Ramadhan adalah bulan yang di dalamnya al-Quran diturunkan. Fungsinya adalah sebagai petunjuk bagi umat manusia. Tentu agar mereka tidak tersesat di dunia. Allah ﷻ berfirman:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ
Bulan Ramadhan adalah bulan yang di dalamnya al-Quran diturunkan, sebagai petunjuk bagi manusia, yang mengandung berbagai penjelasan atas petunjuk tersebut, sekaligus sebagai pembeda (haq dan batil) (TQS al-Baqarah [2]: 185).
Bukan hanya turun pada bulan Ramadhan sebagai bulan yang amat istimewa, al-Quran pun turun pada malam yang juga sangat istimewa, yakni Lailatul Qadar. Allah ﷻ berfirman:
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ
Sungguh Kami menurunkan al-Quran pada saat Lailatul Qadar (TQS al-Qadr [97]: 1).
Turunnya al-Quran sesungguhnya adalah peristiwa yang amat dahsyat. Secara tidak langsung hal demikian bisa kita pahami dari ayat lain, yakni firman Allah ﷻ berikut:
لَوْ أَنْزَلْنَا هَذَا الْقُرْآنَ عَلَى جَبَلٍ لَرَأَيْتَهُ خَاشِعًا مُتَصَدِّعًا مِنْ خَشْيَةِ اللَّهِ وَتِلْكَ الْأَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
Andai al-Quran ini Kami turunkan di atas gunung, kamu (Muhammad) pasti menyaksikan gunung itu tunduk dan pecah berkeping-keping karena takut kepada Allah. Perumpamaan itu Kami buat untuk manusia agar mereka mau berpikir (TQS al-Hasyr [59]: 21).
Saat menafsirkan ayat ini, Imam ath-Thabari menyatakan, “Gunung itu tunduk dan terpecah-belah karena begitu takutnya kepada Allah meskipun gunung itu amat keras. Tidak lain karena gunung tersebut sangat khawatir tidak sanggup menunaikan hak-hak Allah yang diwajibkan atas dirinya, yakni mengagungkan al-Quran.” (Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur'ân, 23/300).
Adapun Imam al-Baidhawi menafsirkan ayat ini dengan menyatakan, “Ayat ini merupakan gambaran betapa besarnya kehebatan dan pengaruh al-Quran.” (Al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta’wîl, 3/479).
Karena itulah, menurut Abu Hayan al-Andalusi, ayat ini merupakan celaan kepada manusia yang keras hati dan perasaannya tidak terpengaruh sedikit pun oleh al-Quran. Padahal jika gunung yang tegak dan kokoh saja pasti tunduk dan patuh pada al-Quran, sejatinya manusia lebih layak untuk tunduk dan patuh pada al-Quran (Abu Hayan al-Andalusi, Bahr al-Muhîth, 8/251).
Sayang, apa yang dinyatakan oleh Abu Hayan al-Andalusi ini justru banyak terjadi saat ini. Banyak manusia tidak tunduk dan patuh pada al-Quran. Banyak yang bahkan tidak bergetar saat al-Quran dibacakan. Boleh jadi hal itu karena banyak hati manusia yang sudah mengeras. Bahkan lebih keras dari batu. Tak sedikit pun terpengaruh oleh bacaan al-Quran. Apalagi tergerak untuk mengamalkan al-Quran dan menerapkan hukum-hukumnya, yakni syariah Islam. Bahkan saat ini ada upaya mengaitkan penegakan syariah Islam dengan radikalisme. Secara tidak langsung mereka ini telah berbuat jahat terhadap al-Quran sebagai sumber syariah Islam.
Al-Quran dan Perubahan
Sejarah membuktikan bahwa al-Quran benar-benar membawa perubahan besar bagi umat manusia. Dulu, sebelum al-Quran diturunkan, Bangsa Arab terkenal sebagai bangsa yang dipenuhi dengan kebodohan dan kezaliman. Ragam kemaksiatan mereka lakukan. Di antaranya: perzinaan, perjudian, mabuk-mabukan, penipuan dalam jual-beli, riba, pembunuhan terhadap bayi-bayi yang baru lahir, peperangan antarsuku, dll. Semua itu adalah di antara ragam kemaksiatan yang telah mendarah daging di tengah-tengah masyarakat. Kemaksiatan mereka paling besar tentu saja kemusyrikan dengan tradisi penyembahan terhadap berhala. Berhala ini mereka pertuhankan. Padahal mereka sendiri yang membuat berhala tersebut. Itulah mengapa zaman itu disebut sebagai zaman jahiliah (kebodohan).
Namun demikian, saat Baginda Rasulullah ﷺ diutus kepada mereka dengan membawa al-Quran, dalam waktu relatif singkat, hanya sekitar 23 tahun, bangsa Arab yang kemudian menjadi bangsa Muslim berubah 180 derajat. Dari kegelapan menuju cahaya. Dari kejahiliahan menuju kemuliaan. Dari kebiadaban menuju keadaban. Dari sebuah bangsa yang tidak diperhitungkan menjadi bangsa yang memimpin peradaban selama rentang waktu yang amat panjang.
Tak tanggung-tanggung, selama tidak kurang dari 14 abad kaum Muslim menguasai dua pertiga dunia dengan peradabannya yang tinggi dan mulia. Hal itu telah banyak diakui bahkan oleh para cendekiawan Barat yang jujur. Emmanuel Deutscheu, seorang cendekiawan Jerman, misalnya, pernah berkata, “Semua ini (yakni kemajuan peradaban Islam, red.) telah memberikan kesempatan baik bagi kami (Eropa) untuk mencapai kebangkitan (renaissance) dalam ilmu pengetahuan modern. Karena itu sewajarnyalah kami senantiasa mencucurkan airmata tatkala kami teringat akan saat-saat jatuhnya Granada.” (Granada adalah benteng terakhir Kekhilafahan Islam di Andalusia yang jatuh ke tangan bangsa Kristen Eropa).
Hal senada diungkapkan oleh Montgomery Watt, “Cukup beralasan jika kita menyatakan bahwa peradaban Eropa tidak dibangun oleh proses regenerasi mereka sendiri. Tanpa dukungan peradaban Islam yang menjadi ‘dinamo’-nya, Barat bukanlah apa-apa.”
Hal senada juga dinyatakan oleh Will Durrant, Jacques C. Reister dan masih banyak yang lain. Bahkan mantan Presiden Amerika Serikat Barack Obama, saat berpidato pada tanggal 5 Juli 2009, antara lain menyatakan, “Peradaban dunia berutang besar pada Islam. Islamlah di tempat-tempat seperti Universitas Al-Azhar yang mengusung lentera ilmu selama berabad-abad serta membuka jalan bagi era kebangkitan Kembali dan era pencerahan di Eropa.” (Republika.co.id, 20 Juni 2009).
Yang tidak diakui secara jujur bahkan cenderung ditutup-tutupi oleh Barat adalah fakta bahwa seluruh pencapaian kemajuan peradaban Islam dan kaum Muslim selama berabad-abad itu terjadi di sepanjang era Khilafah Islam. Bahkan boleh dikatakan, semua pencapaian kemajuan itu tidak lepas dari peran sentral Khilafah. Kecemerlangan sejarah itu terjadi ketika umat Islam menerapkan sistem pemerintahan Islam, yakni Khilafah, yang menjadikan al-Quran sebagai sumber hukum yang mengatur segenap aspek kehidupan umat manusia.
Berkat al-Quran
Semua pencapaian kemajuan peradaban Islam dan kaum Muslim selama berabad-abad itu tentu berkat al-Quran. Ini pun diakui bahkan oleh para cendekiawan Barat sendiri. “Hendaklah diingat, al-Quran memegang peranan yang lebih besar bagi kaum Muslim daripada Bibel dalam agama Kristen…Sungguh, sebuah kitab seperti ini patut dibaca secara meluas di Barat, terutama di masa kini…” (E. Denisen Ross, seperti dikutip dalam buku Kekaguman Dunia Terhadap Islam).
Prof. G. Margoliouth dalam De Karacht van den Islam juga menulis, “Penyelidikan telah menunjukkan bahwa yang diketahui oleh sarjana-sarjana Eropa tentang falsafah, astronomi, ilmu pasti dan ilmu pengetahuan semacam itu, selama beberapa abad sebelum Renaissance, secara garis besar datang dari buku-buku berbahasa Arab. Al-Quranlah yang memberikan dorongan pertama untuk studi-studi itu di antara orang-orang Arab dan kawan-kawan mereka.”
Itu sebabnya, W.E. Hocking berkomentar, “Oleh karena itu, saya merasa benar dalam penegasan saya bahwa al-Quran mengandung banyak prinsip yang dibutuhkan…” (The Spirit of World Politics, 1932, hlm. 461).
Pentingnya Kembali pada al-Quran
Sebagai konsekuensi keimanan pada al-Quran, kaum Muslim jelas wajib senantiasa merujuk pada al-Quran; baik dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat maupun bernegara. Apalah artinya mengimani al-Quran sebagai petunjuk kehidupan, namun dalam keseharian petunjuk al-Quran itu dicampakkan. Isinya tidak diamalkan. Hukum-hukumnya tidak diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan. Padahal faktanya, saat al-Quran dicampakkan, sebagaimana terjadi saat ini, kehidupan kaum Muslim nyaris berantakan di berbagai sisi. Kemiskinan, misalnya, masih terus terjadi, justru di tengah keberlimpahan kekayaan negeri. Angka pengangguran masih tinggi. Ketimpangan sosial dan ekonomi makin tak terkendali. Korupsi makin menjadi-jadi. Kriminalitas (seperti pencurian, pemerkosaan, pembunuhan, dll) makin mengiris hati. Kerusakan moral (seperti seks bebas, LGBT, dll) makin terbuka dan makin berani. Ketidakadilan hukum makin terang-terangan dipertontonkan. Semua kerusakan ini tidak lain sebagai akibat dari sikap umat Islam, khususnya para penguasanya, yang enggan diatur oleh al-Quran. Allah ﷻ berfirman:
وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى
Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku (al-Quran) maka bagi dia kehidupan yang sempit dan pada Hari Kiamat nanti Kami akan membangkitkan dia dalam keadaan buta (TQS Thaha [20]: 124).
Karena itu, agar bangsa ini tidak terus-menerus dalam kesempitan hidup dan keterpurukan, mau tidak mau, mereka wajib kembali pada al-Quran. Mereka wajib mengamalkan al-Quran dan menerapkan seluruh hukumnya. Apalagi mengamalkan al-Quran dan menerapkan seluruh hukumnya merupakan wujud hakiki dari ketakwaan sebagai hikmah yang harus diraih dari puasa Ramadhan. Saat takwa benar-benar mewujud secara kolektif di negeri ini, yang dibuktikan dengan mengamalkan dan menerapkan al-Quran dalam seluruh aspek kehidupan, pasti ragam keberkahan akan Allah ﷻ berikan kepada bangsa ini. Allah ﷻ berfirman:
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Jika penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan membukakan untuk mereka keberkahan dari langit dan bumi. Akan tetapi, mereka mendustakan (ayat-ayat- Kami). Karena itu Kami mengazab mereka karena apa yang telah mereka lakukan itu (TQS al-A’raf [7]: 96).
Hikmah:
Utsman bin Affan ra. (w. 35 H) berkata:
لَوْ طَهَرَتْ الْقُلُوْبُ لَمْ تَشْبَعْ مِنْ قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ
Jika hati bersih maka ia tidak akan kenyang dari membaca al-Quran (Al-Ghazali, Ihyâ' 'Ulûm ad-Dîn, 3/ 5).
والله أعلمُ ﺑﺎ ﻟﺼﻮﺍﺏ
“dan Allah lebih tahu yang sebenar-benarnya”
Kaffah Edisi 289