Oleh: Muslihah
Pagi yang cerah, Lilis sedang berjalan ke pasar induk. Seperti hari-hari sebelumnya, ia akan mencari sisa-sisa bawang merah di sampah bawang merah yang ada di pasar. Kadang ia bisa mendapat sampai satu kilogram, namun lebih sering kurang dari setengah kilogram. Namanya mencari sisa, tentu tak ada bawang merah yang besar.
Jika sudah terkumpul, ia akan menjual kepada para penjual bumbu. Ia tahu penghasilan demikian tidaklah besar.
"Dapat banyak, Lis?" Tanya Bu Elok penjual bumbu dapur langganan lilis menjual bawang merah hasil memulung.
"Alhamdulillah, Bu. Semoga berkah, meski sedikit," jawab Lilis sambil mengangkat sudut bibirnya.
"Iya. Ini setengah kilo, ya," kata Bu Elok sambil mengangsurkan uang.
Sebenarnya membeli bawang merah hasil Lilis memulung hanya cara ia menolong gadis itu. Penjual bumbu yang lain enggan membelinya. Usai menjual bawang merah, Lilis membeli tempe dan ikan asin untuk lauk. Sedangkan sayur ia bisa mencari di belakang rumah. Meski hanya ada sedikit sisa tanah, ia menanaminya dengan sayur bayam dan sawi. Ini bisa membantu mengurangi beban pengeluaran.
Tanaman lombok dan tomat terlihat subur dengan buah yang lebat. Setiap sore ia menyiangi tanamannya. Tak jarang gadis yang selalu berkerudung itu memulung barang bekas. Itulah yang bisa ia lakukan demi menyambung hidup. Apapun asal halal, ia lakukan. Meski demikian tak jarang ia harus menahan lapar ketika tak menemukan apapun yang bisa di makan. Ia juga rutin puasa Senin dan Kamis. Selain untuk menjalankan panggilan sunah, juga untuk mengurangi pengeluaran.
Jika lombok dan tomatnya melebihi kebutuhannya, tak jarang ia berikan kepada tetangga atau kadang ia jual di pasar.
"Sedang menanam lombok dan tomat saja pakaian kok ribet banget. Mbok, ya, pakai celana panjang dan kaos saja kan lebih nyaman, sih, Lis," ujar Linda tetangga sekaligus teman mainnya waktu kecil.
Lengkungan bibir Lilis menyambut nyinyiran sang tetangga.
"Eh, kamu, Linda. Lihat lombok dan tomatku sedang lebat! Jika butuh bikin sambel boleh kamu memetiknya," sambut Lilis ramah.
Lilis hidup sebatang kara. Rumah gubuk yang didiami adalah peninggalan ibunya yang berpulang lima tahun lalu. Sedangkan sang ayah meninggal dua tahun lebih dulu dibandingkan sang ibu. Ia tak memiliki saudara atau kerabat di daerah situ. Orang tuanya pendatang, jika pun ia memiliki kerabat, adanya jauh di kota yang lain.
"Sebagai seorang muslim kita wajib berjilbab dan berkerudung saat keluar rumah. Ini perintah Allah. Maka meski aku cuma pegang cangkul di belakang rumah, aku tetap wajib mengenakan busana ini. Kan aku sedang di luar rumah," lanjut Lilis tanpa meninggalkan senyum di wajahnya.
"Kamu sekarang sok alim begitu, Lis. Dulu saja kita main ke sana ke mari juga cuma pakai kaos lengan pendek, bahkan kamu juga suka pakai celana pendek kalau sedang joging bareng," seru Linda tidak suka.
"Kamu benar, Lin. Namun sejak aku hidup sendiri tanpa ibu di sisiku, aku jadi sering mendatangi masjid. Hingga suatu sore bada Asar ada ceramah di masjid oleh Ustazah Rafiqa. Saat itu beliau menyampaikan bahwa seluruh kesulitan hidup itu pasti ada solusi dalam Islam. Dan mengurai kesulitan yang pertama adalah dengan rida terhadap semua aturan Allah. Nah, salah satu aturan-Nya adalah perintah menutup seluruh tubuh wanita saat ke luar rumah. Yang boleh terbuka hanya wajah dan telapak tangan.
Aku pun tak serta merta menutup auratku, usai hari itu. Namun semakin sering aku mengikuti kajian, memikirkan dan merasakan nikmat saat menjalaninya. Gamis dan kerudung ini pun aku dapat dari ibu-ibu pengajian di masjid. Mana aku punya uang untuk membelinya."
Lilis tak menghiraukan nyinyiran tetangganya. Ia menyampaikan alasan menutup aurat berharap Linda tercerahkan sebab ia sayang pada teman masa kecilnya yang sampai kini menjadi tetangganya itu. Ia berharap semoga Linda memahami hingga ke depan menjadi muslimah yang taat.
"Sekarang aku sendirian. Ibu dan bapakku sudah pulang ke haribaan-Nya. Aku pun sedang antri menunggu waktuku dipanggil-Nya. Aku hanya berharap diakui Allah sebagai hamba-Nya yang sabar, pas aku dipanggil seperti bapak dan ibu," lanjut Lilis sambil mencabuti rumput di sekeliling tanaman lombok, tanpa bermaksud menggurui Linda.
"Menurutmu sabar itu bagaimana, sih, Lis?"
Nada suara Linda seperti benar-benar ingin tahu. Lilis mendongakkan wajah, menatap mata sang teman.
"Menurut aku, sabar itu rida terhadap ketentuan Allah. Baik terhadap aturan yang ditetapkan maupun nasib yang diberikan. Jadi meskipun aku hidup tanpa bapak dan ibu, tetap harus taat pada aturan-Nya. Aku harus mencari makan dengan jalan halal. Semua perintah Allah berat atau tidak semua harus dijalankan semua dengan mengerahkan semua kemampuan," ucap Lilis sambil menatap Linda, sementara sambil bicara ia tak melepaskan lengkungan di bibirnya.
"Baiklah, Lis. Aku minta lombok, ya. Makasih untuk semuanya. Untuk lombok dan diskusinya."
"Iya, sama-sama. Kamu teman dan tetanggaku. Kamulah sekarang saudaraku," ucap Lilis dengan ramah.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
الَّذِيْنَ صَبَرُوْا وَعَلٰى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ
"(yaitu) orang yang sabar dan hanya kepada Tuhan mereka bertawakal."
(QS. An-Nahl 16: Ayat 42)
والله أعلمُ ﺑﺎ ﻟﺼﻮﺍﺏ
“dan Allah lebih tahu yang sebenar-benarnya”