Alhamdulillah, sepantasnya kita bersyukur kepada Allah ﷻ. Tahun ini kita bisa dipertemukan kembali dengan bulan puasa, yakni Bulan Ramadhan 1444 H.
Puasa Ramadhan tentu diharapkan dapat mewujudkan ketakwaan pada diri setiap Muslim. Allah ﷻ berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa, sebagaimana puasa itu telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertakwa (TQS al-Baqarah [2]: 183).
Menurut Syaikh Abu Bakar al-Jazairi, frasa “agar kalian bertakwa” dalam ayat di atas bermakna, “agar dengan shaum itu Allah ﷻ mempersiapkan kalian untuk bisa menjalankan semua perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya.” (Al-Jazairi, Aysar at-Tafâsîr, I/80).
Jika ‘buah’ dari puasa adalah takwa, tentu idealnya kaum Muslim menjadi orang-orang yang taat kepada Allah ﷻ tidak hanya pada bulan Ramadhan saja. Juga tidak hanya dalam tataran ritual dan individual semata. Ketakwaan kaum Muslim sejatinya terlihat juga di luar bulan Ramadhan sepanjang tahun. Juga dalam seluruh tataran kehidupan mereka.
Hakikat Takwa
Allah ﷻ berfirman:
الٓمٓ . ذَٰلِكَ ٱلۡكِتَٰبُ لَا رَيۡبَۛ فِيهِۛ هُدٗى لِّلۡمُتَّقِينَ
Alif lâm mîm. Kitab (al-Quran) ini, tidak ada keraguan di dalamnya, sebagai petunjuk bagi kaum yang bertakwa (TQS al-Baqarah [2]: 1-2).
Saat menafsirkan ayat di atas, Imam Ali ash-Shabuni mengutip antara lain pernyataan Imam al-Hasan al-Bashri, “Orang-orang bertakwa adalah mereka yang takut terhadap apa saja yang telah Allah ﷻ larang atas diri mereka dan menunaikan apa saja yang telah Allah SWT wajibkan atas diri mereka.” (Lihat: Ali ash-Shabuni, Shafwah at-Tafâsîr, I/26).
Adapun menurut Imam Ibn Jarir ath-Thabari, mengutip pernyataan Ibn Abbas ra., “Orang-orang yang bertakwa adalah mereka yang takut menyekutukan Allah ﷻ dan mengamalkan apa saja yang telah Allahﷻ wajibkan atas mereka” (Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, I/232-233).
Dengan demikian, jika memang takwa adalah buah dari shaum Ramadhan yang dilakukan oleh setiap Mukmin, idealnya usai Ramadhan, setiap Mukmin senantiasa takut terhadap murka Allah ﷻ dengan cara selalu berupaya menjalankan semua perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya, selalu berupaya menjauhi kesyirikan, senantiasa menjalankan ketaatan, memiliki rasa takut untuk melakukan perkara-perkara yang haram dan senantiasa berupaya menjalankan semua kewajiban yang telah Allah ﷻ bebankan kepada dirinya.
Bukan takwa namanya jika seseorang biasa melakukan shalat, melaksanakan shaum Ramadhan atau bahkan menunaikan ibadah haji ke Baitullah; sementara ia biasa memakan riba, melakukan suap dan korupsi, mengabaikan urusan masyarakat, menzalimi rakyat dan enggan terikat dengan syariah Islam di luar yang terkait dengan ibadah ritual.
Orang bertakwa pun tentu selalu berupaya menjauhi kesyirikan. Syirik maknanya adalah menyekutukan Allah ﷻ dengan makhluk-Nya, baik dalam konteks ‘aqidah maupun ibadah; termasuk meyakini sekaligus menjalankan hukum apapun selain hukum-Nya. Sebabnya, hal itu pun bisa dianggap sebagai bentuk kesyirikan. Allah ﷻ berfirman:
...اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ
Orang-orang Yahudi dan Nasrani telah menjadikan para pendeta dan para rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah... (TQS at-Taubah [9]: 31).
Terkait ayat ini, ada sebuah peristiwa menarik. Diriwayatkan bahwa saat Baginda Rasulullah ﷺ membaca ayat ini, kebetulan datanglah Adi bin Hatim kepada beliau dengan maksud hendak masuk Islam. Saat Adi bin Hatim yang ketika itu masih beragama Nasrani mendengar ayat tersebut, ia kemudian berkata, “Wahai Rasulullah, kami (orang-orang Nasrani, red.) tidak pernah menyembah para pendeta kami.” Namun, Baginda Nabi ﷺ membantah pernyataan Adi bin Hatim sembari bertanya dengan pertanyaan retoris, “Bukankah para pendeta kalian biasa menghalalkan apa yang telah Allah haramkan dan mengharamkan apa yang telah Allah halalkan, lalu kalian pun menaati mereka?” Jawab Adi bin Hatim, “Benar, wahai Rasulullah.” Beliau tegas menyatakan, “Itulah bentuk penyembahan mereka kepada para pendeta mereka.” (Lihat: ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, X/210; al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, IV/39).
Saat ini posisi para pendeta dan para rahib itu diperankan pula oleh para penguasa maupun wakil rakyat dalam sistem demokrasi. Pasalnya, merekalah saat ini yang biasa membuat hukum yang banyak menghalalkan apa yang telah Allah haramkan dan mengharamkan apa yang telah Allah halalkan. Contoh: Di negeri ini riba telah lama dilegalkan (dihalalkan). Bahkan Pemerintah menjadi pelaku riba terbesar. Di antaranya melalui pinjaman (utang) dengan bunga tinggi. Setiap tahun ratusan triliun rupiah harus dikeluarkan oleh Pemerintah hanya untuk membayar bunga utangnya saja. Belum cicilan pokok utangnya. Padahal jelas, riba telah diharamkan secara tegas oleh Allah ﷻ (QS al-Baqarah [2]: 275). Contoh lainnya adalah privatisasi berbagai sumber daya alam milik umum yang dilegalkan oleh sejumlah UU, seperti UU Penanaman Modal, UU Migas, UU Minerba, dll. Padahal jelas, Islam telah mengharamkan penguasaan berbagai sumber daya alam yang menguasai hajat hidup orang banyak oleh individu, swasta apalagi asing.
Tentu saja, sebagai wujud dari ketakwaan kita, kita dilarang menaati apapun produk hukum buatan manusia yang nyata-nyata bertentangan dengan syariah Allah ﷻ.
Tanda-tanda Takwa
Takwa tentu memiliki sejumlah tanda. Imam al-Hasan berkata, “Orang bertakwa memiliki sejumlah tanda yang dapat diketahui, yakni: jujur/benar dalam berbicara; senantiasa menunaikan amanah; selalu memenuhi janji; rendah hati dan tidak sombong; senantiasa memelihara silaturahmi; selalu menyayangi orang-orang lemah/miskin; memelihara diri dari kaum wanita; berakhlak baik; memiliki ilmu yang luas; senantiasa ber-taqarrub kepada Allah.” (Ibn Abi ad-Dunya’, Al-Hilm, I/32).
Terkait takwa pula, Zubair bin al-Awwam pernah menulis surat yang berisi nasihat untuk dirinya sendiri. Di dalam surat itu dinyatakan, “Amma ba’du. Sesungguhnya orang bertakwa itu memiliki sejumlah tanda yang diketahui oleh orang lain maupun dirinya sendiri, yakni: sabar dalam menanggung derita, ridha terhadap qadha’, mensyukuri nikmat dan merendahkan diri (tunduk) di hadapan hukum-hukum al-Quran.” (Ibn al-Jauzi, Shifat ash-Shafwah, I/170; Abu Nu’aim al-Asbahani, Hilyah Awliyâ, I/177).
Takwa tentu harus selalu ada pada diri seorang Muslim kapan saja, di mana saja dan dalam keadaan bagaimana pun. Rasulullah ﷺ pernah bersabda:
إِتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ
Bertakwalah engkau dalam segala keadaanmu! (HR at-Tirmidzi dan Ahmad).
Frasa “haytsumâ kunta” maksudnya dalam keadaan lapang atau sempit, senang atau susah, riang-gembira atau saat tertimpa bencana (Al-Mubarakfuri, VI/104).
Frasa “haytsumâ kunta” juga bermakna: di manapun berada, baik saat manusia melihat Anda ataupun saat mereka tak melihat Anda (Muhammad bin 'Alan ash-Shiddiqi, Dalîl al-Fâlihîn, I/164).
Namun, jujur harus kita akui, masih banyak di antara kita yang takwanya setengah-setengah. Saat di masjid, di majelis taklim atau di majelis zikir mereka bertakwa. Saat Ramadhan dan ibadah haji mereka bertakwa. Di luar itu mereka jauh dari ketakwaan kepada Allah ﷻ. Saat ini, misalnya, banyak Muslim yang tak memiliki lagi rasa takut saat bermaksiat. Tak ada lagi rasa khawatir saat melakukan dosa. Tak ada lagi rasa malu saat berbuat salah. Tak ada lagi rasa sungkan saat berbuat keharaman. Tak lagi merasa risih saat korupsi. Tak lagi ragu saat menipu. Tak lagi merasa berat saat mengumbar aurat. Tak lagi merasa berdosa saat berzina. Maksiat seolah sudah biasa. Na’ûdzu bilLâh min dzâlik!
Takwa Kunci Keselamatan
Terkait takwa, Abu Bakar ash-Shiddiq ra. pernah berkata:
وَاعْلَمُوا أَنَّ أَكْيَسَ الْكَيْسِ التُّقَى وَأَنَّ أَحْمَقَ الْحُمْقِ اَلْفُجُوْرُ
Ketahuilah, cerdas yang paling cerdas adalah takwa, dan bodoh yang paling bodoh adalah suka bermaksiat (Lihat: Al-Baqillani, I’jâz al-Qur’ân, 1/137; as-Suyuthi, Târîkh al-Khulafâ’, 1/28).
Apa yang dinyatakan oleh Abu Bakar ash-Shiddiq benar adanya. Contoh kecil, betapa banyak pejabat yang bergaji tinggi dan menikmati ragam fasilitas negara yang serba lux dan tentu serba gratis masih saja terdorong untuk korupsi. Ia lalu tertangkap tangan dan masuk penjara. Ia celaka di dunia oleh perbuatannya sendiri. Belum lagi di akhirat dia akan diazab oleh Allah ﷻ.
Mengapa bisa begitu? Karena ia tidak bertakwa kepada Allah ﷻ. Saat ia tak bertakwa, ia tampak bodoh. Sudah kaya dan terhormat, tetapi tetap korupsi. Akhirnya ia masuk bui dan menuai aib. Jika saja ia bertakwa, tentu ia akan memiliki sifat qanâ’ah. Ia akan menahan diri untuk korupsi. Saat terhindar dari korupsi, ia akan selamat di dunia. Tak akan menjadi pesakitan atau masuk penjara. Ia pun selamat dari dosa korupsi yang bisa memasukkan dirinya ke dalam neraka di akhirat.
Ketakwaan Kolektif
Takwa sejatinya tak hanya berlaku secara pribadi pada diri setiap Muslim. Takwa pun harus terwujud secara kolektif di masyarakat dan kehidupan bernegara. Allah ﷻ berfirman:
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ
Andai penduduk negeri-negeri itu beriman dan bertakwa, Kami pasti melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi... (TQS al-A’raf [7]: 96).
Ayat ini berbicara tentang penduduk negeri, yang jika bertakwa, mereka akan Allah beri keberkahan yang berlimpah. Dengan demikian, agar negeri ini berlimpah keberkahan, tak cukup mengandalkan ketakwaan secara personal. Harus terwujud ketakwaan secara kolektif. Dengan kata lain ketakwaan harus mewujud dalam masyarakat dan kehidupan bernegara. Wujudnya tidak lain dengan menerapkan dan menegakkan syariah Islam secara kâffah dalam seluruh aspek kehidupan mereka.
Hikmah:
Rasulullah ﷺ bersabda:
الصَّوْمُ جُنَّةٌ
Puasa adalah perisai. (HR an-Nasa’i).
والله أعلمُ ﺑﺎ ﻟﺼﻮﺍﺏ
“dan Allah lebih tahu yang sebenar-benarnya”
Kaffah Edisi 287