Isra Mi’raj adalah perjalanan yang Allah ﷻ berikan kepada Nabi ﷺ di tengah tahun duka-cita. Ketika itu Allah ﷻ mewafatkan paman beliau, Abu Thalib, dan istri beliau, Khadijah binti Khuwailid ra. Beliau juga mendapat penolakan kasar dari penduduk Thaif. Selain menjadi penyemangat kembali dakwah Nabi ﷺ, perjalanan Isra Mi’raj ini juga berisi berbagai pelajaran penting yang menunjukkan berbagai dimensi kemuliaan Islam.
Dimensi Spiritual
Para ulama sepakat bahwa Isra Mi’raj adalah mukjizat yang Allah ﷻ berikan kepada Rasulullah ﷺ. Perjalanan yang membutuhkan waktu lebih dari satu bulan hanya ditempuh kurang dari semalam. Allah ﷻ berfirman:
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا ۚ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Mahasuci Allah Yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjid al-Haram ke Masjid al-Aqsha, yang telah Kami berkahi sekelilingnya, agar Kami memperlihatkan kepada dia sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sungguh Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (TQS al-Isra [17]: 1).
Nabi ﷺ juga dipertemukan dengan para nabi dan rasul yang terdahulu. Imam Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ bertemu dengan Nabi Adam as., Nabi Isa bin Maryam as., Nabi Yahya as., dsb. Kemudian beliau diperintahkan oleh Allah ﷻ untuk mengimami shalat para nabi dan rasul tersebut.
Dalam perjalanan Mi’raj, Nabi ﷺ diperlihatkan oleh Allah ﷻ beragam siksaan terhadap para penghuni neraka. Beliau menyaksikan siksaan terhadap orang-orang yang rakus akan jabatan, siksaan terhadap para khatib/penceramah yang menebar fitnah, siksaan terhadap para pezina, siksaan terhadap para pemakan riba, dsb. Selanjutnya beliau dinaikkan ke Sidratul Muntaha. Di sana Allah ﷻ memberikan perintah shalat secara langsung kepada beliau.
Seluruhnya adalah dimensi spiritual penguji keimanan kaum Muslim. Apakah jika kabar dari Allah ﷻ dan Rasul-Nya yang di luar jangkauan akal manusia, berbeda dengan kebiasaan dan melawan budaya serta adat-istiadat, akan diterima ataukah ditolak?
Kala itu ada yang kembali murtad karena merasa peristiwa ini di luar akal manusia. Mereka lupa bahwa tak ada yang mustahil bagi Allah ﷻ. Mudah saja bagi Allah ﷻ memberikan kemukjizatan kepada Rasul-Nya. Karena itu orang yang kokoh keimanannya malah semakin mantap, seperti Abu Bakar ra. Beliau lalu digelari oleh Nabi ﷺ sebagai ash-shiddîq.
Sudah seharusnya kita merenungi ayat al-Quran yang mengingatkan kita untuk menyempurnakan keimanan, termasuk dengan menerima syariah agama ini secara utuh. Allah ﷻ berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي نَزَّلَ عَلَىٰ رَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي أَنْزَلَ مِنْ قَبْلُ ۚ وَمَنْ يَكْفُرْ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا
Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, juga pada kitab yang telah Allah turunkan kepada Rasul-Nya dan kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Siapa saja yang kafir kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya dan Hari Akhir, sungguh dia telah sesat sejauh-jauhnya (TQS an-Nisa [4]: 136).
Imam Ibnu Katsir menjelaskan ayat di atas: “Allah ﷻ memerintahkan kepada para hamba-Nya yang beriman untuk mengamalkan seluruh syariah yang dituntut oleh iman berikut cabang-cabangnya, rukun-rukunnya serta pilar-pilarnya.” (Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, 2/434).
Dimensi Ideologis
Imam Muslim meriwayatkan bahwa pada malam Isra Mi’raj, Nabi ﷺ diberi dua bejana minuman berisi khamr dan susu. Beliau lalu meminum susu, bukan khamr. Kemudian Jibril as. berkata:
هُدِيتَ الْفِطْرَةَ -أَوْ أَصَبْتَ الْفِطْرَةَ- أَمَّا إِنَّكَ لَوْ أَخَذْتَ الْخَمْرَ غَوَتْ أُمَّتُكَ
Engkau telah diberi petunjuk sesuai fitrah atau bertindak benar selaras dengan fitrah. Sungguh, andai engkau mengambil arak, niscaya sesatlah umatmu.
Peristiwa ini adalah menegaskan bahwa Islam adalah agama lurus dan sesuai dengan fitrah manusia. Mulai dari akidah hingga ibadah, akhlak, muamalah hingga politik dan kenegaraan. Seluruhnya akan mendatangkan kemaslahatan bagi umat manusia dan menghilangkan kerusakan/mafsadat dalam kehidupan. Islam dengan seluruh syariahnya mustahil mendatangkan penderitaan bagi umat manusia.
Jika Islam sudah sempurna dan sesuai dengan fitrah manusia, apakah pantas jika masih ada Muslim yang lebih percaya pada ajaran Montesquieu, Socrates, Adam Smith, Karl Marx atau Piagam PBB daripada Islam dengan seluruh ajaran dan syariahnya? Padahal Allah ﷻ telah berfirman:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)? (TQS al-Maidah [5]: 50).
Semua ideologi, sistem dan ajaran selain Islam tentu bertentangan dengan maqâshid asy-syarî’ah. Menerapkan ideologi atau sistem selain Islam itu pasti akan merusak tatanan kehidupan umat manusia dan mendatangkan kehinaan di akhirat. Allah ﷻ tegas berfirman:
وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى
Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku (al-Quran), sungguh bagi dia kehidupan yang sempit, dan Kami akan mengumpulkan dirinya pada Hari Kiamat dalam keadaan buta (TQS Thaha [20]: 124).
Dimensi Politik
Perjalanan Isra membawa Nabi ﷺ ke sejumlah tempat sebelum tiba di Al-Aqsa. Imam an-Nasa’i meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ dibawa oleh buraq dan Malaikat Jibril as. ke Yatsrib (Madinah) untuk melaksanakan shalat di sana. Kemudian Jibril as. berkata:
أَتَدْرِي أَيْنَ صَلَّيْتَ صَلَّيْتَ بِطَيْبَةَ وَإِلَيْهَا الْمُهَاجَرُ
Tahukah engkau, di mana engkau shalat? Engkau shalat di negeri yang baik. Ke sanalah orang-orang hendaknya pergi berhijrah (HR an-Nasa’i).
Setelah itu beliau juga diajak pergi ke Bukit Sinai dan melaksanakan shalat. Kemudian beliau tiba di Baitul Muqaddas.
Peristiwa tersebut mengandung dimensi politik bagi dakwah Islam. Tidak lama setelah peristiwa Isra Mi’raj, berimanlah serombongan Suku Aus dan Khazraj dari Yatsrib (Madinah). Mereka lalu berbaiat kepada Rasulullah saw. di Aqabah. Setahun kemudian Yatsrib telah siap menjadi tempat hijrah kaum Muslim dan berganti nama menjadi Madinah al-Munawarah. Inilah Negara Islam pertama di dunia. Di sana hukum-hukum Allah SWT diterapkan secara sempurna. Negara Islam di Madinah sekaligus menjadi titik sentral dakwah yang menyebarkan Islam ke seluruh penjuru dunia; termasuk ke Bukit Sinai di Mesir, lalu ke Yerusalem di Palestina dan seluruh negeri Syam.
Adapun peristiwa para nabi dan para rasul bermakmum kepada Rasulullah ﷺ dalam shalat di Masjid al-Aqsa adalah isyarat bahwa kepemimpinan umat manusia sudah diserahkan seutuhnya kepada beliau dan kaum Muslim. Tidak ada umat yang pantas memimpin dunia ini selain umat Muslim. Tak ada pula ideologi yang layak memimpin dunia dan umat manusia melainkan Islam.
Karena itu apakah pantas jika kaum Muslim menundukkan diri pada kekuasaan pihak asing dan aseng yang malah menjajah mereka? Pantaskah pula kaum Muslim tunduk pada kekuasaan lembaga-lembaga internasional buatan asing seperti PBB, IMF, dsb? Apalagi pada faktanya semua lembaga internasional tersebut tidak berpihak kepada kaum Muslim, justru malah banyak merugikan kaum Muslim.
PBB, misalnya, tidak melakukan apapun untuk menghentikan agresi militer pasukan koalisi pimpinan AS ke Irak dan Afganistan yang menewaskan ratusan ribu warganya. PBB juga berdiam diri atas aksi genosida terhadap Muslim Palestina, Suriah, Rohingya, Uyghur, dsb.
Demikianlah. Seharusnya Islam dan umatnya yang layak dan pantas memimpin dunia. Sebabnya, Islam lebih dari sekadar agama spiritual atau akhlak belaka. Islam adalah ideologi paripurna yang juga mengatur politik dan kenegaraan, sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah ﷺ dan Khulafaur Rasyidin. Bahkan kelak kekuasaan Islam akan mengemban agama ini ke seluruh bagian dunia sehingga umat manusia berada dalam naungannya. Hal ini telah dijanjikan oleh Nabi ﷺ:
إِنَّ اللَّهَ زَوَى لِي الْأَرْضَ أَوْ قَالَ إِنَّ رَبِّي زَوَى لِي الْأَرْضَ فَرَأَيْتُ مَشَارِقَهَا وَمَغَارِبَهَا وَإِنَّ مُلْكَ أُمَّتِي سَيَبْلُغُ مَا زُوِيَ لِي مِنْهَا
Sungguh Allah telah mendekatkan bumi ini untukku. Lalu aku melihat bagian timur dan baratnya. Sungguh, kekuasaan umatku akan mencapai seluruh wilayah yang diperlihatkan kepadaku tersebut (HR Abu Dawud).
Akan tetapi, kepemimpinan ini tidak mungkin terwujud melainkan dengan institusi Khilafah Islamiyah yang memang telah diperintahkan oleh agama dan disepakati kewajibannya oleh para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah (Aswaja). Kewajiban ini di antaranya ditulis oleh Profesor Dr. Wahbah Zuhaili pada bab, “Sulthah at-Tanfîzh al-‘Ulyâ – Al-Imâmah”. Bab ini merangkum pendapat para ulama dari berbagai mazhab tentang kewajiban menegakkan Khilafah. Menurut beliau, hanya segelintir kelompok yang menolak kewajiban mendirikan Khilafah, yaitu sebagian kecil kelompok Khawarij dan Muktazilah. Adapun mayoritas ulama mazhab—bahkan seluruh ulama Aswaja—menyatakan wajib mendirikan Khilafah (Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuhu, 6/663-668).
Hikmah:
Rasulullah ﷺ bersabda:
Pada malam di-isra’-kan, aku melihat sejumlah laki-laki yang digunting bibirnya dengan gunting api. Aku bertanya (kepada Malaikat Jibril), “Jibril, siapakah mereka?” Jibril menjawab:
خُطَبَاءُ مِنْ أُمَّتِكَ الَّذِينَ يَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَيَنْسَوْنَ أَنْفُسَهُمْ وَهُمْ يَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلَا يَعْقِلُونَ
“Mereka adalah para khatib dari kalangan umatmu. Mereka memerintah kebaikan pada orang lain, namun mereka melupakan dirinya sendiri. Mereka membaca al-Quran, apakah mereka tidak memikirkannya?” (HR Ahmad).
والله أعلمُ ﺑﺎ ﻟﺼﻮﺍﺏ
“dan Allah lebih tahu yang sebenar-benarnya”
Kaffah Edisi 282