Belakangan ini kata hijrah menjadi suatu istilah yang begitu digandrungi kaum Muslim. Kata hijrah menjadi lekat untuk pribadi-pribadi yang ingin berubah menuju kehidupan Islami. Ini merupakan pertanda positif. Tinggal bagaimana perubahan itu dilanjutkan dengan mengkaji Islam secara penuh. Tentu agar makna hijrah tidak sebatas perbaikan akhlak pribadi, ibadah atau muamalah. Hijrah tidak lain adalah perubahan total menuju kehidupan Islami yang utuh.
Hijrah Hati
Imam Ibnu Qayyim rahimahulLâh dalam kitabnya Risâlah At-Tâbûkiyah menguraikan ada dua jenis hijrah. Pertama, hijrah bi al-jismi (hijrah fisik), yakni berpindah dari satu negeri ke negeri lain, yakni dari negara kufur (dâr al-kufr) menuju Negara Islam (Dâr al-Islâm). Kedua, hijrah bi al-qalbi (hijrah hati) menuju Allah ﷻ dan Rasul-Nya.
Selanjutnya Ibnu Qayyim menjelaskan bahwa hijrah mengandung kondisi ‘dari’ (min) dan ‘menuju’ (ilâ). Dengan demikian hijrah hati bermakna: dari cinta selain Allah menuju cinta kepada-Nya; dari ibadah kepada selain Allah menuju ibadah kepada-Nya; dari rasa takut, berharap dan tawakal kepada selain Allah menuju takut, berharap dan tawakal hanya kepada-Nya. Demikian sebagaimana perintah Allah kepada setiap Muslim untuk berlari sekuat tenaga menuju Diri-Nya:
فَفِرُّواْ إِلَى ٱللَّهِۖ
Berlarilah kalian menuju Allah! (TQS adz-Dzariyat [51]: 50).
Dalam bahasa Arab kata farra menunjukkan larinya seseorang dari sesuatu yang ditakuti, seperti melarikan diri dari kejaran singa. Karena itu seorang Muslim wajib berusaha keras meninggalkan kemungkaran dan bersungguh-sungguh menuju ketaatan kepada Allah ﷻ. Berpaling dari ayat-ayat Allah dengan tidak menaati aturan-aturan-Nya hanya akan membawa penderitaan di dunia dan siksaan di akhirat. Allah ﷻ berfirman:
وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى
Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku, sungguh bagi dia penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkan dirinya pada Hari Kiamat dalam keadaan buta (TQS Thaha [20]: 124).
Pelaku hijrah hati yang utama harusnya adalah para penguasa. Ini karena kedudukan mereka menentukan baik-buruknya rakyat. Imam al-Ghazali menyatakan, “Rusaknya rakyat adalah karena rusaknya penguasa.” Oleh karena itu para penguasa harus berada di barisan paling terdepan dalam meninggalkan segala kemungkaran seperti: khianat terhadap rakyat dengan mengumbar janji palsu dan kebohongan, kongkalikong menguras harta rakyat, mengeluarkan berbagai kebijakan zalim terhadap rakyat, memperkaya diri dan keluarga dengan memanfaatkan jabatan, membiarkan agama dinista, dsb. Semuanya patut untuk ditinggalkan secepatnya dan sekuat tenaga karena penguasa macam itu akan mendapatkan tempat terburuk dan siksa yang paling keras pada Hari Kiamat. Nabi ﷺ bersabda:
أَحَبَّ النَّاسِ إِلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَقْرَبَهُمْ مِنْهُ مَجْلِسًا: إِمَامٌ عَادِلٌ، وَإِنَّ أَبْغَضَ النَّاسِ إِلَى اللهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَشَدَّهُ عَذَابًا: إِمَامٌ جَائِرٌ
Manusia yang paling Allah ‘Azza wa Jalla cintai pada Hari Kiamat dan paling dekat kedudukannya di sisi-Nya adalah pemimpin yang adil. Sungguh manusia yang paling Allah benci pada Hari Kiamat dan paling keras mendapatkan siksa-Nya adalah pemimpin yang jahat (HR Ahmad).
Tinggalkan Sistem Zalim
Sesungguhnya pangkal kemungkaran hari ini bukanlah semata disebabkan oleh pribadi-pribadi yang bermaksiat pada Allah. Kemungkaran hari ini berasal dari sikap umat yang berpaling dari syariah Islam. Inilah induk dari segala kerusakan yang menyebabkan kerusakan terjadi secara luas. Allah ﷻ berfirman:
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia. Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar) (TQS ar-Rum [30]: 41).
Akibat hukum pidana Islam tidak diterapkan, misalnya, berbagai kejahatan merajalela. Setiap hari nyaris tidak sepi dari berita pembunuhan dan penganiayaan. Polri mencatat selama empat tahun terakhir ada 3000 warga menjadi korban pembunuhan. Bahkan kekerasan hari ini lebih buruk dibandingkan dengan masa jahiliah. Saat ini banyak korban pembunuhan dimutilasi, misalnya. Bahkan ada yang dimasak seperti kasus terakhir di Sleman, Yogyakarta. Selain karena kian rusaknya nilai kemanusiaan, jelas juga karena hukum yang berlaku tidak memberi efek jera dan efektif memberikan pencegahan.
Hukum juga sering tidak berlaku adil bagi rakyat kecil. Tahun 2015 seorang nenek divonis 1 tahun penjara oleh pengadilan di Situbondo dengan tuduhan mencuri dua batang kayu jati. Namun, Pemerintah pada tahun ini malah membebaskan sejumlah korporasi pelaku pembabatan hutan seluas 3,3 juta hektar untuk dijadikan perkebunan sawit ilegal. Padahal Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya mengatakan, keberadaan 505 kebun kelapa sawit ilegal di sejumlah daerah merugikan negara senilai Rp 44 triliun!
Masa depan layanan kesehatan untuk rakyat juga semakin dipertanyakan. Pasalnya, DPR telah mengesahkan UU Kesehatan yang berpotensi merugikan rakyat. Layanan kesehatan diliberalisasi. Artinya, Negara semakin berlepas tangan dari tanggung jawabnya. Disebutkan, misalnya, dalam UU Kesehatan adanya penghapusan mandatory spending biaya kesehatan yang harusnya ditanggung APBN. Padahal Indonesia masih terbelit persoalan stunting, perbaikan alat dan fasilitas kesehatan, bahkan kurangnya kualitas pelayanan kesehatan. Indonesia juga masih kekurangan 130 ribu dokter dan Puskesmas serta rumah sakit hingga pelosok daerah.
Adanya BPJS juga bukan solusi layanan kesehatan bagi masyarakat. Dilaporkan ada 16,6 juta warga yang tidak sanggup melanjutkan iuran BPJS. Ironinya, warga yang menunggak iuran dapat terancam denda Rp 30 juta. Sudah terjadi kasus warga yang bunuh diri karena tidak bisa lagi berobat akibat tidak sanggup membayar iuran BPJS.
Umat juga makin terancam akidahnya. Kasus penistaan agama oleh Panji Gumilang sampai hari ini belum diselesaikan secara hukum. Padahal MUI sudah mengeluarkan rekomendasi yang menyebutkan kesesatan Pimpinan Pondok Pesantren Al-Zaytun tersebut. Publik pun bertanya: Mengapa Pemerintah begitu cepat dan sigap membubarkan FPI dan HTI tanpa alasan yang jelas, namun lamban menangani kasus Al-Zaitun yang telah dinyatakan sesat?
Selain itu, saat ini keberadaan ideologi Komunisme dan para pendukungnya seperti mendapat angin karena sejumlah peraturan telah dikeluarkan. Di antaranya Keppres Nomor 17 Tahun 2022 juga Inpres No 2/2023 yang menempatkan PKI sebagai korban pelanggaran HAM. Hal ini akan memutarbalikkan fakta sejarah PKI dengan ideologi Komunismenya sebagai pelaku kudeta dan kejahatan keji berupa pembunuhan ribuan santri dan kiai, juga aparat pemerintah dan para perwira militer.
Ada kekhawatiran peraturan tersebut akan menghidupkan kembali hak-hak politik para anggota dan pendukung ideologi Komunisme. Apakah Pemerintah pura-pura tidak tahu kalau ideologi Sosialisme-Komunisme yang menganut keyakinan materialisme-atheisme bertentangan dengan akidah Islam? Sejarah di berbagai negara memperlihatkan ideologi Sosialisme-Komunisme ini tidak segan-segan menumpahkan darah kaum Muslim karena menganggap Islam sebagai ancaman.
Anehnya, saat diingatkan bahwa penolakan penerapan syariah Islam dan pemberlakuan sistem sekuler saat ini adalah penyebab rusaknya kondisi umat dan negeri, mereka malah menolak dan bersikukuh apa yang mereka lakukan demi kebaikan. Ini persis seperti yang telah Allah ﷻ ingatkan dalam al-Quran (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 11-12).
Total Menuju Islam
Sudah saatnya umat menjadikan Islam sebagai dasar keyakinan dan aturan kehidupan dalam semua aspek; ekonomi, sosial, militer, politik dan kenegaraan. Ini karena Islam adalah ideologi yang benar dan sempurna. Syariahnya memberikan perlindungan terhadap jiwa, harta, akal, kelahiran dan nasab, kehormatan, akidah, keamanan dan negara.
Keadilan sistem Islam baru terwujud jika umat berislam secara total (kâffah). Tidak akan terwujud keadilan Islam jika ajaran Islam hanya diambil unsur spiritualnya dan moralnya saja. Sebaliknya, aturan ekonomi, pidana dan politik Islam dicampakkan. Yang diterapkan malah aturan demokrasi dan kapitalisme. Kalaupun sebagian hukum Islam diambil, itu karena semata memberikan keuntungan materi kepada pengelolanya seperti hukum haji, umrah, nikah, zakat, infak juga sedekah. Dengan cara seperti itu maka berbagai persoalan tidak akan pernah bisa diselesaikan. Beda hasilnya jika hukum-hukum Islam diterapkan secara kâffah dalam naungan Khilafah.
Mengharapkan persoalan umat akan selesai dengan hanya mengangkat pemimpin beragama Islam tanpa penerapan hukum Islam adalah ilusi. Terbukti, hari ini di Tanah Air mayoritas kepala daerah, anggota dewan dan pejabat beragama Islam. Namun, persoalan umat tak kunjung selesai. Sebabnya, syariah Islam tidak mereka terapkan. Malah tidak sedikit pejabat dan anggota dewan beragama Islam terperosok dalam kejahatan korupsi. Menurut catatan KPK ada 22 gubernur dan 154 walikota/bupati dan wakil, serta 319 anggota dewan terjerat kasus korupsi.
Karena itu pada momen Tahun Baru Hijrah ini, saatnya kaum Muslim berjuang untuk hijrah secara total, dari sistem yang penuh kezaliman menuju keadilan Islam. Caranya dengan menerapkan syariah Islam secara kâffah dalam naungan Khilafah.
Hikmah:
لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءٍ، وَ دَاءُ الْمُسْلِم كَوْنُهُ مُسْلِمًا كَمَا أَرَادَ، وَ دَوَاءُ الْمُسْلِم كَوْنُهُ مُسْلِمًا كَمَا أَرَادَ اللهُ
Setiap sakit ada obatnya. Sakitnya Muslim karena ia menjadi Muslim sesuai yang ia inginkan. Obatnya adalah ia menjadi Muslim sesuai yang Allah inginkan. (Sayyid Muhammad Habib al-‘Ubaidi al-Mawshili, Habl al-I’tishâm wa Wujûb al-Khilâfah fî Dîn al-Islâm).
والله أعلمُ ﺑﺎ ﻟﺼﻮﺍﺏ
“dan Allah lebih tahu yang sebenar-benarnya”
Kaffah Edisi 302