Keadilan adalah pilar kehidupan yang amat berharga yang menjadi dambaan umat manusia. Termasuk keadilan dalam bidang ekonomi. Kehidupan ekonomi yang berkeadilan menjauhkan manusia dari kepemilikan harta secara zalim. Ekonomi yang adil tidak berpihak hanya pada kelompok tertentu, seraya mengabaikan kaum lemah.
Keadaan seperti itu tidak pernah didapatkan oleh manusia dalam ideologi sosialisme-komunisme maupun kapitalisme. Sosialisme-komunisme sudah bangkrut dan gagal menyejahterakan umat manusia. Kapitalisme pun menciptakan jurang ekonomi yang tinggi, lebih berpihak pada konglomerat, sementara rakyat terus dibebani dengan berbagai pungutan pajak.
Keunggulan Sistem Ekonomi Islam
Sistem ekonomi Islam terbukti menjamin keberkahan dan keadilan. Keadaan yang tidak pernah bisa terwujud dalam ideologi selain Islam. Ada tiga hal penyebab Islam mampu menciptakan kehidupan yang berkah dan menyejahterakan. Pertama: Setiap Muslim, termasuk penguasanya, menjalankan aturan Islam didorong oleh ketakwaan kepada Allah ﷻ, bukan semata karena motif ekonomi, yakni mendapatkan keuntungan. Nabi ﷺ bersabda:
التَّاجِرُ الصَّدُوقُ الأَمِينُ مَعَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ
Pedagang yang senantiasa jujur dan amanah (akan dibangkitkan pada Hari Kiamat) bersama para nabi, shiddîqîn dan para syuhada (HR at-Tirmidzi).
Para penguasa juga diperintahkan oleh Allah ﷻ untuk menunaikan dan mengelola harta umat sebagai amanah dengan sebaik-baiknya. Demi menjaga kehati-hatian, Khalifah Umar bin al-Khaththab ra., misalnya, sampai memperlakukan harta rakyat seperti harta anak yatim, yang tentu besar dosanya jika harta tersebut diambil secara zalim.
Kedua: Syariah Islam mencegah konsentrasi kekayaan hanya pada segelintir orang. Dengan begini akan teratasi kesenjangan sosial di tengah masyarakat. Islam mewajibkan negara untuk menghapuskan setiap peluang akumulasi kekayaan hanya pada elit tertentu. Sebagai kepala negara, Rasulullah ﷺ misalnya, pernah membagikan harta rampasan Perang Badar hanya kepada kaum Muhajirin; bukan kepada kaum Anshar, kecuali dua orang saja di antara mereka yang memang dhuafa. Hal ini dilakukan sebagai pelaksanaan perintah Allah ﷻ:
كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ
…supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kalian (TQS al-Hasyr [59]: 7).
Ketiga: Islam telah mengharamkan memakan harta orang lain secara zalim. Allah ﷻ berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian secara batil (zalim), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar keridhaan di antara kalian (TQS an-Nisa’ [4]: 29).
Menurut as-Sa’di dalam tafsirnya, berkaitan dengan QS an-Nisa’ ayat 29 di atas, yang termasuk memakan harta secara zalim adalah mencakup ghashab (perampasan) (Tafsîr as-Sa’di, hlm. 300). Ghashab, menurut Dr. Khalid al-Musyaiqih, adalah menguasai hak orang lain, baik hartanya atau hak gunanya, secara paksa, tanpa alasan yang benar.
Dengan demikian setiap pengambilan harta dari sesama mestilah berdasarkan saling ridha dan sesuai dengan tuntunan syariah Islam. Setiap pengambilan harta dengan cara paksaan (ghashab) dan menyalahi hukum Islam adalah perbuatan zalim. Walaupun sedikit, jika diambil secara zalim, maka Allah ﷻ mengharamkan pelakunya masuk surga. Nabi ﷺ bersabda:
مَنِ اقْتَطَعَ حَقَّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ بِيَمِينِهِ، فَقَدْ أَوْجَبَ اللهُ لَهُ النَّارَ، وَحَرَّمَ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ. فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ: وَإِنْ كَانَ شَيْئًا يَسِيرًا يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: وَإِنْ قَضِيبًا مِنْ أَرَاكٍ
“Siapa saja yang mengambil harta saudaranya dengan sumpahnya (secara tidak benar, red.) maka Allah mewajibkan dia masuk neraka dan mengharamkan dia masuk surga.” Lalu ada seorang yang bertanya, “Wahai Rasulullah, meskipun hanya sedikit?” Beliau menjawab, “Meskipun hanya sebatang kayu arak (kayu untuk siwak).” (HR Ahmad).
Larangan ghashab ini berlaku umum, termasuk oleh penguasa. Dalam syariah Islam, negara diharamkan memungut harta seperti berbagai pajak saat ini tanpa keridhaan rakyat dan bertentangan dengan syariah Islam. Harta rakyat terlindungi oleh hukum-hukum Allah ﷻ. Negara hanya berhak memungut zakat dari kaum Muslim, jizyah dari warga non-Muslim, serta kharaj bagi warga Muslim ataupun ahludz-dzimmah yang tinggal di tanah kharajiyah saja.
Dalam Islam, pungutan pajak (dharîbah) hanya dipungut hanya ketika kas negara dalam keadaan krisis. Artinya, pajak bersifat temporer (sewaktu-waktu/tidak terus-menerus). Itu pun hanya diambil dari warga Muslim yang kaya saja (non-Muslim tidak dikenai pajak). Beda dengan pajak dalam sistem kapitalisme yang dipungut secara zalim dari semua warga negara, miskin dan kaya, bahkan dipungut dari beragam barang dan jasa, dan bersifat terus-menerus.
Kapitalisme Menyengsarakan
Berkebalikan dari Islam, sistem kapitalisme terbukti memberatkan rakyat, menciptakan kesenjangan sosial dan hanya menguntungkan kelompok elit tertentu. Inilah yang sudah sejak lama dirasakan oleh rakyat Indonesia. Bahkan kehidupan rakyat semakin berat dari waktu ke waktu. April tahun lalu, misalnya, pemerintah resmi mengumumkan kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 11 persen. Kenaikan PPN ini dirasakan oleh semua orang tanpa pandang bulu. Semuanya (kaya atau miskin) harus membayar PPN untuk setiap barang dan jasa yang dikonsumsi.
Bukannya membantu transportasi publik, pemerintah malah berencana membedakan tarif KRL antara warga kaya dan miskin. Bagi warga kaya akan dipungut tarif lebih besar dibandingkan kelompok miskin. Selain tarif KRL untuk orang kaya, Pemerintah juga akan memberlakukan BPJS untuk orang kaya. Sebelumnya, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, keberatan dengan orang-orang kaya yang menggunakan BPJS untuk keperluan berobat. Padahal semua warga dipungut biaya (iuran) BPJS, kaya maupun miskin. Tidak gratis.
Distribusi gas LPG 3 kg juga mulai dibatasi. Hanya diperuntukkan bagi warga yang menggunakan KTP dan terdaftar dalam program Penyasaran Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem (P3KE) dan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Padahal gas sejatinya adalah milik umum. Artinya, setiap warga berhak menikmati energi tersebut dengan harga yang terjangkau bahkan jika memungkinkan secara cuma-cuma.
Di sisi lain pemerintah malah berencana memberikan subsidi untuk motor dan mobil listrik. Masing-masing Rp 8 juta dan Rp 80 juta perunit. Alasannya, untuk mengurangi beban subsidi BBM di APBN dan pelestarian lingkungan. Sudah pasti yang menikmati kebijakan ini nantinya adalah para produsen mobil dan motor listrik, bukan rakyat.
Pemerintah juga begitu bersemangat mengeluarkan Perppu Cipta Kerja setelah MK menyatakan UU Cipta Kerja sebagai inkonstitusional bersyarat. Pemerintah beralasan Perppu dikeluarkan karena perekonomian Indonesia akan menghadapi ancaman resesi global, konflik Ukraina-Rusia dan ketidakpastian yang masih sangat tinggi. Padahal sejak awal, pengesahan UU Omnibus Law sudah banyak dikritik. Pasalnya, UU tersebut hanya menguntungkan para pengusaha alias kaum oligarki, serta merugikan masyarakat luas seperti buruh, pemilik lahan dan para petani.
Kesengsaraan lain yang diciptakan kapitalisme adalah kesenjangan pendapatan yang tidak berubah sejak 20 tahun silam. Menurut Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), 1% orang kaya di Indonesia menguasai 50% aset nasional. Kaum oligarki juga menguasai lahan lebih banyak dibandingkan rakyat kebanyakan. Presiden Jokowi mengakui bahwa 1% orang Indonesia menguasai 59% lahan di negeri ini.
Majalah Forbes versi Asia pada akhir tahun lalu menyebutkan pengusaha batubara Low Tuck Kwong menjadi orang terkaya nomor satu di Indonesia dengan kekayaan US$25,2 miliar atau Rp 378 triliun (asumsi kurs Rp15 ribu perdolar AS). Ironinya, menurut riset Harian Kompas, ada 68 persen atau 183,7 juta orang Indonesia tidak mampu membeli makanan bergizi.
Padahal banyak konglomerat, seperti Low Tuck Kwong, sumber kekayaannya berasal dari harta milik umum (rakyat) seperti tambang batubara, dsb. Semestinya barang tambang seperti batubara, minyak dan gas bumi, mineral, dll yang merupakan milik umum tersebut digunakan untuk kesejahteraan rakyat. Bukan malah dikuasai oligarki.
Semua kerusakan yang diciptakan ideologi kapitalisme itu telah dirangkum Allah ﷻ dalam firman-Nya:
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
Telah tampak kerusakan di darat dan di laut karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah menimpakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar) (TQS ar-Rum [30]: 41).
Meski secara riil mempraktekkan ideologi kapitalisme, elit politik dan penguasa di negeri tetap tidak mau mengakui bahwa sebenarnya mereka menerapkan sistem kapitalisme. Di sisi lain, mereka malah terus mengobarkan permusuhan terhadap ideologi Islam dengan menyebutnya sebagai ancaman radikalisme.
Padahal satu-satunya solusi atas berbagai mafsadat yang sudah diciptakan berbagai ideologi buatan manusia adalah Islam. Islam dan syariahnya bukan saja punya kekuatan dan kemampuan menciptakan kesejahteraan untuk rakyat. Lebih dari itu, penerapan syariah Islam adalah bukti ketaatan seorang hamba kepada Allah ﷻ dan Rasul-Nya. Sebaliknya, mengabaikan syariah Islam adalah pembangkangan yang nyata kepada Allah ﷻ dan Rasul-Nya.
Hikmah:
Allah ﷻ berfirman:
وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا فِيهَا وَلَهُ عَذَابٌ مُهِينٌ
Siapa saja yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya serta melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkan dirinya ke dalam api neraka; dia kekal di dalamnya dan bagi dirinya siksaan yang menghinakan. (TQS an-Nisa’ [4]: 14).
والله أعلمُ ﺑﺎ ﻟﺼﻮﺍﺏ
“dan Allah lebih tahu yang sebenar-benarnya”
Kaffah Edisi 276