Di negeri ini, korupsi seperti tak mati-mati. Muncul lagi, muncul lagi. Nyaris terjadi di semua lini. Padahal katanya, Pemerintah serius memberantas korupsi. Berdasarkan data ICW, ada 579 kasus korupsi yang telah ditindak di Indonesia sepanjang 2022. Jumlah itu meningkat 8,63% dibandingkan dengan pada tahun sebelumnya yang sebanyak 533 kasus (Dataindonesia.id, 21/3/2023).
Salah satu kasus korupsi yang cukup besar terjadi di lingkungan Kementerian Keuangan. Sebagaimana diketahui, Mahfud MD kembali buka suara pasca Kementerian Keuangan mengklarifikasi perbedaan data transaksi mencurigakan sebesar Rp 349 triliun. Mahfud sepakat dengan pernyataan tidak adanya perbedaan data, tetapi untuk dugaan korupsi yang disebutkan adalah Rp 35 triliun (CNBCIndonesia.com, 4/4/2023).
Kasus lain yang lagi viral adalah korupsi di lingkungan Kominfo. Kasus korupsi proyek BTS ini merugikan negara tidak kurang dari Rp 8 triliun dengan melibatkan banyak oknum pejabat dan tokoh partai. Bahkan Menkominfo dari Partai Nasdem telah dijadikan tersangka.
Selanjutnya kasus korupsi bansos yang kembali mencuat. Kerugian negara dalam kasus ini juga cukup besar. Tentu masih banyak kasus korupsi lain. Sebagian telah terbukti. Sebagian lagi merupakan dugaan kuat. Ambil contoh kasus proyek foodestate yang mangkrak, dengan anggaran triliunan rupiah. Proyek ini pun secara nyata telah merusak lingkungan. Pasalnya, ribuan hektar hutan telah terlanjur dibabat habis. Contoh lain, yang juga mangkrak dan terus mengalami pembengkakan biaya, adalah proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB). Tentu masih banyak kasus-kasus dugaan korupsi lainnya.
Sejak era Reformasi, di antara ratusan kasus korupsi yang terjadi, ada puluhan kasus korupsi yang terbilang sangat besar. Di antaranya: kasus penyerobotan lahan seluas 37.095 hektar di Riau yang menyeret PT Duta Palma Group, yang merugikan negara mencapai Rp 78 triliun; kasus korupsi yang menyeret PT Trans-Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) dengan kerugian negara mencapai 2,7 miliar dolar Amerika Serikat atau sekitar Rp 37,8 triliun; kasus korupsi PT Asabri yang menyebabkan negara harus merugi Rp 22,7 triliun; kasus korupsi PT Jiwasraya yang menjadikan negara mengalami kerugian sebesar Rp 16,8 triliun; dll (Lihat: Kompas.com, 15/1/2023).
Tiga Jenis Korupsi
Dalam salah satu artikel yang dimuat di situs KPK.go.id, disebutkan bahwa korupsi memiliki berbagai bentuk dan jenis. Pelakunya mulai dari level terendah hingga para penyelenggara negara dan anggota legislatif.
Berdasarkan skala dampak dan paparannya, korupsi dapat dibagi menjadi tiga jenis. Pertama: Petty Corruption. Petty corruption adalah korupsi skala kecil oleh pejabat publik yang berinteraksi dengan masyarakat. Jenis korupsinya seperti pungutan liar, gratifikasi, penyuapan, uang pelicin, atau pemerasan untuk memuluskan pelayanan publik atau birokrasi. Padahal pelayanan tersebut seharusnya murah atau bahkan gratis untuk masyarakat.
Kedua: Grand Corruption. Grand corruption (korupsi kelas kakap) adalah korupsi dengan nilai kerugian negara yang fantastis, miliaran hingga triliunan rupiah. Korupsi kakap menguntungkan segelintir orang dan mengorbankan masyarakat secara luas.
KPK dalam Renstra 2011-2015 menjelaskan ada empat kriteria grand corruption:
- Melibatkan pengambil keputusan terhadap kebijakan atau regulasi;
- Melibatkan aparat penegak hukum;
- Berdampak luas terhadap kepentingan nasional;
- Kejahatannya berlangsung sistemik dan terorganisir.
Grand corruption kadang muncul akibat kongkalikong antara pengusaha dan para pengambil keputusan atau pembuat kebijakan.
Ketiga: Political Corruption. Political corruption (korupsi politik) terjadi ketika pengambil keputusan politik menyalahgunakan wewenangnya dengan memanipulasi kebijakan, prosedur, atau aturan demi keuntungan diri atau kelompoknya. Keuntungan ini bisa berupa kekayaan, status atau perpanjangan masa jabatan. Jenis-jenis political corruption adalah :
- Penyuapan
- Perdagangan pengaruh
- Jual beli suara
- Nepotisme, atau
- Pembiayaan kampanye.
Political corruption pun melibatkan orang-orang di level tinggi penyelenggara negara yang main mata dengan pengusaha. Political corruption juga sangat berpotensi terjadi ketika anggota legislatif merangkap sebagai pengusaha. Mereka kemudian memanipulasi institusi politik untuk memengaruhi pemerintahan dan sistem politik demi kepentingan perusahaannya. Undang-undang dan regulasi disalahgunakan, tidak dilakukan secara prosedural, diabaikan, atau bahkan dirancang sesuai dengan kepentingan mereka.
Selain untuk memperkaya diri sendiri dan mempertahankan jabatan, political corruption juga biasa dilakukan untuk mengumpulkan dana bagi pemenangan parpol atau dirinya pada pemilihan berikutnya. Uang hasil korupsi ini kemudian digunakan untuk melakukan money politic, yaitu menyogok rakyat, agar bisa terpilih kembali (Lihat: KPK.go.id, 11/1/2023).
Membabat Korupsi dari Akarnya
Semua kasus korupsi di atas, baik petty corruption, grand corruption maupun political corruption, terjadi dalam sistem demokrasi saat ini.
Tentu tidak mudah memberantas ketiga jenis korupsi di atas dalam sistem demokrasi. Pasalnya, demokrasi, yang secara teoretis mengklaim kedaulatan rakyat, dalam tataran faktual tidaklah demikian. Dalam praktiknya, kedaulatan rakyat sebagai ‘ruh’ demokrasi selalu dibajak oleh segelintir para pemilik modal atau oleh elit penguasa yang didukung oleh para pemodal. Inilah yang terjadi di banyak negara yang menerapkan demokrasi, termasuk di negeri ini.
Alhasil, negara yang menerapkan demokrasi, dalam praktiknya tak lebih merupakan negara ‘kleptokrasi’; negara yang dikuasai ‘para maling’. Pasalnya, di negara-negara demokrasi, yang selalu memiliki kuasa adalah segelintir orang yang ‘bermental maling’. Merekalah yang telah ‘mencuri’ atau ‘merampas’ kedaulatan rakyat dan mengubahnya menjadi kedaulatan elit wakil rakyat, elit politik dan elit para pemilik modal.
Dengan realitas sistem demokrasi semacam ini, jelas korupsi tak akan pernah berhenti, bahkan bisa makin menjadi-jadi, sebagaimana saat ini.
Karena itu solusi mendasarnya adalah dengan mencampakkan sistem demokrasi saat ini. Lalu diganti dengan sistem Islam. Dalam sistem Islam, kepemimpinan dan kekuasaan adalah amanah. Tanggung jawabnya tak hanya di hadapan manusia di dunia, tetapi juga di hadapan Allah ﷻ di akhirat kelak.
Dengan demikian sistem Islam mencegah sedari dini manusia untuk memiliki ‘niat korupsi’ di awal. Pada titik inilah Islam memberikan solusi secara sistemis dan ideologis terkait pemberantasan korupsi.
Dalam Islam, ada sejumlah langkah dalam memberantas bahkan mencegah korupsi, antara lain: Pertama, penerapan ideologi Islam, yang meniscayakan penerapan syariah Islam secara kâffah dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam hal kepemimpinan. Dalam Islam, pemimpin negara (khalifah), misalnya, diangkat untuk menjalankan pemerintahan sesuai dengan al-Quran dan as-Sunnah. Begitu pun pejabat lainnya.
Kedua, pemilihan penguasa dan para pejabat yang bertakwa dan zuhud. Dalam pengangkatan pejabat atau pegawai negara, Khilafah menetapkan syarat takwa sebagai ketentuan, selain syarat profesionalitas. Ketakwaan akan menjadikan seorang pejabat dalam melaksanakan tugasnya selalu merasa diawasi oleh Allah ﷻ.
Ketiga, pelaksanaan politik secara syar’i. Dalam Islam, politik itu intinya adalah ri’âyah syar’iyyah, yakni bagaimana mengurusi rakyat dengan sepenuh hati dan jiwa sesuai dengan tuntutan syariah Islam. Bukan politik yang tunduk pada kepentingan oligarki, pemilik modal, atau elit rakus.
Keempat, penerapan sanksi tegas yang berefek jera. Dalam Islam, hukuman tegas tersebut bisa dalam bentuk publikasi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk hingga hukuman mati.
Pentingnya Keteladanan
Dalam Islam, keimanan dan ketakwaan penguasa dan para pejabat tentu penting. Namun, sistem yang menjaga mereka agar tidak melenceng itu jauh lebih penting. Tidak ada yang meragukan keimanan Sahabat Muadz bin Jabal ra. Namun, Rasulullah ﷺ tetap menasihati dirinya. Bahkan ketika ia diutus ke Yaman dan sudah melakukan perjalanan, Rasulullah ﷺ memerintahkan seseorang untuk memanggil dia kembali. Ketika Muadz ra. kembali, beliau bersabda:
أَتَدْرِي لِمَ بَعَثْتُ إِلَيْكَ؟ لاَ تُصِيبَنَّ شَيْئًا بِغَيْرِ إِذْنِي فَإِنَّهُ غُلُولٌ. وَمَنْ يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ القِيَامَةِ. لِهَذَا دَعَوْتُكَ، فَامْضِ لِعَمَلِكَ
Tahukah kamu mengapa aku mengirim orang untuk menyusul dirimu? Janganlah kamu mengambil sesuatu tanpa izinku karena hal itu adalah ghulûl (khianat). Siapa saja yang berbuat ghulûl, pada Hari Kiamat ia akan datang membawa apa yang dia khianati itu (QS Ali Imran [3]: 61). Karena inilah aku memanggil dirimu. Sekarang pergilah untuk melakukan tugasmu (HR at-Tirmidzi).
Selain itu adalah keteladanan Rasulullah ﷺ, walaupun memegang banyak harta negara, hidup sederhana. Beliau, misalnya, biasa tidur di atas selembar tikar yang kasar yang meninggalkan bekas pada tubuh beliau.
Setelah Rasulullah ﷺ pengganti beliau dalam urusan pemerintahan, yakni Khalifah Abu Bakar ra., hanya mengambil sekadarnya saja harta dari Baitul Mal untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya sehari-hari.
Pengganti beliau, Khalifah Umar ra., juga hidup sederhana. Khalifah Umar ra. pernah meminta masukan kepada Salman al-Farisi. Apa kira-kira kekurangan beliau dalam pandangan masyarakat. Salman menolak, tetapi Khalifah Umar mendesak. Akhirnya, Salman berkata bahwa ada masyarakat yang menggunjingkan Khalifah Umar yang sering mengumpulkan dua macam lauk dalam satu hidangan makan. Sejak saat itu Khalifah Umar tidak pernah makan dengan dua macam lauk.
Khatimah
Alhasil, penerapan syariah Islam akan efektif dalam memberantas korupsi. Upaya ini membutuhkan kesungguhan dan komitmen semua pihak untuk segera mewujudkan sistem pemerintahan yang menerapkan syariah Islam secara kâffah.
Hikmah:
Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّ رِجَالاً يَتَخَوَّضُونَ فِي مَالِ اللَّهِ بِغَيْرِ حَقٍّ فَلَهُمْ النَّارُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Sungguh ada sebagian orang yang mengambil harta milik Allah bukan dengan cara yang haq. Karena itu bagi mereka azab neraka pada Hari Kiamat. (HR al-Bukhari).
والله أعلمُ ﺑﺎ ﻟﺼﻮﺍﺏ
“dan Allah lebih tahu yang sebenar-benarnya”
Kaffah Edisi 295