Oleh: Titin
Owner Angkringan Jahe Merah
Siapakah yang tidak sepakat bahwa tiada yang lebih tinggi dari segala-galanya dari semua yang tinggi di dunia ini? Kecuali Allah. Siapakah yang berani menolak bahwa Allah-lah Yang Maha Penolong kita.
Contoh, ketika orang dalam penerbangan pesawat yang oleng dengan cuaca sangat buruk dan seluruh penumpang ragu akan selamat, siapakah yang akan di sebut-sebut untuk memberi pertolongan?
Berikut, ketika dalam perjalanan lalu lintas tak terkendali sampai terancam kecelakaan yang mengenaskan, siapakah yang akan di sebut pertama kali? Emak-bapak? Para pemimpin di kantor? Di pemerintahan? Tentu Allah Yang Maha Tinggi. Begitu juga orang yang akan tenggelam, siapakah yang akan di sebut-sebut? Dalam situasi yang sangat mengerikan?
Sesungguhnya Maha Suci Allah, Maha Tinggi dan Maha Benar dari segalanya. Tersebut nama-Nya dalam surat ke 87 ayat 1 sebagai berikut:
سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى
Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi, (QS. Al-A’la Ayat 1)
Allah telah memerintahkan Rasul-Nya agar mensucikan nama-Nya dari segala sesuatu yang tidak sesuai dengan kebesaran serta kemuliaan zat dan sifat-Nya. Nama Allah hanyalah diucapkan dalam rangka memujinya, tidak boleh sesuatu dinamai dengan nama-Nya. Maha suci Allah yang Maha Tinggi.
Maasya Allah perintah tersebut tentunya untuk kita juga, agar selalu meninggikan Allah di atas segalanya. Dengan rasa takut yang sesungguhnya. Takut bila Allah nanti marah, takut akan siksa-Nya bila salah. Sehingga timbul lah rasa iman dan takwa di dada, yang lain harus mengalah, bulat menyerah alias turut perintah.
Tetapi kenapa masih ada yang berani tidak mau menuruti perintah-Nya?
Mungkin karena masih ada yang lain di dalam hatinya. Dalam hatinya takut kehilangan harga diri. Wong merasa bisa kok kenapa tidak berkuasa, takut nanti di bilang banci. Nah akhirnya lupa diri dan menuruti setan yang membisiki.
Atau adanya rasa malas sehingga kurang pengetahuan. Malas belajar, takut menjadi tahu yang nantinya malah akan menghalangi nafsu. Andai tiap insan sadar bahwa belajar itu berhadiah pahala surga, tentu di mana-mana terhampar tikar menjadi sudut para pembelajar. Padahal, pengetahuan/ilmu Islam memberikan solusi hidup di luar nalar. Lalu alasan apa menolak menjadi pintar? Kurangkah sistem sekuler yang hanya menyeret hidup menjadi redup dan pudar?
Yang lebih parah lagi bila hati itu sudah mati. Hidup tanpa mau peduli yang penting cukup dengan diri sendiri. Seperti, punya jabatan menjadi angkuh diri karena merasa kedudukannya lebih tinggi. Yang di bawah pada mati cukup tutup hati.
Yang punya wewenang bikin aturan sendiri. Yang merasa adidaya apalagi pedang utamanya untuk menzalimi. Ada sumber daya alam diangkuti. Boro-boro ada rasa salah, permisi kepada domisili, padahal itu semua Kuasa dari Yang Maha Tinggi.
Duh, masih pantaskah orang seperti ini bisa dirawat di bengkel hati? Kira-kira masih ada yang buka tidak ya di tengah hidup yang ruwet ini? Man jadda wa jadda berusahalah keras untuk menemukan obatnya. Kecuali sudah cukup puas berada di kavling di sebelah surga.
Bila cukup sampai tujuannya di sini, lalu mana letak ketinggian diri tadi? Padahal di sisi Allah Yang Maha Tinggi adalah pejabat berpangkat pemegang aturan syar’i yakni seluruh hukum yang disampaikan oleh Nabi.
والله أعلمُ ﺑﺎ ﻟﺼﻮﺍﺏ
“dan Allah lebih tahu yang sebenar-benarnya”