Hanya beberapa hari lagi kita akan merayakan Idul Adha, hari raya yang penuh dengan kebahagiaan dan keberkahan. Di Tanah Suci, jutaan saudara kita berkumpul menunaikan ibadah haji. Membesarkan asma Allah ﷻ dan mengharapkan ridha-Nya. Mereka dimuliakan sebagai duta-duta Allah ﷻ. Mereka berhak mendapatkan kedudukan mulia di sisi-Nya:
الحُجَّاجُ وَالْعُمَّارُ وَفْدُ اللهِ، دَعَاهُمْ فَأَجَابُوْهُ، سَأَلُوْهُ فَأَعْطَاهُمْ
Sungguh para jamaah haji dan para jamaah umrah adalah para duta Allah. Allah telah memanggil mereka. Lalu mereka memenuhi panggilan-Nya. Mereka memohon kepada Allah. Lalu Allah mengabulkan permohonan mereka (HR Ibnu Majah).
Simbol Persatuan
Sadarkah kita bahwa pelaksanaan ibadah haji dan Idul Adha mempersatukan umat ini. Di Padang Arafah, Mina dan di Muzdalifah, juga di depan Ka’bah, antara Shafa dan Marwah, jutaan Muslim dari berbagai penjuru dunia berkumpul. Mereka berasal dari ragam suku bangsa, warna kulit dan bahasa. Mereka menyatu mempersembahkan ketaatan total kepada Allah ﷻ dalam ibadah haji.
Di tempat lain, miliaran kaum Muslim juga berkumpul bersama merayakan Idul Adha. Mereka menunaikan shalat Id, lalu berkurban dan mengumandangkan kalimat takbir hingga Hari Tasyriq usai.
Betapa indah persatuan dan persaudaraan ini. Kita diikat bukan karena suku bangsa, bahasa atau warna kulit. Kita diikat oleh akidah Islam. Akidah inilah yang menghapuskan sekat-sekat perbedaan suku bangsa, warna kulit dan bahasa. Akidah ini pula yang menyingkirkan perbedaan kasta dan status sosial lalu membuat manusia setara di hadapan Allah Yang Maha Pencipta.
Bayangkan pula betapa dahsyatnya kekuatan umat ini bila mereka bersatu. Ada 1,9 miliar Muslim di dunia. Tentu dengan ragam potensi dan keunggulan sumber daya alam mereka. Andai kaum Muslim di seluruh dunia dapat bersatu, pasti mereka akan kembali menjadi umat yang disegani oleh berbagai bangsa di seluruh dunia. Mereka akan menjadi kekuatan yang menentukan arah dunia. Mereka akan mampu menciptakan tatanan kehidupan manusia yang berkeadilan dan beradab. Bukan seperti kondisi saat ini. Dunia saat ini dikuasai oleh peradaban Barat yang kapitalistik. Barat telah mengeksploitasi kekayaan alam negara-negara lain. Mereka menciptakan perbudakan modern melalui neo-imperialisme. Mereka pun mencabut nilai-nilai kemanusiaan.
Kaum Muslim telah Allah ﷻ tetapkan sebagai umat terbaik, sebagaimana firman-Nya:
كُنتُم خَيرَ أُمَّةٍ أُخرِجَت لِلنَّاسِ تَأمُرُونَ بِٱلمَعرُوفِ وَتَنهَونَ عَنِ ٱلمُنكَرِ وَتُؤمِنُونَ بِٱللَّهِ
Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, melakukan amar makruf nahi mungkar, dan mengimani Allah (TQS Ali Imran [3]: 110).
Namun, pada kenyataannya, hari ini kaum Muslim menjadi umat yang terpinggirkan di berbagai belahan dunia. Sebabnya, karena mereka tidak bersatu. Mereka hanya merasakan persatuan semu, seperti ketika melaksanakan Idul Adha atau melaksanakan ibadah haji. Usai peribadatan ini, umat kembali tercerai-berai. Mereka bahkan saling memfitnah. Sebagian mereka bahkan memerangi saudaranya yang lain. Mereka seperti tak pernah bersaudara.
Sebagian besar umat ini pun hanya menyaksikan derita saudara seiman di Myanmar, Uyghur, Suriah atau Palestina. Miliaran jiwa umat ini seperti buih di lautan. Mereka tak peduli dengan nasib saudaranya di belahan dunia lain! Kita seolah melupakan sabda Nabi ﷺ:
مَا مِنْ امْرِئٍ يَخْذُلُ امْرَأً مُسْلِمًا عِنْدَ مَوْطِنٍ تُنْتَهَكُ فِيهِ حُرْمَتُهُ وَيُنْتَقَصُ فِيهِ مِنْ عِرْضِهِ إِلاَّ خَذَلَهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فِي مَوْطِنٍ يُحِبُّ فِيهِ نُصْرَتَهُ. وَمَا مِنْ امْرِئٍ يَنْصُرُ مُسْلِمًا فِي مَوْطِنٍ يُنْتَقَصُ فِيهِ مِنْ عِرْضِهِ وَيُنْتَهَكُ فِيهِ مِنْ حُرْمَتِهِ إِلاَّ نَصَرَهُ اللَّهُ فِي مَوْطِنٍ يُحِبُّ فِيهِ نُصْرَتَهُ
Tidaklah seseorang menelantarkan saudaranya sesama Muslim dalam kondisi kehormatannya sedang dilanggar dan harga dirinya direndahkan, kecuali Allah akan menelantarkan dia dalam kondisi dia ingin ditolong. Tidaklah seseorang menolong seorang Muslim pada saat harga dirinya direndahkan dan kehormatannya dilanggar, kecuali Allah akan menolong dia pada kondisi dia ingin ditolong (HR Abu Dawud).
Dari sudut lain, kita menyaksikan sebagian Muslim justru berangkulan dengan orang-orang fasik, bahkan dengan kaum kafir imperialis, yang telah menyebabkan umat menderita. Hal itu mereka lakukan justru ketika tangan mereka tak mau terbuka menyambut saudara seiman dengan alasan perbedaan mazhab dan golongan. Seolah hilang ingatan, sampai lupa siapa saudara dan siapa kaum durjana. Mereka sibuk mengungkit-ungkit terus perbedaan, lalu saling mencaci-maki saudara seiman. Mereka seolah lupa dengan firman Allah ﷻ:
مُّحَمَّد رَّسُولُ ٱللَّهِ , وَٱلَّذِينَ مَعَهُۥٓ أَشِدَّاءُ عَلَى ٱلكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَينَهُم
Muhammad adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dia itu keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang kepada sesama mereka (TQS al-Fath [48]: 29).
Karena itu pada momen seperti inilah semestinya kita menguatkan kembali makna persatuan umat dalam jalinan kokoh ukhuwah islamiyah. Umat ini harus kembali bersatu. Laksana satu bangunan yang kokoh. Tidak tercerai-berai. Allah ﷻ berfirman:
وَٱعتَصِمُواْ بِحَبلِ ٱللَّهِ جَمِيعا وَلاَ تَفَرَّقُواْ
Berpeganglah kalian semuanya pada tali (agama) Allah dan janganlah kalian bercerai-berai (TQS Ali Imran [3]: 103).
Nabi Muhammad ﷺ juga bersabda:
إِنَّ الْمُؤْمِنَ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ، يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا
Sungguh Mukmin dengan Mukmin yang lain itu seperti sebuah bangunan. Sebagiannya menguatkan sebagian yang lain (HR al-Bukhari).
Persatuan Hakiki
Hanya saja, persatuan hakiki kaum Muslim sedunia baru akan terlaksana manakala umat berada dalam satu naungan institusi politik dan pemerintahan Islam global. Itulah Khilafah Islamiyah. Dengan Khilafah, hilanglah segala perbedaan yang menyebabkan umat terpenjara dalam batas kebangsaan, warna kulit dan bahasa. Dalam Khilafah, kaum Muslim sedunia melebur menjadi umat yang satu.
Khilafah juga akan memelihara umat untuk tidak terpecah-belah. Tidak saling menyerang. Mereka justru akan saling tolong-menolong. Saling melindungi saudaranya. Saling membela kehormatan agama. Tidak akan ada sejengkal tanah pun yang akan dijajah oleh pihak asing. Demikianlah yang kita saksikan sepanjang sejarah Khilafah Islamiyah selama berabad-abad.
Ketaatan Total
Selain simbol persatuan kaum Muslim sedunia, ibadah haji dan kurban adalah bagian dari perwujudan ketaatan pada hukum-hukum Allah. Bila seorang hamba rela mengorbankan hartanya demi menempuh perjalanan ibadah haji dan melakukan kurban, maka seharusnya ia juga siap mengorbankan segalanya untuk taat pada syariah Allah ﷻ secara kaffah (total). Demikian sebagaimana perintah-Nya:
يَٰأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱدخُلُواْ فِي ٱلسِّلمِ كَافَّة , وَلاَ تَتَّبِعُواْ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيطَٰنِ . إِنَّهُۥ لَكُم عَدُوّ مُّبِين
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh setan itu musuh yang nyata bagi kalian (TQS al-Baqarah [2]: 208).
Setiap Idul Adha kita diajari ketaatan luar biasa keluarga Nabi Ibrahim as. dalam melaksanakan perintah Allah ﷻ. Tanpa ragu Nabi Ibrahim as. mengerjakan perintah penyembelihan putranya, Nabi Ismail as. Nabi Ibrahim mengorbankan putra kesayangannya, sedangkan Nabi Ismail mengorbankan hidupnya. Keduanya dengan penuh keyakinan mengerjakan perintah Allah ﷻ. Pada akhirnya Allah ﷻ menolong dan memberikan kemenangan kepada mereka berdua.
Demikianlah seharusnya sikap seorang hamba terhadap perintah dan larangan Allah ﷻ. Bukan menawar, meragukan atau mencari aturan selain hukum Allah ﷻ. Sikap menyelisihi hukum Allah ﷻ karena tunduk pada hawa nafsu justru akan mendatangkan kebinasaan, bukan keselamatan (Lihat: QS al-Mu’minun [23]: 71).
Ada Muslim yang begitu khusyuk ketika menjalankan perintah shalat, pemurah dalam bersedekah, ringan tangan menolong orang, bibirnya senantiasa basah dengan zikir dan shalawat. Namun, ketika diseru melaksanakan hukum jinayat, hukum muamalah, apalagi berhukum dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat dengan menggunakan syariah Allah, mereka menjadi ragu; bahkan tak sedikit yang menolak.
Di antara alasan penolakan tersebut adalah karena masyarakat hari ini sudah dibangun berdasarkan kesepakatan bersama. Hal ini menjadi pertanyaan: Sejak kapan kesepakatan manusia bisa menyingkirkan ayat-ayat Allah ﷻ dan Sunnah Nabi-Nya atau menghapus syariah-Nya? Bukankah Allah ﷻ telah berfirman:
وَإِن تُطِع أَكثَرَ مَن فِي ٱلأَرضِ يُضِلُّوكَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِ . إِن يَتَّبِعُونَ إِلاَّ ٱلظَّنَّ وَإِن هُم إِلاَّ يَخرُصُونَ
Jika kalian menuruti kebanyakan orang-orang yang ada di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkan kalian dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah) (TQS al-An’am [6]: 116).
Bercermin pada ketundukan mereka, kita patut bertanya: Sudahkah kita memiliki ketaatan total kepada Allah ﷻ dan Rasul-Nya? Tunduk dan patuh pada setiap perintah dan larangan-Nya? Ataukah sebaliknya, kita hanya mau tunduk pada sebagian syariah-Nya, namun menolak sebagian yang lain? Apakah kita tidak tahu bahwa mengimani sebagian syariah-Nya dan mengingkari sebagian lainnya dapat mengantarkan pelakunya pada kekufuran, mendapatkan kehinaan di dunia, dan siksa yang pedih di akhirat? (Lihat: QS an-Nisa’ [4]: 150-151).
Oleh karena itu, mari teguhkan iman kita pada agama Allah ﷻ. Mari kita tundukkan diri kita dengan sebenar-benarnya pada syariah-Nya. Itulah bukti nyata iman kita kepada Allah ﷻ, yang akan menyelamatkan kehidupan kita di dunia maupun di akhirat.
Hikmah:
Nabi ﷺ bersabda:
مَا أَحَلَّ اللهُ فِيْ كِتَابِهِ فَهُوَ حَلاَلٌ، وَمَا حَرَّمَ فَهُوَ حَرَامٌ
Apa saja yang Allah halalkan dalam Kitab-Nya, itulah yang halal. Apa saja yang Allah haramkan, itulah yang haram. (HR al-Hakim).
والله أعلمُ ﺑﺎ ﻟﺼﻮﺍﺏ
“dan Allah lebih tahu yang sebenar-benarnya”
Kaffah Edisi 250