Sebagaimana telah dibahas pada Buletin Kaffah Edisi 278 pekan lalu, moral remaja/pelajar Indonesia kian kritis. Salah satunya adalah adanya ribuan pelajar SMP/SMA di Jatim yang meminta dispensasi nikah akibat sudah hamil duluan sebelum menikah.
Banyaknya kehamilan di luar nikah di kalangan pelajar juga terjadi di banyak kota. Totalnya mencapai ribuan. Yogya, Tangerang Selatan dan Madiun adalah di antara kota yang angka kehamilan remaja/pelajarnya paling tinggi (Sindonews.com, 11/02/2022).
Tingginya angka kehamilan pelajar di luar nikah di Indonesia tentu seiring dengan massifnya aktivitas seks bebas (perzinaan) di kalangan mereka. Sekitar dua tahun lalu, misalnya, CNN Indonesia (28/12/2020) melaporkan bahwa berdasarkan hasil survei Komnas Perlindungan Anak terdapat 93,8 persen dari 4.700 siswi SMP/SMA di Depok Jawa Barat yang mengaku pernah berhubungan seksual di luar nikah. Survei tersebut juga mengungkap 97 persen responden mengaku pernah menonton pornografi.
Tak hanya berdampak pada meningkatnya dispensasi nikah. Hamil di luar nikah juga berdampak pada meningkatnya angka aborsi (pengguguran kandungan) di kalangan remaja/pelajar. Menurut data BKKBN, dari jumlah penduduk remaja/pelajar (usia 14-19 tahun) terdapat 19,6% kasus kehamilan tak diinginkan (KTD) dan sekitar 20% kasus aborsi di Indonesia dilakukan oleh remaja/pelajar (BKKBN, 2021).
Tak hanya seks bebas, hamil di luar nikah dan aborsi. Banyak remaja/pelajar di Indonesia juga terjerat narkoba. Baik sebagai pengguna maupun pengedar. Sekitar dua tahun lalu, misalnya, Kompas.tv (15/01/2021) melaporkan bahwa Satuan Reserse Narkoba Polrestabes Semarang berhasil membongkar jaringan narkoba yang melibatkan pelajar sebagai kurir narkoba jenis sabu. Kasus keterlibatan pelajar di dunia narkoba sudah sangat mencemaskan. Survei dari Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menunjukkan ada 2,3 juta pelajar atau mahasiswa di Indonesia pernah mengonsumsi narkoba (CNN Indonesia, 22/06/2019).
Selain narkoba, kasus tawuran antarpelajar juga sangat mengkhawatirkan. Mereka tidak hanya saling lempar batu, namun sudah menggunakan senjata tajam berbahaya. Tidak sekadar melukai, namun hingga membunuh (CNN Indonesia (23/07/2020).
Itulah sekelumit potret buram krisis moral dan kepribadian pelajar di Indonesia saat ini.
Kegagalan Sistem Pendidikan Sekuler
Mengapa kondisi yang sangat memprihatinkan di kalangan remaja/pelajar di atas bisa terjadi? Salah satu sebabnya adalah kegagalan sistem pendidikan sekuler yang diterapkan di negeri ini. Anehnya, belakangan sekularisasi pendidikan di Tanah Air makin digencarkan. Peran agama malah akan diminimalkan atau bahkan dihilangkan dari dunia pendidikan.
Beberapa waktu lalu visi pendidikan Indonesia yang dicanangkan Kemendikbud menuai protes keras dari berbagai elemen umat Islam. Pasalnya, visi pendidikan yang tertuang dalam draft Peta Jalan Pendidikan Nasional (PJPN) 2020-2035 itu tidak tercantum lagi frasa agama. Setelah menuai protes tersebut, Kemendikbud kini merevisi draft rumusan PJPN. Namun demikian, hal itu tetap tidak menghapus fakta adanya upaya pengkerdilan agama dalam PJPN. Terlihat jelas pada draft PJPN tersebut tetap tidak memuat frasa agama. Yang ada sekadar frasa akhlak mulia dan budaya.
Indonesia sebagai negeri dengan penduduk Muslim terbesar di dunia tentu terancam bahaya jika pendidikannya minim atau bahkan nir agama. PJPN itu lebih mengarusutamakan aspek pragmatis, yakni sekadar pertimbangan pasar dan ekonomi. Agama tidak mendapatkan perhatian secara semestinya. Misalnya disebutkan bahwa yang menjadi pertimbangan utama penyusunan PJPN itu adalah perubahan teknologi, perubahan sumber-sumber ekonomi Indonesia, kondisi demografi Indonesia, serta kondisi pasar kerja dunia global. Tentu sangat berbahaya mencetak SDM yang unggul secara sains dan teknologi demi tuntutan pasar global, namun lemah dari sisi keterikatan pada ajaran agama (Islam). SDM semacam itu justru berpotensi mengancam negeri ini melalui berbagai perilakunya kelak yang tidak lagi memperhatikan standar agama (Islam) berupa halal dan haram.
Pentingnya Sistem Pendidikan Islam
Sebagaimana diketahui, dalam sistem pendidikan sekuler sebagaimana saat ini, peran agama (Islam) dikerdilkan bahkan disingkirkan. Akibatnya sangat fatal. Di antaranya adalah dekadensi moral di kalangan remaja/pelajar yang makin parah, sebagaimana telah disinggung di atas. Sebabnya, para remaja/pelajar tersebut tidak dibekali dengan bekal pendidikan agama yang cukup.
Karena itu di Indonesia yang berpenduduk mayoritas Muslim, sistem pendidikan bukan saja harus mengikutsertakan agama (Islam). Bahkan sudah seharusnya Islam menjadi dasar bagi sistem pendidikan sekaligus mewarnai seluruh kebijakan pendidikan di Tanah Air.
Dalam Islam, pendidikan dapat dimaknai sebagai proses manusia menuju kesempurnaan sebagai hamba Allah ﷻ. Dalam Islam ada sosok Rasulullah Muhammad ﷺ yang wajib menjadi panutan (role model) seluruh peserta didik. Sebabnya, Allah ﷻberfirman:
وَإِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيمٍ
Sungguh engkau memiliki akhlak yang sangat agung (QS al-Qalam [68]: 4).
Allah ﷻ pun berfirman:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
Sungguh pada diri Rasulullah ﷺ itu terdapat suri teladan yang baik (QS al-Ahzab [33]: 21).
Keberadaan sosok panutan (role model) inilah yang menjadi salah satu ciri pembeda pendidikan Islam dengan sistem pendidikan yang lain. Karena itu dalam sistem pendidikan Islam, akidah Islam harus menjadi dasar pemikirannya. Sebabnya, tujuan inti dari sistem pendidikan Islam adalah membangun generasi yang berkepribadian Islam, selain menguasai ilmu-ilmu kehidupan seperti matematika, sains, teknologi dll. Hasil belajar (output) pendidikan Islam akan menghasilkan peserta didik yang kokoh keimanannya dan mendalam pemikiran Islamnya (tafaqquh fiddin). Pengaruhnya (outcome) adalah keterikatan peserta didik dengan syariah Islam. Dampaknya (impact) adalah terciptanya masyarakat yang bertakwa, yang di dalamnya tegak amar makruf nahi mungkar dan tersebar luasnya dakwah Islam.
Pemikiran (fikrah) pendidikan Islam ini tidak bisa dilepaskan dari metodologi penerapan (tharîqah)-nya, yaitu sistem pemerintahan yang didasarkan pada akidah Islam. Karena itu dalam Islam, penguasa bertanggung jawab penuh atas penyelenggaraan pendidikan warganya. Sebabnya, pendidikan adalah salah satu di antara banyak perkara yang wajib diurus oleh negara. Rasulullah ﷺ bersabda:
الْإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Imam (kepala negara) adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya (HR al-Bukhari dan Muslim).
Kecemerlangan Sistem Pendidikan Islam
Pada masa Khilafah Islam, pendidikan Islam mengalami kecemerlangan yang luar biasa. Ini ditandai dengan tumbuhnya lembaga-lembaga pendidikan Islam, majelis ilmu pengetahuan serta lahirnya ulama dan ilmuwan yang pakar dalam berbagai disiplin pengetahuan.
Beberapa lembaga pendidikan Islam kala itu antara lain, Nizhamiyah (1067 -1401 M) di Baghdad, Al-Azhar (975 M-sekarang) di Mesir, Al-Qarawiyyin (859 M-sekarang) di Fez, Maroko dan Sankore (989 M-sekarang) di Timbuktu, Mali, Afrika. Lembaga pendidikan Islam ini pun menerima para siswa dari Barat. Paus Sylvester II, sempat menimba ilmu di Universitas Al-Qarawiyyin.
Literasi warga negara Khilafah saat itu pun lebih tinggi daripada Eropa. Perpustakaan Umum Cordova (Andalusia) memiliki lebih dari 400 ribu buku. Ini termasuk jumlah yang luar biasa untuk ukuran zaman itu. Perpustakaan Al-Hakim (Andalusia) memiliki 40 ruangan yang di setiap ruangannya berisi lebih dari 18 ribu judul buku. Perpustakaan Darul Hikmah (Mesir) mengoleksi sekitar 2 juta judul buku. Perpustakaan Umum Tripoli (Syam) mengoleksi lebih dari 3 juta judul buku. Perpustakaan semacam itu tersebar luas di berbagai wilayah negara Khilafah.
Pada masa Khilafah lahir banyak ulama di bidang tsaqâfah Islam. Filosofi Islam, mazjul-mâddah bir-rûh, yang mengintegrasikan belajar dan kesadaran akan perintah Allah ﷻ menjadikan tsaqâfah Islam sebagai inspirasi, motivasi dan orientasi pengembangan matematika, sains, teknologi, dan rekayasa hingga melahirkan banyak ilmuwan dan teknolog founding father disiplin ilmu pengetahuan modern. Tsaqâfah Islam, ilmu pengetahuan yang kita pelajari, juga produk-produk industri yang kita nikmati saat ini tidak lain adalah sumbangan para ulama dan ilmuwan Muslim. Mereka adalah para perintisnya. Sebut saja Ibnu Sina (pakar kedokteran), al-Khawarizmi (pakar matematika), al-Idrisi (pakar geografi), az-Zarqali (pakar astronomi), Ibnu al-Haitsam (pakar fisika), Jabir Ibn Hayyan (pakar kimia), dll.
Kemajuan pendidikan pada masa keemasan peradaban Islam ini bahkan telah terbukti menjadi rujukan peradaban lainnya. Hal tersebut antara lain diungkapkan oleh Tim Wallace-Murphy (WM) yang menerbitkan buku berjudul “What Islam Did for Us: Understanding Islam’s Contribution to Western Civilization” (London: Watkins Publishing, 2006). Buku WM tersebut memaparkan fakta tentang transfer ilmu pengetahuan dari Dunia Islam (Khilafah) ke Dunia Barat pada Abad Pertengahan.
Disebutkan pula bahwa Barat telah berutang pada Islam dalam hal pendidikan dan sains. Utang tersebut tidak ternilai harganya dan tidak akan pernah dapat terbayarkan sampai kapan pun. Cendekiawan Barat, Montgomery Watt, menyatakan, “Cukup beralasan jika kita menyatakan bahwa peradaban Eropa tidak dibangun oleh proses regenerasi mereka sendiri. Tanpa dukungan peradaban Islam yang menjadi ‘dinamo’-nya, Barat bukanlah apa-apa.”
Alhasil, saatnya membuang sistem pendidikan sekuler, dan beralih ke sistem pendidikan Islam.
Hikmah:
Rasulullah ﷺ bersabda,
مَنْ خَرَجَ فِي طَلَبِ الْعِلْمِ كَانَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ حَتَّى يَرْجِعَ
Siapa saja yang pergi untuk mencari ilmu maka ia sedang berada di jalan Allah hingga ia pulang. (HR at-Tirmidzi).
والله أعلمُ ﺑﺎ ﻟﺼﻮﺍﺏ
“dan Allah lebih tahu yang sebenar-benarnya”
Kaffah Edisi 279