Keadilan pengusutan dan penegakan hukum di Tanah Air kembali diuji. Terutama setelah terjadi kasus penembakan sesama anggota Kepolisian. Seorang brigadir ditembak mati oleh rekan seprofesi berpangkat bharada di rumah dinas Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo di Jakarta Selatan.
Banyak pihak melihat kejanggalan kasus tersebut. Selain CCTV yang kabarnya rusak (mati), kasus tersebut baru diumumkan setelah lewat dua hari. Jenazah korban juga dikirim diam-diam ke rumah keluarga. Pihak pengacara keluarga kemudian menyatakan bahwa pada jasad korban, selain terdapat luka tembak, juga terlihat tanda-tanda bekas siksaan. Selain itu, keterangan pihak Kepolisian juga berbeda dan berubah-ubah.
Kapolri memang berjanji akan mengusut tuntas kasus penembakan ini. Namun, banyak pihak bertanya-tanya; bisakah penegakan hukum pada kasus ini berjalan secara terbuka dan adil?
Mahal dan Susah!
Slogan ‘pengadilan banyak, tetapi keadilan langka’ bukanlah pernyataan kosong. Banyak pihak merasa sulit mempercayai penegakan hukum di Tanah Air. Pada tahun 2020, survei Indonesia Political Opinion (IPO) memperlihatkan ketidakpuasan publik terhadap penegakan hukum mencapai 64 persen. Tertinggi di antara kebijakan-kebijakan yang lain.
World Justice Project (WJP) mengungkapkan Indeks Negara Hukum Indonesia (INHI) 2021 turun dari tahun sebelumnya. Ahli Rule of Law Index WJP Erwin Natosmal Oemar mengatakan peringkat INHI di global juga merosot. Saat ini, peringkat INHI 68 dari 139 negara, atau peringkat 9 dari 15 negara di wilayah Asia Timur dan Pasifik.
Kepolisian Republik Indonesia, menurut hasil Survei Indikator Politik Indonesia, memang mendapatkan tingkat kepercayaan tinggi hingga mencapai 80,2%. Namun, itu seperti bertolak belakang dengan laporan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang menyebut Polri adalah institusi yang paling sering diadukan sepanjang Januari hingga September 2021. Hal ini seperti tidak berubah. Pasalnya, pada tahun 2020 Komnas HAM melaporkan institusi Kepolisian juga menjadi lembaga yang paling banyak diadukan, yakni mencapai 758 kasus.
Komisi Nasional untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) juga mencatat setidaknya terdapat dugaan 81 penyiksaan dan tindakan tidak manusiawi dilakukan aparat yang terjadi sepanjang Juli 2020-Mei 2021. Dalam setahun terakhir, setidaknya terdapat 36 kasus penyiksaan yang dilakukan anggota Polri, 7 penyiksaan oleh TNI dan 3 kasus oleh sipir penjara.
Karena itu banyak orang skeptis bisa mendapatkan keadilan di negeri ini. Pakar hukum Prof. Dr. Sudjito, S.H., M.Sc. menyebutkan hukum yang berjalan saat ini lebih banyak memihak penguasa, pengusaha dan politisi serta semakin memarjinalkan rakyat. Karena itu penegakan hukum di Tanah Air jauh panggang dari api.
Apalagi kini hukum sering tajam kepada kalangan yang berseberangan dengan penguasa, tetapi tumpul pada orang-orang yang berada di lingkaran kekuasaan. Banyak warga diadili dengan tuduhan menyebarkan hoax atau menghina pejabat negara. Namun, para buzzer yang menista tokoh Islam dan menyebar berita palsu nyaris tak dijerat hukum.
Hukum Islam Jamin Keadilan
Persoalan hukum di mana pun sebenarnya bersumber pada dua hal besar: kesahihan hukum itu sendiri dan moralitas para penegak hukum. Hukum yang sahih pasti adil. Penegak hukum yang amanah juga akan menjamin keadilan untuk semua pihak.
Hukum selamanya tidak akan sahih jika datang dari akal dan hawa nafsu manusia, bukan dari ketetapan Pencipta manusia, Allah ﷻ. Pakar hukum Prof. Dr. Sudjito, S.H., M.Sc. menyebutkan kondisi hukum di Indonesia akan semakin buram jika masih saja berkutat dengan penerapan paradigma hukum lama yang cenderung sekuler, materialistik dan mengandung cacat ideologis.
Selain itu, hukum buatan manusia penuh dengan kepentingan-kepentingan tertentu. Menkopolhukam Mahfud MD mengatakan hukum di Indonesia masih terasa diwarnai intervensi politik. Saat ini hukum tunduk pada politik sebab hukum itu merupakan kesepakatan politik alias produk politik.
Karena sarat kepentingan pihak tertentu, hukum buatan manusia sering berisi pasal-pasal karet yang dapat ditarik-ulur sesuka hawa nafsu penguasa. Padahal Allah ﷻ telah mengingatkan bahwa kehancuran akan datang jika kebenaran mengikuti hawa nafsu. Allah ﷻ berfirman:
وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَاءَهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ بَلْ أَتَيْنَاهُمْ بِذِكْرِهِمْ فَهُمْ عَنْ ذِكْرِهِمْ مُعْرِضُونَ
Andai kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka peringatan, tetapi mereka berpaling dari peringatan itu (TQS al-Mukminun [23]: 71).
Allah ﷻ pun menegaskan bahwa mereka yang mengikuti hawa nafsu dan meninggalkan hukum-hukum-Nya sebagai orang yang sesat:
وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِنَ اللَّهِ
Siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya tanpa mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun? (TQS al-Qashash [28]: 50).
Tentu berbeda dengan hukum Islam yang menjamin keadilan karena datang dari Allah Yang Mahaadil. Bebas dari hawa nafsu manusia. Termasuk bebas kepentingan politik. Hukum Islam aturannya jelas. Bukan berisi pasal-pasal karet yang sumir. Setiap upaya menyelewengkan hukum-hukum Allah mudah diketahui sehingga dapat diluruskan dengan segera.
Ketika orang-orang Bani Makhzum meminta Usamah bin Zaid ra. melobi Nabi ﷺ agar membatalkan hukum potong tangan atas seorang perempuan bangsawan dari kaumnya, beliau murka dan menegur mereka, “Apakah engkau hendak meminta keringanan sanksi/hudud Allah?” Lalu beliau berkhutbah:
إِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِيْنَ قَبْلَكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوْا إِذَا سَرَقَ فِيْهِمْ الشَّرِيْفُ تَرَكُوْهُ، وَإِذَا سَرَقَ فِيْهِمْ الضَّعِيْفُ أَقَامُوْا عَلَيْهِ الْحَدَّ، وَايمُ اللهِ لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا
“Sungguh yang telah membinasakan umat sebelum kalian adalah jika ada orang terhormat dan mulia di antara mereka mencuri, mereka tidak menghukumnya. Sebaliknya, jika orang rendahan yang mencuri, mereka tegakkan hukuman terhadapnya. Demi Allah, bahkan seandainya Fatimah putri Muhammad mencuri, niscaya aku sendiri yang akan memotong tangannya!” (HR al-Bukhari).
Karena itu tidak ada hukum yang bisa menciptakan keadilan kecuali hukum-hukum Islam. Allah ﷻ berfirman:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُون
Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? Hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin? (TQS al-Maidah [5]: 50).
Syaikh Wahbah az-Zuhaili menerangkan, ayat ini bermakna bahwa tak ada seorang pun yang lebih adil daripada Allah ﷻ, juga tak ada satu hukum pun yang lebih baik daripada hukum-Nya (Az-Zuhaili, At-Tafsiir al-Muniir, 6/224).
Sikap Amanah: Wajib!
Keadilan hukum juga menjadi sulit karena pudarnya sikap amanah penegak hukum. Komisi Yudisial (KY) mengungkap mulai tahun 2005 hingga Agustus 2018 terdapat 19 orang hakim yang diciduk KPK tersebut. Ironinya, 10 di antaranya merupakan hakim ad hoc tipikor.
Kepolisian juga tidak bebas dari masalah internal. Data Divisi Bidang Profesi dan Pengamanan Mabes Polri menyebutkan lembaga ini sarat dengan persoalan. Setidaknya ada 1.694 kasus yang termasuk dalam pelanggaran disiplin, ditambah 803 kasus terkait kode etik, dan 147 kasus pidana dari Januari sampai Oktober 2021.
Padahal amanah adalah salah satu syarat utama penegakan keadilan. Aparat penegak hukum wajib menegakkan hukum tanpa pandang bulu, meski berhadapan dengan rekan satu korps, termasuk atasan. Allah ﷻ telah memerintahkan kaum Muslim untuk menunaikan amanah dengan sebaik-baiknya.
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ
Sungguh Allah menyuruh kalian menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya. Jika kalian memutuskan hukum di antara manusia, putuskanlah hukum dengan adil (TQS an-Nisa’ [4]: 58).
Hanya saja, mengharapkan sikap amanah bermunculan di tengah masyarakat sekuler ibarat menggantang asap. Pasalnya, amanah ini hanya muncul jika keimanan menjadi landasan kehidupan. Sikap amanah jadi langka di tengah masyarakat sekuler. Amanah erat dengan keimanan adanya Hari Penghisaban dan Pembalasan di akhirat kelak.
Imam Malik bin Anas dalam Kitab Al-Muwaththa meriwayatkan bahwa suatu ketika Nabi ﷺ mengutus Abdullah bin Rawahah ra. untuk memungut hasil panen buah-buahan kaum Yahudi Khaybar. Rupanya mereka telah bersekongkol untuk menyuap Abdullah bin Rawahah supaya meringankan pungutan tersebut. Untuk itu mereka telah mengumpulkan perhiasan kaum perempuan mereka sebagai sogokan.
Melihat sikap kaum Yahudi tersebut, Abdullah bin Rawahah marah lalu berkata, “Wahai Yahudi, demi Allah! Kalian adalah makhluk Allah yang paling kubenci. Bukanlah hal itu yang mendorongku untuk berbuat zalim kepada kalian. Sungguh suap yang kalian berikan adalah haram. Kami tidak akan memakannya.” Kaum Yahudi terkejut lalu memuji beliau, “Dengan inilah tegak langit-langit dan bumi.”
Wahai kaum Muslim! Pahamilah, bahwa hukum sulit untuk ditegakkan dengan adil dan amanah selama aturan Islam tidak ditegakkan. Hukum yang datang dari rahim sekularisme telah cacat sejak lahir, penuh dengan kepentingan para pembuatnya. Di sisi lain, sikap amanah dan adil hanya tumbuh subur dan berkembang dalam kehidupan Islam, bukan dalam peradaban sekularisme dan kapitalisme seperti saat ini.
Alhasil, keadilan dan penegakan hukum yang amanah hanya terwujud dalam kehidupan Islam. Di dalamnya akidah Islam menjadi landasan masyarakat dan syariah Islam menjadi hukum-hukum yang diterapkan bagi masyarakat.
Hikmah:
Nabi Muhammad ﷺ bersabda:
لاَ إِيْـمَانَ لِمَنْ لاَ أَمَانَـةَ لَهُ، وَلاَ دِيْـنَ لِمَنْ لاَ عَهْدَ لَـهُ
Tidak ada iman bagi orang yang tidak memiliki (sifat) amanah. Tidak ada agama bagi orang yang tidak menepati janjinya. (HR Ahmad).
والله أعلمُ ﺑﺎ ﻟﺼﻮﺍﺏ
“dan Allah lebih tahu yang sebenar-benarnya”
Kaffah Edisi 252