Usai sudah rangkaian ibadah haji yang dilakukan oleh jamaah haji sedunia di Tanah Suci pada tahun 1444 H/2023 M ini. Sebagian jamaah haji pun secara bergelombang sudah mulai kembali ke negerinya masing-masing.
Pada tahun ini diperkirakan ada dua juta jamaah haji dari berbagai negara hadir di Tanah Suci. Tak ada harapan dan cita-cita para jamaah haji saat berangkat ke Tanah Suci selain ingin mendapatkan predikat haji mabrur. Balasan haji mabrur tidak lain adalah surga. Demikian sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ:
الْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ
Haji mabrur tidak ada balasannya kecuali surga (HR al-Bukhari dan Muslim).
Karena itu haji adalah salah satu ibadah yang utama. Ibadah haji bahkan memiliki keutamaan besar yang sejajar dengan jihad fi sabilillah. Nabi ﷺ bersabda:
الْغَازِى فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَالْحَاجُّ وَالْمُعْتَمِرُ وَفْدُ اللَّهِ دَعَاهُمْ فَأَجَابُوهُ وَسَأَلُوهُ فَأَعْطَاهُمْ
Orang yang berperang di jalan Allah, orang yang berhaji dan orang yang berumrah adalah tamu-tamu Allah. Allah mengundang mereka, mereka pun memenuhi undangan-Nya. Lalu mereka meminta kepada Allah, Allah pun memenuhi permintaan mereka (HR Ibnu Majah).
Rasulullah ﷺ pun pernah ditanya tentang amal yang paling utama. Beliau menjawab;
إِيمَانٌ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ . قِيلَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ جِهَادٌ فِى سَبِيلِ اللَّهِ . قِيلَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ حَجٌّ مَبْرُورٌ
“Mengimani Allah dan Rasul-Nya.” Ada yang bertanya lagi, “Kemudian apa lagi?” Beliau menjawab, “Jihad di jalan Allah.” Ada yang bertanya kembali, “Kemudian apa lagi?” Beliau kembali menjawab,“Haji mabrur.” (HR al-Bukhari).
Hakikat Haji Mabrur
Menurut Imam al-Qurthubi, haji mabrur adalah orang yang berhaji tanpa bermaksiat kepada Allah ﷻ, baik saat menunaikannya maupun setelahnya. Mengutip Imam Hasan al-Bashri, haji mabrur adalah yang pelakunya, setelah menunaikan ibadah haji, menjadi zuhud terhadap dunia dan menginginkan akhirat (surga) (Lihat: al-Qurthubi, Tafsîr al-Jāmi’ Li Ahkām al-Qur’ān, 2/408).
Secara garis besar para ulama menjelaskan bahwa orang yang berhak mendapatkan status haji mabrur adalah mereka yang tidak mencampur ibadah haji dengan kemaksiatan dan tidak melakukan lagi kemaksiatan usai berhaji. Karena itu tentu tidak pantas seseorang mendapatkan predikat haji mabrur jika selama menunaikan ibadah haji melakukan tindak kemungkaran, misalnya berangkat dengan uang haram seperti hasil riba, suap, korupsi, merampas aset milik rakyat, dll. Ia pun tidak patut mendapatkan status haji mabrur jika usai menunaikan ibadah haji justru kembali menceburkan diri dalam kemaksiatan seperti menelantarkan hukum-hukum Allah ﷻ, mengkriminalisasi ajaran Islam, menghalang-halangi dakwah penerapan syariah Islam, berkolusi dengan korporasi merampas aset milik umat seperti hutan, pertambangan, dsb.
Haji: Agenda Politik Akbar
Patut untuk dihayati oleh umat bahwa berhaji bukan saja memenuhi dimensi ruhiyah (spiritual). Ibadah haji juga memenuhi dimensi siyâsiyah (politik) dan perjuangan. Di antaranya, dalam ibadah haji tercermin keberhasilan Islam menjadi ideologi yang melebur umat manusia menjadi satu kesatuan tanpa perbedaan suku, ras, warna kulit maupun strata sosial. Tanah Suci menjadi tempat peleburan (melting point) raksasa untuk seluruh umat manusia. Demikian sebagaimana firman Allah ﷻ:
وَأَذِّن فِي ٱلنَّاسِ بِٱلحَجِّ يَأتُوكَ رِجَالاً وَعَلَىٰ كُلِّ ضَامِرٍ يَأتِينَ مِن كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ
Serulah manusia untuk mengerjakan ibadah haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta yang kurus. Mereka datang dari segenap penjuru yang jauh (TQS al-Hajj [22]: 27).
Saat Haji Wada’ kita mendapati Rasulullah ﷺ menyampaikan khutbah yang berisi pesan-pesan politik dan spiritual yang menggugah umat. Ada sejumlah poin penting dalam Khutbah Wada’ yang beliau sampaikan:
Pertama, darah dan harta sesama Muslim terpelihara.
Kedua, kewajiban menunaikan amanat, termasuk di dalamnya amanah kekuasaan untuk melayani dan melindungi umat.
Ketiga, sistem ekonomi ribawi dihapuskan untuk selamanya.
Keempat, menjaga aturan Islam dalam rumah tangga dan kewajiban mendidik istri.
Kelima, kewajiban umat menjaga persatuan dan kesatuan.
Keenam, kewajiban berpegang teguh pada Kitabullah dan Sunnah Nabi ﷺ jika tidak ingin tersesat dan sebaliknya umat akan tersesat jika berpaling pada ajaran dan sistem kehidupan selain Islam.
Pada momen Haji Wada’ juga turun firman Allah ﷻ berisi ketetapan-Nya tentang kesempurnaan Islam sebagai sistem kehidupan:
اَلْيَوْمَ اَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَاَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ الإْسْلاَمَ دِيْنًا
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, telah Kucukupkan nikmat-Ku untuk kalian dan telah Kuridhai Islam sebagai agama kalian (TQS al-Maidah [5]: 3).
Ayat ini seharusnya dijiwai oleh setiap Muslim, khususnya para jamaah haji, bahwa pada momen itulah Allah ﷻ telah menetapkan Islam sebagai sistem kehidupan yang sempurna dan menyeluruh. Bukan saja mengatur ritual ibadah haji, tetapi juga mengatur semua aspek kehidupan. Karena itu tak ada aturan hidup yang sepatutnya dijadikan pilihan oleh kaum Muslim selain aturan Islam. Bukan hanya untuk ritual ibadah, tetapi juga untuk kehidupan sosial, ekonomi, politik dan kenegaraan. Semua harus diatur oleh syariah Islam.
Haji: Inspirasi Perjuangan
Pada masa penjajahan mencengkeram Dunia Islam, ibadah haji menjadi salah satu stimulus yang menggerakkan semangat anti kolonialisme dan mendorong persatuan umat untuk melawan para penjajah. Di Tanah Air, salah satunya tercermin dalam peristiwa pemberontakan petani Banten 1888 yang dipimpin sejumlah tokoh haji melawan penjajah Belanda. Mereka terinspirasi dari pengalaman para tokoh umat saat mereka berada di Makkah.
Sejak itu, pemerintah kolonial Belanda mulai waspada dan berinisiatif untuk menyelidiki alasan orang-orang di Nusantara secara tiba-tiba memiliki watak revolusioner setelah kembali dari ibadah haji. Bahkan seperti diakui Snouck Hurgronje, “Para haji adalah wabah masyarakat pribumi. Mereka mendorong penduduk asli untuk melawan, menabur fanatisme dan kebencian terhadap orang Eropa.”
Snouck yang kemudian diutus ke Makkah untuk mengetahui apa yang terjadi dalam agenda haji menyaksikan orang-orang dari seluruh Nusantara membicarakan tentang perlawanan Aceh terhadap orang Belanda. Kisah legendaris tersebar bahwa salah satu pejuang Aceh telah membunuh sebanyak 17.000 tentara Belanda. Hal ini membangkitkan kesadaran untuk melawan kolonialisme di wilayah-wilayah Islam.
Snouck yang kemudian dideportasi dari Makkah, langsung menyarankan kepada pemerintah kolonial Belanda kebijakan pembatasan ibadah haji. Dia juga mendorong pemerintah kolonial Belanda untuk memeriksa para jamaah yang baru pulang dari ibadah haji, khawatir mereka terjangkiti ideologi kemerdekaan dan berinisiatif melakukan pemberontakan. Ibadah haji dan pelaksanaannya diatur dalam Staatsblad 1903.
Pada tahun 1916, jamaah yang telah melaksanakan ibadah haji mendapatkan ‘ujian haji’. Ini sebenarnya adalah screening untuk jamaah yang ditakutkan membawa pikiran revolusi perjuangan melawan kolonial Belanda. Mereka yang lulus kemudian diberi gelar haji bahkan diberi pakaian khusus haji seperti peci dan jubah putih. Tujuannya agar kaum penjajah dapat mengawasi mereka. Snouck Hurgronje menyebut para haji sama seperti mesiu yang sewaktu-waktu berpotensi untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintah kolonial.
Inspirasi perjuangan inilah yang diharapkan kembali muncul dalam setiap pelaksanaan ibadah haji. Ketika kaum Muslim dari segenap penjuru dunia berkumpul mereka dapat menceritakan kondisi negeri mereka masing-masing, bahwa akibat ketiadaan Khilafah Islamiyah sebagaimana saat ini, umat dicengkeram oleh neoimperialisme (penjajahan gaya baru). Politik, militer, ekonomi, sosial, budaya mereka dikendalikan oleh asing. Umat pun dapat berbagi kisah derita saudara seiman di India, Myanmar, Cina, Palestina, Suriah, dll. Demikian pula kondisi Irak atau Libya yang porak-poranda akibat agresi militer Amerika Serikat dan sekutunya.
Kaum Muslim bisa saling bertukar informasi bagaimana para penguasa kaum Muslim hari ini justru melayani asing dan aseng, membiarkan mereka menguasai kekayaan alam, serta menjadikan peradaban Barat sebagai budaya mereka. Pergaulan bebas, minuman keras, bahkan LGBT dibiarkan merusak masuk ke tengah umat. Pada saat yang sama hukum-hukum Islam ditelantarkan.
Semua itu tidak lain karena selain mewajibkan ibadah haji, Allah ﷻ juga telah mewajibkan dakwah untuk memperjuangkan agama-Nya. Bahkan ketika Nabi ﷺ menyebutkan jihad sebagai amal yang utama di atas ibadah haji, kedudukan berdakwah di hadapan penguasa yang zalim justru disebut oleh Nabi ﷺ sebagai jihad yang paling utama. Beliau bersabda:
أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ
Jihad yang paling utama ialah menyatakan kebenaran di hadapan penguasa zalim (HR Abu Dawud).
Karena itu kaum Muslim yang berhaji harus merasa terpanggil pula untuk berdakwah memperjuangkan Islam. Ini karena, sebagaimana ibadah haji, dakwah memperjuangkan Islam juga memiliki keutamaan yang besar di sisi Allah ﷻ. Karena itu pula janganlah umat berpuas diri usai menunaikan haji. Sebabnya, masih banyak kewajiban yang lebih utama yang harus ditunaikan kaum Muslim. Salah satunya adalah menyerukan kewajiban penerapan syariah Islam secara kâffah dalam institusi pemerintahan Islam, yakni Khilafah Islamiyah.
Hikmah:
Imam Hasan al-Bashri rahimahulLâh berkata:
الْحَجُّ الْمَبْرُورُ هُوَ أَنْ يَرْجِعَ صَاحِبُهُ زَاهِدًا فِي الدُّنْيَا رَاغِبًا فِي اْلآخِرَةِ
Haji mabrur itu adalah orang yang kembali dari berhaji menjadi zuhud terhadap dunia dan merindukan akhirat (surga). (Ibnu Rajab, Lathâ’if al-Ma’ârif, 1/62, Maktabah Syamilah).
والله أعلمُ ﺑﺎ ﻟﺼﻮﺍﺏ
“dan Allah lebih tahu yang sebenar-benarnya”
Kaffah Edisi 300