnya baik sesuai syari'at maupun tidak adalah :
Syaikh Shalih Al Fauzan ditanya, “Apakah prinsip ini, khusus untuk untuk penguasa yang berhukum dengan syariat Allah sebagaimana negeri kita yang diberkahi ini, ataukah umum untuk pemerintah kaum muslimin bahkan yang tidak berhukum dengan syariat Allah dan menggantinya dengan qawanin wadh’iyyah (hukum buatan manusia)?” Beliau menjawab: Allah berfirman: (yang artinya) “Dan ulil amri di antara kalian” (Q.S. An Nisâ’ [4]: 59). Maksudnya, dari kaum muslimin. Maka jika penguasa itu muslim, tidak kafir kepada Allah dan juga tidak melakukan salah satu dari pembatal-pembatal keislaman, maka dia adalah ulil amri yang wajib ditaati.
Nabi ﷺ juga mengabarkan akan adanya pemimpin yang tidak berhukum dengan hukum Allah. Beliau bersabda,
يَكُونُ بَعْدِى أَئِمَّةٌ لاَ يَهْتَدُونَ بِهُدَاىَ وَلاَ يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِى وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِى جُثْمَانِ إِنْسٍ
قَالَ قُلْتُ كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ قَالَ
تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلأَمِيرِ وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ فَاسْمَعْ وَأَطِعْ
“Nanti setelah aku akan ada pemimpin pemimpin yang tidak mengambil petunjukku dan tidak pula melaksanakan sunnahku. Nanti akan ada di tengah-tengah mereka orang-orang yang hatinya adalah hati setan, namun jasadnya adalah jasad manusia.”
Aku berkata, “Wahai Rasulullah, apa yang harus aku lakukan jika aku menemui zaman seperti itu?”
Beliau bersabda, “Dengarlah dan ta’at kepada pemimpinmu, walaupun mereka menyiksa punggungmu dan mengambil hartamu. Tetaplah mendengar dan ta’at kepada mereka” (H.R. Muslim no. 1847).
Hadits ini tegas menunjukkan bahwa walupun mereka tidak mengambil petunjuk nabi dan sunnahnya, tetap harus ditaati dalam hal yang ma’ruf. Ini sebagai bantahan terhadap orang yang mengatakan bahwa bila pemimpin itu berhukum dengan selain hukum Allah maka tidak disebut ulil amri. Hadits ini juga membantah orang yang mengkafirkan setiap penguasa yang tidak berhukum dengan hukum Allah secara mutlak. Namun bukan berarti kita menyetujui perbuatan mereka.
والله أعلمُ ﺑﺎ ﻟﺼﻮﺍﺏ
“dan Allah lebih tahu yang sebenar-benarnya”