Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 masih cukup jauh. Sekitar dua tahun lagi. Namun demikian, demi memenangkan pertarungan di Pilpres 2024, banyak pejabat dan politisi sudah mulai tampak sibuk bermanuver. Demikian juga sejumlah partai politik. Mereka melakukan konsolidasi sejak dini. Muncul, misalnya, Koalisi Indonesia Bersatu (KIB). Di dalamnya tergabung Partai Golkar, PAN dan PPP. KIB dibentuk tentu untuk kepentingan Pilpres 2024.
Lalu ada sejumlah nama yang muncul atau dimunculkan sebagai calon presiden. Ada Puan dan Ganjar dari PDIP. Ada Airlangga Hartarto dari Golkar. Ada Prabowo dari Gerindra. Ada AHY dari Demokrat. Ada Cak Imin dari PKB. Ada Anies Baswedan dari non partai. Tak ketinggalan Menteri Erick Thohir yang diduga juga berambisi menjadi presiden.
Di sisi lain, banyak yang menghendaki Jokowi dari PDIP menjadi presiden tiga periode. Meski banyak ditentang berbagai kalangan, Menko Luhut dan sejumlah pihak sempat bermanuver untuk memuluskan hasrat Jokowi tiga periode ini.
Tampak jelas nafsu elite politik untuk berkuasa atau mempertahankan kekuasaan begitu menggebu. Tak lagi malu-malu. Terang-terangan. Tak lagi bisa disembunyikan. Seolah tak peduli lagi etika berpolitik. Semua pejabat, politisi dan parpol sibuk fokus memikirkan Pilpres 2024 yang masih jauh. Seolah tak ada satu pun penguasa, pejabat, politisi dan parpol yang fokus mengurus rakyat. Padahal saat ini justru rakyat sedang banyak dirundung masalah. Terutama masalah ekonomi.
Meski pandemi Covid-19 telah berakhir, rakyat kebanyakan masih terpuruk secara ekonomi. Di sisi lain, Pemerintah seolah tak peduli. Buktinya, menyusul kenaikan harga Pertamax yang gila-gilaan, ada rencana Pemerintah untuk menaikkan harga Pertalite. Pemerintah juga berencana menaikkan kembali tarif dasar listrik dan gas. Yang sudah pasti dan sudah berlaku, Pemerintah telah menaikkan PPN menjadi 11%. Akibatnya, harga-harga barang pun otomatis naik. Belum lagi harga minyak goreng yang naik nyaris dua kali lipat. Selama berbulan-bulan sampai saat ini, harga minyak goreng tetap mahal. Tidak mengalami penurunan sama sekali, sesuai janji Presiden Jokowi.
Di sisi lain, selama Pandemi, jumlah kekayaan para pejabat banyak yang meningkat justru di tengah sejumlah BUMN yang bermasalah. Ada yang terlilit utang puluhan triliun, seperti PLN, Garuda, dll. Ada yang mengalami kerugian ratusan triliun, seperti Pertamina. Pada saat yang sama, korupsi makin tak terkendali. Sekadar contoh, ada kasus korupsi Asabri, Jiwasraya dan Bansos dengan angka puluhan triliun rupiah. Ironisnya, banyak koruptor yang tak segera ditangkap dan diadili. Kalaupun ada yang diadili dan dihukum, hukumannya ringan. Bahkan ada koruptor kakap yang kemudian dengan mudahnya dibebaskan.
Demikianlah. Di bawah sistem demokrasi sekuler yang mencampakkan aturan agama (syariah Islam), sebagaimana di negeri ini, kekuasaan benar-benar telah menimbulkan fitnah. Banyak orang berlomba-lomba meraih dan atau mempertahankan kekuasaan. Segala cara digunakan. Tak peduli halal dan haram. Saat berkuasa atau memegang jabatan, kekuasaan dan jabatan itu pun dijalankan tidak dengan amanah. Kekuasaan lebih banyak dijadikan alat untuk kepentingan sendiri dan golongan. Sebaliknya, kepentingan dan kemaslahatan rakyat sering diabaikan dan ditinggalkan.
Kekuasaan adalah Amanah
Allah ﷻ berfirman:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا اْلأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ
Sungguh Allah menyuruh kalian memberikan amanah kepada orang yang berhak menerimanya, juga (menyuruh kalian) jika menetapkan hukum di antara manusia agar kalian berlaku adil (TQS an-Nisa’ [4]: 58).
Imam Ibnu Katsir menjelaskan, “Pada dasarnya, amanah adalah taklif (syariah Islam) yang harus dijalankan dengan sepenuh hati, dengan cara melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Jika ia melaksanakan taklif tersebut maka ia akan mendapatkan pahala di sisi Allah. Sebaliknya, jika ia melanggar taklif tersebut maka ia akan memperoleh siksa.” (Ibnu Katsir, Tafsîr Ibnu Katsîr, III/522).
Terkait amanah kekuasaan, Imam ath-Thabari, dalam Tafsîr ath-Thabarî, menukil perkataan Ali bin Abi Thalib ra., “Kewajiban penguasa adalah berhukum dengan hukum yang telah Allah turunkan dan menunaikan amanah…”
Sikap amanah seorang penguasa terlihat dari tatacaranya dalam mengurusi masyarakat berdasarkan aturan-aturan Allah ﷻ. Ia juga berusaha dengan keras untuk menghiasi dirinya dengan budi pekerti yang luhur dan sifat-sifat kepemimpinan. Penguasa amanah tidak akan membiarkan berlakunya sistem kufur, seperti sistem demokrasi yang bertentangan dengan Islam. Ia pun tidak mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak pada Islam dan kaum Muslim.
Kekuasaan Bisa Berujung Penyesalan
Banyak orang berambisi terhadap kekuasaan. Apalagi dalam sistem sekuler yang bersifat materialistik seperti saat ini. Padahal, terkait ambisi terhadap kekuasaan, jauh-jauh hari Rasulullah ﷺ telah memperingatkan umatnya agar hati-hati terhadap akibatnya:
إِنَّكُمْ سَتَحْرِصُونَ عَلَى الإِمَارَةِ وَسَتَصِيرُ نَدَامَةً وَحَسْرَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Sungguh kalian akan berambisi terhadap kepemimpinan (kekuasaan), sementara kepemimpinan (kekuasaan) itu akan menjadi penyesalan dan kerugian pada Hari Kiamat kelak (HR al-Bukhari, an-Nasa’i dan Ahmad).
Karena itulah Rasul ﷺ memberikan contoh dengan tidak memberikan kekuasaan atau jabatan kepada orang yang meminta kekuasaan atau jabatan tersebut. Beliau pernah bersabda:
إِنَّا وَاللَّهِ لاَ نُوَلِّى عَلَى هَذَا الْعَمَلِ أَحَدًا سَأَلَهُ وَلاَ أَحَدًا حَرَصَ عَلَيْهِ
Kami, demi Allah, tidak akan mengangkat atas tugas ini seorang pun yang memintanya dan yang berambisi terhadapnya (HR Muslim).
Dalam redaksi lain dinyatakan:
لاَ نَسْتَعْمِلُ عَلَى عَمَلِنَا مَنْ أَرَادَهُ
Kami tidak akan mengangkat atas tugas kami orang yang menginginkannya (HR al-Bukhari dan Muslim).
Abu Bakar ath-Tharthusi dalam Sirâj al-Muluk menjelaskan, “Rahasia di balik semua ini adalah bahwa kekuasaan (jabatan) adalah amanah…Berambisi atas amanah adalah salah satu bukti dari sikap khianat...Jika seseorang yang khianat diberi amanah maka itu seperti meminta serigala untuk menggembalakan domba.”
Ancaman Terhadap Penguasa Khianat
Penguasa khianat diancam oleh Rasulullah ﷺ, antara lain melalui sabdanya:
مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللهُ رَعِيَّةً، يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ، إِلَّا حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ
Tidaklah seorang hamba yang Allah beri wewenang untuk mengatur rakyat mati pada hari dia mati, sementara dia dalam kondisi menipu rakyatnya, melainkan Allah mengharamkan surga bagi dirinya (HR al-Bukhari).
Terkait hadis di atas, Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahîh Muslim, menukil kata-kata Imam Fudhail bin Iyadh, “Hadis ini merupakan ancaman bagi siapa saja yang diserahi Allah ﷻ untuk mengurus urusan kaum Muslim, baik urusan agama maupun dunia, kemudian ia berkhianat. Jika seseorang berkhianat terhadap suatu urusan yang telah diserahkan kepada dirinya maka ia telah terjatuh pada dosa besar dan akan dijauhkan dari surga.”
Rasulullah ﷺ pun mendoakan keburukan terhadap para penguasa khianat atau pemimpin yang tidak amanah, yang menyusahkan rakyatnya:
اللَّهُمَّ، مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَشَقَّ عَلَيْهِمْ، فَاشْقُقْ عَلَيْهِ، وَمَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَرَفَقَ بِهِمْ، فَارْفُقْ بِهِ
Ya Allah, siapa saja yang mengurusi urusan umatku, lantas dia membuat mereka susah, maka susahkanlah dia. Siapa saja yang mengurusi urusan umatku, lantas dia mengasihi mereka, maka kasihilah dia (HR Muslim).
Teladan Pemimpin Islam
Sejak Rasulullah ﷺ diutus, tidak ada sistem yang mampu melahirkan para penguasa yang amanah, agung dan luhur, kecuali dalam sistem Islam. Kita mengenal Khulafaur Rasyidin yang terkenal dalam hal keadilan dan sikap amanah mereka. Mereka juga termasyhur sebagai pemimpin yang memiliki budi pekerti yang agung dan luhur serta lembut terhadap rakyat mereka.
Khalifah pertama, Abu Bakar ash-Shiddiq, misalnya, adalah sosok penguasa yang terkenal adil, amanah, sabar dan lembut. Namun, beliau juga terkenal sebagai pemimpin yang tegas. Penerusnya, Khalifah Umar bin al-Khaththab, juga terkenal sebagai penguasa yang adil, amanah dan tegas. Beliau tidak segan-segan merampas harta para pejabatnya yang ditengarai berasal dari jalan yang tidak benar (Lihat: Thabaqât Ibnu Sa‘ad, II/4/60; Târîkh al-Islâm, II/388; dan Tahdzîb at-Tahdzîb, XII/267).
Sebagai penguasa yang amanah, Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. pun terkenal dengan kata-katanya, “Seandainya ada seekor keledai terperosok di Kota Bagdad karena jalanan rusak, aku sangat khawatir Allah ﷻ akan meminta tanggung jawabku di Akhirat nanti.”
Inilah secuil keteladanan yang bisa kita ambil dari Khulafaur Rasyidin dalam mengurus urusan rakyat mereka.
Jangan lupa, sikap dan perilaku para penguasa Muslim yang luar biasa seperti itu adalah saat negara benar-benar menerapkan syariah Islam secara total dalam institusi Khilafah Islam.
Sayangnya, para pembenci Islam akhir-akhir ini makin gencar mengkriminalisasi Khilafah. Padahal Khilafah adalah bagian dari ajaran, hukum dan peradaban Islam yang agung. Mereka ini tak lebih dari kalangan Islamofobia. Mereka amat takut jika peradaban Islam dalam institusi Khilafah Islam yang agung tampil kembali menggantikan peradaban sekuler yang terbukti rusak dan merusak. Karena itu mereka terus-menerus mendiskreditkan Khilafah. Semoga kita selalu waspada dan tidak terpedaya!
Hikmah:
Rasulullah ﷺ bersabda:
أَوَّلُ الإِمَارَةِ مَلامَةٌ، وَثَانِيهَا نَدَامَةٌ، وَثَالِثُهَا عَذَابٌ مِنَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، إِلا مَنْ رَحِمَ وَعَدَلَ
Kepemimpinan itu awalnya cacian, kedua penyesalan dan ketiga azab dari Allah pada Hari Kiamat nanti; kecuali orang yang memimpin dengan kasih sayang dan adil. (HR ath-Thabarani). [].
والله أعلمُ ﺑﺎ ﻟﺼﻮﺍﺏ
“dan Allah lebih tahu yang sebenar-benarnya”
Kaffah Edisi 246