Oleh: Desi
Tentang keluasan ilmu Allah ﷻ, tak jarang kita mendengar sebuah gambaran bahwa, luasnya ilmu Allah itu tidak akan bisa habis meskipun dituliskan dengan tinta yang jumlahnya sebanyak seluruh lautan. Bahkan meski telah didatangkan berulang kali tinta sebanyak lautan itu, tidak akan cukup untuk menuliskan seluruh ilmunya Allah ﷻ.
Ilmu Allah ﷻ maha luas, tak terjangkau dan tak terbayangkan oleh akal manusia yang terbatas. Dia mengetahui apa yang sudah, sedang dan yang akan terjadi di hari kemudian serta yang mengaturnya. Manusia, malaikat atau makhluk manapun tidak akan mampu menyelami lautan ilmu Allah ﷻ. Bahkan tentang tubuhnya sendiri saja tidak akan semuanya terjangkau oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi yang telah dicapai oleh manusia. Semakin didalami semakin banyak yang belum terjangkau, semakin banyak misteri yang belum terpecahkan. Seperti jaringan kerja otak manusia merupakan sesuatu yang masih rumit untuk dikaji. Belum lagi tentang ilmu Allah lainnya.
Allah ﷻ, menggambarkan betapa kecil dan tak berdayanya manusia bila dibandingkan dengan ilmu Allah ﷻ dengan perumpamaan air laut bahkan tujuh lautan dijadikan tinta untuk menulis kalimat Allah ﷻ, niscaya tidak akan habis-habisnya kalimat Allah tersebut dituliskan.
قُلْ لَوْ كَانَ الْبَحْرُ مِدَادًا لِكَلِمَاتِ رَبِّي لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ أَنْ تَنْفَدَ كَلِمَاتُ رَبِّي وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهِ مَدَدًا
Katakanlah: Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula). (QS. Al-Kafhi [18]:109).
Ayat ini turun berkenaan dengan orang-orang Yahudi yang menganggap bahwa mereka telah mendapatkan ilmu yang sangat banyak karena telah diturunkan Taurat kepada mereka. Disebutkan oleh Imam Jalaluddin as-Suyuti dalam kitab Lubab an-Nuqul fi Asbab an-Nuzul, awalnya ialah ketika orang-orang Yahudi mendengar Q.S. Al-Isra’ [17] ayat 85, yang artinya: “Sedangkan kalian diberi pengetahuan hanya sedikit.”
Tatkala mereka mendengar ayat yang menyebutkan bahwa ilmu mereka masih sedikit, salah seorang dari kaum Yahudi menjawab, “Kami telah mendapatkan ilmu yang sangat banyak, yaitu dengan diberikannya kitab Taurat kepada kami. Dan barang siapa telah diberi kitab Taurat, maka ia telah mendapatkan banyak kebaikan.” Setelah itu diturunkanlah surat Al-Kahfi ayat 109, sebagai penegasan bahwa ilmu yang mereka peroleh masih sangat sedikit jika dibandingkan dengan ilmu yang Allah miliki.
Syekh Fakhruddin ar-Razi dalam kitab Tafsir Mafatih al-Ghaib memberikan penjelasan bahwa, memang benar jika dikatakan dalam kitab Taurat terdapat hikmah yang sangat banyak. Akan tetapi hikmah yang sangat banyak itu pun masih belum sebanding dengan ilmu Allah ﷻ. Sehingga hikmah di dalamnya seakan hanya setetes dari keseluruhan samudera ilmu yang dimiliki Allah ﷻ.
Adapun tentang ilmu, Islam telah mewajibkan bagi setiap pemeluknya untuk menuntut ilmu (HR. Bukhari). Beliau juga memotivasi kita agar mengambil peran dalam aktivitas keilmuan.
"Belajarlah kamu semua, dan mengajarlah kamu semua, dan hormatilah guru-gurumu, serta berlaku baiklah terhadap orang yang mengajarkanmu." (HR Thabrani).
"Jadilah kalian orang berilmu ('aaliman), atau orang yang belajar ilmu (muta'alliman), atau orang yang mendengar ilmu (mustami'an), atau orang yang mencintai ilmu (muhibban). Tapi jangan menjadi orang yang kelima, niscaya kalian akan celaka," (HR al-Bayhaqi).
Ayat Al-Qur'an yang pertama kali turun semakin menguatkan kita agar menjadi orang yang berilmu. Perintah membaca (Iqra') diulang dua kali sebagai pintu ilmu. Lalu menulis dengan pena (Al-Qalam) untuk melahirkan buku. Jika baca dan tulis dilakukan dengan asma Allah, niscaya akan dicurahkan keluasan ilmu, bahkan diajarkan sesuatu yang belum diketahui (ilmu ladunni).
Hal ini seharusnya menjadi perhatian setiap muslim bahwa mencari ilmu adalah perintah agama. Allah dan Rosul-Nya menyuruh kita untuk membaca dan menulis. Perintah ini sejalan dengan sejarah untuk menulis Al-Qur'an. Nabi telah memerintahkan kepada beberapa sahabatnya untuk menulis di pelepah kurma dan kulit hewan. Dari sini pula lahirlah para perawi hadist seperti Imam Bukhari, Imam Muslim dan masih banyak lainnya yang namanya tetap harum tidak usang dimakan zaman hingga hari ini.
Tanpa budaya baca dan tulis, tidak akan terbit buku-buku berkualitas tinggi sebagai sumber pengetahuan. Tanpa referensi, umat Islam pun tidak akan mampu menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi untuk membangun peradaban. Kesadaran itu pula yang melahirkan para penulis disepanjang sejarah Islam dalam bidang tafsir, hadis, sejarah, kedokteran, dan lainnya.
Tanda orang berilmu tidak akan pernah berhenti belajar karena belajar itu dari buaian hingga liang lahat. Ilmu Allah sangat luas. Hamparan alam yang terbentang di daratan dan lautan bahkan ruang angkasa, tak pernah kering untuk dibaca, diteliti, dan ditulis.
Lihatlah orang-orang yang mengambil peran berharga dalam kehidupan. Nama mereka tetap hidup dan terkenal sepanjang masa sekalipun jasad mereka telah terkubur. Namun mereka selalu menemani generasi penerusnya melalui karya-karyanya. Mereka itulah orang-orang cerdas dalam memilih amal. Memprioritaskan aktivitasnya meninggalkan jejak-jejak dakwah di bumi sebagai bukti cinta kepada anak cucu. Orang-orang yang tidak pernah menyia-nyiakan waktu untuk meraih peluang pahala jariyah sebanyak-banyaknya. Sebagai musafir yang hanya mampir sejenak di bumi, mereka menyadari butuh bekal yang banyak untuk pulang ke kampung halaman yang tidak cukup jika membawa bekal ala kadarnya.
والله أعلمُ ﺑﺎ ﻟﺼﻮﺍﺏ
“dan Allah lebih tahu yang sebenar-benarnya”