Oleh: Atik Setyawati
Sejak akad nikah terucap oleh seorang laki-laki, sejak saat itu sah tanggung jawab berpindah. Seorang anak gadis yang semula menjadi tanggung jawab ayahnya, kini menjadi tanggung jawab suaminya. Seorang laki-laki yang berakad dengan wali gadis tersebut. Hak dan kewajiban sebagai suami atau istri menanti untuk ditunaikan dan dipenuhi.
Tak sedikit yang mengalami masa-masa sulit dalam pernikahan. Ketika manisnya madu pernikahan dirasakan berdua, seiring berjalannya waktu terjadi banyak perbedaan, selisih pendapat dan persoalan. Mulai dari hal yang sederhana hingga hal yang mendasar. Tak sedikit yang kemudian tidak sanggup mempertahankan ikatan pernikahan. Pilihan perceraian seolah menjadi satu-satunya cara menyelesaikan permasalahan yang terjadi.
Ada tuntutan hak yang merasa tidak terpenuhi. Suami menganggap istri kurang melayani dan kurang taat. Sebaliknya, istri merasa terzalimi oleh sikap suami meski nafkah terpenuhi. Ada juga karena tuntutan ekonomi, tuntutan lahirnya keturunan yang tak kunjung datang, perselingkuhan, ketidakharmonisan antara menantu dengan mertua, dan sejenisnya. Ada saja hal yang kemudian menjadikan kemelut berkepanjangan tanpa solusi. Akhirnya, perceraian terjadi. Na'udzubillah.
Padahal, jika kita mau mencermati, banyaknya perselisihan terjadi karena kurang memahami hakikat pernikahan. Hubungan persahabatan yang seharusnya ada antara suami-istri tidak tercipta. Keduanya merasa benar masing-masing. Mendudukkan persoalan antara aku dengan kamu. Siapa yang menang, dan siapa yang kalah.
Padahal menyebutkan permasalahan dalam pernikahan sebagai masalahku atau masalahmu sama saja mendudukkan dua orang yang semula bersatu menjadi terpisah kembali. Menjadikan aku dan kamu menjadi satu dalam pernikahan sehingga terbentuk kata 'kita', sungguh memberikan kesan mendalam dalam sebuah hubungan persahabatan yang indah. Tidak ada lagi masalahku atau masalahmu yang ada adalah masalah kita. Kita berdua berupaya mencari solusi bersama agar masalah terselesaikan. Berbekal keyakinan bahwa masalah yang terjadi adalah bukti Allah memerhatikan pernikahan kita. Menjadikan masalah sebagai pijakan dan tolakan mencapai kedewasaan berpikir. Menjadikan pribadi lebih bijaksana dalam bersikap.
Memang, berkata-kata adalah hal yang mudah. Tapi, dari berkata-kata yang menyentuh rasa dan pikiran kita maka masalah akan terselesaikan.
Tak ada yang kalah atau yang menang dalam sebuah ikatan pernikahan. Manakala itu ada, kemudian menjadi jurang bagi hubungan persahabatan. Yang menang tidak akan membawa kebahagiaan ketika mengalahkan pasangan. Demikian pula sebaliknya, yang kalah juga tidak akan sanggup bertahan.
Bagaimana mungkin ada kata menang atau kalah dalam sebuah persahabatan yang indah, sementara agama seseorang tergantung bagaimana agama sahabatnya?
Rasulullah ﷺ bersabda yang artinya:
“Seseorang itu bergantung kepada agama sahabatnya, maka perhatikanlah salah seorang dari kamu kepada siapa dia bersahabat.” (HR Abu Daud).
Suami adalah cerminan istri, pun sebaliknya. Jadi untuk apa saling menyalahkan jika sahabat kita adalah cerminan diri? Melukainya sama halnya melukai diri sendiri. Membahagiakannya sama dengan bahagia diri sendiri. Baik agamanya, baik pula agama sendiri.
Sebagai seorang sahabat, cukuplah menunaikan kewajiban. Jika hak yang harus didapat tidak tertunaikan dengan sempurna, mengapa tidak mengembalikan pada Yang Mahakuasa saja? Cukuplah mengingatkan secara ahsan (baik) pada pasangan yang telah menjadi sahabat kita. Sekali, dua kali, berkali-kali mengingatkan, namun tetap tak tertunaikan. Bersabar, menjadi kunci ketenangan. Jika lelah mengingatkan cukup sampaikan itu menjadi tanggung jawabnya pada Sang Pencipta. Tentunya, dengan tetap menunaikan kewajiban yang ada.
Penerimaan terhadap kelebihan berikut kekurangan sahabat kita adalah sepaket yang tak bisa dipilah. Karena ada kekurangan dan kelebihan itulah maka kehidupan pernikahan berjalan dengan penuh dinamika dan romantis.
Tak dipungkiri, selama masih menyandang diri sebagai manusia, marah adalah sesuatu yang wajar saja. Hanya masalahnya adalah haruskah dengan marah? Adakah cara lain yang lebih baik dari marah? Pantaskah karena sesuatu itu aku marah? Akhirnya, setelah muhasabah, marah pun reda.
Setelah adanya masalah kadang hubungan terasa berbeda. Wajar saja, namanya juga terjadi gesekan. Ada lecet-lecet sedikit juga wajar saja. Seiring berjalannya waktu akan sembuh.
Yang paling utama adalah, kembali mengingat tujuan memilih atau menerima seseorang menjadi sahabat dalam pernikahan. Tujuan pernikahan adalah melestarikan keturunan dalam sebuah misi penghambaan pada Allah ﷻ. Bingkai persahabatan akan tetap utuh ketika keduanya memahami hakikat dan tujuan pernikahan. Apalagi berbingkai mengemban dakwah Islam.
Jadi, tidak ada lagi masalahku atau masalahmu dalam pernikahan, yang ada adalah masalah kita. Kita bersama mencari solusi terhadap masalah yang ada. Semoga senantiasa keluarga kita menjadi keluarga yang mawaddah, rahmah, dan penuh sakinah. Aamiin.
والله أعلمُ ﺑﺎ ﻟﺼﻮﺍﺏ
“dan Allah lebih tahu yang sebenar-benarnya”