Pemilu baru akan berlangsung satu tahun lagi. Namun demikian, euforianya semakin terasa saat ini. Parpol dan elit politik mulai melakukan beragam manuver politik, bernegosiasi dan mensosialisasikan capres mereka masing-masing. Berbagai survei oleh sejumlah lembaga survei dilakukan. Di antaranya untuk membangun opini seputar para capres tersebut.
Suasana kompetisi Pemilu juga terasa kuat di tengah masyarakat. Posko-posko relawan didirikan. Berbagai agenda konsolidasi dilakukan. Sosialiasi para capres digelar di berbagai daerah. Antusiasme tinggi juga tampak di tengah-tengah umat Muslim. Mereka berharap besar akan ada perubahan melalui Pemilu tahun depan.
Logika Kepemimpinan
Keadaan umat hari ini di Tanah Air memang sedang tidak baik-baik saja, bahkan kian terpuruk. Beragam persoalan membelit negeri ini; dari persoalan ekonomi, sosial, keamanan hingga politik.
Secara ekonomi, negeri yang alamnya kaya-raya ini justru memiliki utang luar negeri mencapai hampir Rp 8.000 triliun. Pemberantasan korupsi malah makin lesu. Skandal keuangan Rp 341 triliun di Kemenkeu, misalnya, sampai sekarang tidak ada titik terangnya.
Sementara itu, DPR resmi mengesahkan RUU tentang Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi undang-undang. Padahal UU Cipta Kerja itu telah banyak ditentang karena banyak berisi pasal yang berpotensi merugikan masyarakat.
Secara keamanan nasional, warga masih terancam serangan kelompok teroris OPM di Papua. Dalam tiga tahun terakhir ada sekitar 110 warga dan aparat jadi korban teroris OPM.
Merasakan berbagai krisis dan problem ini, umat masih menyimpulkan penyebab utamanya adalah kepemimpinan. Logika yang diingat: ikan itu busuk mulai dari kepalanya. Maknanya, jika pemimpin rusak maka yang dipimpin juga akan ikutan rusak. Karena itulah setiap kali Pemilu digelar, semangat perubahan itu kembali muncul. Harapannya, pergantian pemimpin akan mengganti keadaan menjadi lebih baik.
Menuju Perubahan Hakiki
Allah ﷻ telah berfirman:
إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوۡمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنفُسِهِمۡ
Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri (TQS ar-Ra’du [13]: 11).
Perubahan keadaan suatu kaum tentu tak hanya didasarkan pada perubahan (pergantian) pemimpin. Karena itu sekadar pergantian pemimpin jelas tidak menjamin kondisi negeri ini berubah menjadi lebih baik. Saat ini keadaan negeri ini bahkan makin memburuk walaupun telah berganti-ganti pemimpin. Bukankah ini bukti bahwa pergantian kepemimpinan tidak memberikan perubahan yang berarti, kecuali sedikit saja?
Semestinya kaum Muslim kembali merujuk pada analisis al-Quran yang mengurai penyebab kerusakan umat manusia, yakni akibat meninggalkan aturan Allah ﷻ. Firman Allah ﷻ:
ظَهَرَ ٱلۡفَسَادُ فِي ٱلۡبَرِّ وَٱلۡبَحۡرِ بِمَا كَسَبَتۡ أَيۡدِي ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعۡضَ ٱلَّذِي عَمِلُواْ لَعَلَّهُمۡ يَرۡجِعُونَ
Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia, supaya Allah menimpakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar) (TQS ar-Rum [30]: 41).
Maknanya, kata Syaikh Ali ash-Shabuni dalam tafsirnya, “Telah tampak beragam kerusakan dan malapetaka di daratan dan di lautan disebabkan oleh kemaksiatan dan dosa-dosa manusia.”
Kemaksiatan dan dosa itu terjadi ketika manusia meninggalkan ketaatan kepada Allah ﷻ; melalaikan yang fardhu dan mengerjakan kemaksiatan. Inilah yang dikatakan oleh al-Quran sebagai penyebab kerusakan di daratan dan di lautan.
Allah ﷻ juga menegaskan bahwa penyebab derita umat manusia adalah karena mereka berpaling dari al-Quran.
وَمَنۡ أَعۡرَضَ عَن ذِكۡرِي فَإِنَّ لَهُۥ مَعِيشَةً ضَنكًا
Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku, sungguh bagi dia penghidupan yang sempit (TQS Thaha [20]: 124).
Imam Ibnu Katsir menjelaskan makna dari frasa ‘berpaling dari peringatan-Ku’ adalah: “menyelisihi perintah-Ku dan apa saja yang telah Aku turunkan kepada Rasul-Ku (yakni al-Quran); berpaling dari al-Quran lalu melupakannya dan (malah) mengambil selain al-Quran sebagai petunjuk.”
Setiap Muslim harusnya meyakini bahwa al-Quran adalah satu-satunya petunjuk dalam kehidupan. Allah ﷻ telah menunjukkan kepada kita bahwa akar persoalan umat hari ini adalah karena mereka mencampakkan syariah-Nya yang kâffah, dan malah mengambil aturan kehidupan yang lain, seperti sekularisme-demokrasi di negeri ini.
Dengan berpegang pada petunjuk al-Quran bisa dipastikan bahwa siapapun yang berkuasa, jika tetap mengabaikan aturan-aturan Allah, tidak akan pernah bisa menghilangkan berbagai kerusakan (fasad) di segenap penjuru negeri. Berbagai kerusakan hanya mungkin diperbaiki saat pemimpin kaum Muslim menerapkan Islam secara total. Inilah perubahan hakiki yang mestinya jadi program setiap pribadi, kelompok dan parpol Islam. Bukan sekadar mengusung calon pemimpin Muslim, tetapi juga sekaligus mendorong pemimpin Muslim menerapkan syariah Islam secara kâffah dalam seluruh aspek kehidupan. Bukan saja memilih siapa yang akan jadi pemimpin, tapi juga menentukan sistem kehidupan apa yang akan diterapkan; Islam atau selain Islam?
Hapuskan Ironi
Benar. Umat hari ini masih menyembah Allah ﷻ. Namun demikian, dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik dan bernegara justru menolak diatur Allah ﷻ dengan syariah-Nya. Padahal begitu jelas Allah ﷻ memerintahkan umat untuk berhukum hanya dengan syariah-Nya.
فَٱحۡكُم بَيۡنَهُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُۖ وَلَا تَتَّبِعۡ أَهۡوَآءَهُمۡ عَمَّا جَآءَكَ مِنَ ٱلۡحَقِّۚ
Karena itu hukumilah mereka menurut hukum yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepada dirimu (TQS al-Maidah [5]: 48).
Allah ﷻ juga telah mengingatkan kita bahwa mengabaikan penerapan syariah-Nya berkonsekuensi fasik, zalim bahkan kafir (jika secara i’tiqâdi [keyakinan] menolak syariah-Nya) (Lihat: QS al-Maidah [5]: 44, 45 dan 47).
Jangankan menolak hukum-hukum Allah, menolak satu huruf saja dari al-Quran dapat membatalkan keimanan. Ali bin Abi Thalib ra. berkata, “Siapa saja yang mengingkari satu huruf dari al-Quran berarti dia telah mengingkari semuanya dengan sebab pengingkarannya itu.” (Ibnu Qudamah, Munâzharah fil-Qur‘ân, hlm. 33).
Kaum Muslim juga masih menyatakan bahwa sumber hukum mereka adalah al-Quran dan as-Sunnah. Namun faktanya, mereka membiarkan akal dan hawa nafsu menjadi sumber atau sandaran penyusunan undang-undang yang mengatur negeri ini. Lahirlah UU Migas, UU Minerba, UU Parpol, UU Cipta Kerja, KUHP, dll yang justru membawa mafsadat bagi rakyat.
Begitulah sekularisme dan sistem demokrasi yang telah membuat kaum Muslim memisahkan keyakinan dari amal; memisahkan ibadah mahdhah dari amal-amal salih lainnya; menyembah Allah, tetapi menjadikan manusia sebagai penentu halal dan haram.
Padahal syariah Islam telah mengatur soal lahan, pertambangan baik migas maupun minerba, ketenagakerjaan, dll. Syariah Islam pun telah mengatur pidana baik berupa hudûd maupun jinâyat dan ta’zîr. Syariah Islam atau hukum-hukum Allah ﷻ jelas merupakan hukum terbaik yang mampu menyelesaikan berbagai persoalan manusia.
اَفَحُكْمَ الْجَـاهِلِيَّةِ يَـبْغُوْنَ ۗ وَمَنْ اَحْسَنُ مِنَ اللّٰهِ حُكْمًا لِّـقَوْمٍ يُّوْقِنُوْنَ
Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi kaum yang yakin? (TQS Al-Maidah [5]: 50).
Lagipula demokrasi telah memperdaya umat. Menyatakan kedaulatan di tangan rakyat, realitanya hitam-putihnya negeri ini ditentukan oleh segelintir wakil parpol yang duduk di parlemen. Mereka kerap membuat undang-undang yang malah menyesengsarakan rakyat yang telah memilih mereka. Para anggota dewan itu lebih tunduk kepada pimpinan parpol ketimbang kepada rakyat, juga lebih melayani pemilik modal asing aseng dan lokal. Mantan Menteri Perekonomian Rizal Ramli pernah mengatakan bahwa ada 25 undang-undang yang merupakan pesanan dan disponsori asing seperti undang-undang Migas yang dibiayai oleh United States Agency for International Development (USAID).
Sementara itu dalam Islam, kepala negara atau Khalifah tinggal menjalankan aturan yang sudah ada, yaitu syariah Islam. Tidak ada hak sedikitpun penguasa ataupun wakil rakyat, apalagi oligarki asing-aseng maupun lokal, untuk mengotak-atik hukum-hukum Allah. Dengan demikian sistem Islam bebas dari intervensi siapapun karena selalu berpatokan pada dalil al-Quran dan as-Sunnah.
APBN dalam Negara Islam (Khilafah) pun telah jelas pos pendapatan dan pengeluarannya sesuai tuntunan syariah. Karena itu APBN Syariah ini bebas dari permainan anggaran, intervensi para cukong dan mafia yang memakan uang rakyat. Penguasa tinggal menjalankan APBN itu sesuai syariah sehingga memberikan keberkahan dan manfaat bagi umat.
Khatimah
Sebenarnya telah jelas akar persoalan negeri ini bagi kaum Muslim, yakni karena mereka berpaling dari syariah Islam. Pertanyaannya: Maukah kita memutus akar persoalan yang telah menyesengsarakan rakyat di negeri ini? Ataukah kita tetap akan terus berputar-putar dalam lingkaran setan persoalan dengan mencari solusi di luar Islam? Sekadar memilih pemimpin yang lagi-lagi enggan menerapkan Syariah Islam? Janganlah umat ini seperti si pandir yang kehilangan uang di tempat gelap, lalu dia mencari uang yang hilang itu di tempat terang. Tentu umat ini tidak akan pernah menemukan jawaban atas persoalan mereka.
Hikmah:
Imam Malik rahimahulLâh berkata:
لَنْ يُصْلِحَ آخِرَ هَذِهِ الأُمَّةِ إِلاَّ مَا أَصْلَحَ أَوَّلَهَا
Tidak akan pernah bisa memperbaiki kondisi generasi akhir umat saat ini kecuali apa yang telah terbukti mampu memperbaiki kondisi generasi awal mereka. (Imam at-Tirmidzi, Adhwâ’ al-Bayân [Mukhtashar asy-Syamâíl Muhammadiyyah], 2/282).
والله أعلمُ ﺑﺎ ﻟﺼﻮﺍﺏ
“dan Allah lebih tahu yang sebenar-benarnya”
Kaffah Edisi 292