Oleh: Lia Herasusanti
"Aku sudah kerja keras, pasti Allah akan memberikan rezeki banyak sebagai balasan atas apa yang aku lakukan". Demikianlah ucapan yang kadang kita dengar. Satu sisi mengakui bahwa Allah pemberi rezeki, namun disisi lain, mengaitkan bahwa kerja keras yang dilakukan adalah penyebab datangnya rezeki dari Allah tersebut.
Benarkah demikian?
Sekilas tak ada yang salah dengan kalimat tersebut. Tapi pemahaman seperti ini menjadikan kita menganggap bahwa ada peran kita terkait rezeki yang kita dapat. Padahal Allah menegaskan, bahwa rezeki adalah hak prerogatif Allah, sebagaimana yang tercantum dalam firman Allah dalam Al-Qur'an surat Saba ayat 36:
قُلْ إِنَّ رَبِّي يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَقْدِرُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
Katakanlah: "Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rezki bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan menyempitkan (bagi siapa yang dikehendaki-Nya), akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui".
Lalu bagaimana penjelasan atas hal ini?
Rezeki murni haknya Allah, tak ada hubungan sebab akibat dengan usaha manusia. Karena jika hubungan sebab akibat, maka, orang yang usahanya keras, pasti rezekinya besar, sementara yang usahanya santai, maka rezekinya sedikit. Faktanya, ada orang yang santai dalam bekerja, tapi penghasilannya besar, sementara yang bekerja keras penghasilannya kecil. Maka dari sini bisa disimpulkan bahwa kerja keras bukan penyebab datangnya rezeki.
Jika seperti itu, apakah artinya kita tak perlu bekerja keras ?
Ya salah juga kalau berpendapat begitu. Karena bekerja adalah ranah yang kita kuasai. Bagi laki-laki, ketika ia mendapat kewajiban nafkah, maka harus ada upaya yang dilakukannya untuk melaksanakan kewajiban tersebut. Ia memilih kondisi yang bisa mendatangkan rezeki. Apakah ia akan melakukan pekerjaan halal atau haram. Apakah ia bekerja sebagai buruh atau mencuri. Menjadi pengusaha atau koruptor. Kondisi-kondisi yang biasanya mendatangkan rezeki ini ada dalam ranah kita. Karenanya di ranah inilah kondisi tersebut mendatangkan pahala atau dosa.
Apakah apa yang diperoleh dari aktifitas haram, merupakan rezeki bagi pelakunya? Tentu saja itupun rezeki. Namun hakikatnya rezeki itu bukan miliknya. Berbeda dengan seseorang yang mendapatkan harta dari aktifitas halal. Maka rezeki yang diperolehnya menjadi miliknya. Sehingga alangkah ruginya seseorang yang memperoleh rezeki dengan cara haram. Ia memperoleh sesuatu yang sebenarnya rezekinya, namun mendatangkan dosa baginya, karena hakikatnya itu bukan miliknya.
Ranah kita sebagai manusia hanya berikhtiar melakukan kondisi yang biasanya mendatangkan rezeki. Berikhtiarlah hanya dengan cara yang halal karena selain mendatangkan pahala, rezeki yang datang pada kita pun benar-benar milik kita, bukan milik orang lain.
والله أعلمُ ﺑﺎ ﻟﺼﻮﺍﺏ
“dan Allah lebih tahu yang sebenar-benarnya”