Ternyata jutaan rakyat Indonesia terjerat utang riba dari pinjaman online (pinjol) dalam jumlah besar. Pada bulan April 2023, warga DKI Jakarta terjerat pinjol sebesar Rp 10,35 triliun. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat total utang warga lewat pinjaman online se-Indonesia pada Mei 2023 mencapai Rp 51,46 triliun.
Sebagian dari pinjaman itu diakui oleh OJK mengalami kemacetan hingga mencapai Rp 1,72 triliun pada Mei 2023. Para nasabah yang gagal bayar ini mulai tercekik. Sebagian menutupi utang pinjol dengan berutang pada pinjol lain. Ini yang membuat hidup mereka makin susah. Sebagian warga yang putus asa bahkan melakukan bunuh diri. Tercatat sudah ada 12 warga bunuh diri akibat tercekik utang pinjol.
Mengandung Riba
Maraknya penyedia jasa pinjaman online (pinjol) tidak lepas dari kondisi masyarakat yang membutuhkan pinjaman untuk kebutuhan sehari-hari. Ada yang karena tekanan ekonomi. Ada pula yang memang untuk membiayai gaya hidup. Keadaan ini ditangkap oleh para pengusaha berotak kapitalis sebagai peluang investasi pinjaman online (pinjol).
Transaksi pinjol semakin besar karena warga merasa prosesnya cepat dan mudah. Pinjol juga menguntungkan para investor. Pada tahun 2020, Pemerintah mengumumkan data putaran uang dalam bisnis pinjol legal dan ilegal mencapai Rp 260 triliun. Namun, maraknya praktik pinjol malah membuat rakyat makin sengsara.
Pemerintah menilai dampak buruk pinjol adalah akibat maraknya pinjol ilegal. Karena itu berbagai upaya dilakukan untuk menutup praktik pinjol ilegal. Warga dianjurkan untuk berhati-hati menggunakan jasa pinjol dan hanya memanfaatkan pinjol yang legal saja.
Padahal masalah sebenarnya adalah praktik ribawi pada pinjol, baik yang ilegal maupun yang legal. Praktik pinjol yang berjalan selama ini mengandung unsur riba nasî’ah. Dalam skema pinjaman online, pihak OJK menetapkan bahwa penyedia jasa pinjol boleh memungut bunga pinjaman sampai batas tertentu.
Hukum riba adalah mutlak haram. Keharamannya berdasarkan nas-nas al-Quran dan as-Sunnah. Allah ﷻ berfirman:
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba (TQS al-Baqarah [2]: 275).
Saat Haji Wada, Rasulullah ﷺ. pun telah menjelaskan bahwa semua jenis riba telah dihapuskan. Sabda beliau:
وَإِنَّ كُلَّ رِبًا كَانَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوعٌ
Semua riba pada masa jahiliah telah dihapuskan (HR Ahmad).
Ancaman Bagi Pelaku Riba
Keharaman riba dan besarnya dosa riba juga terlihat dari ancaman Allah ﷻ dan Rasulullah ﷺ kepada pelakunya. Di antaranya: Pertama, sebagian ulama tafsir menjelaskan pelaku riba akan dibangkitkan dari alam kubur seperti orang kerasukan setan karena gila. Allah ﷻ berfirman:
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لاَ يَقُومُونَ إِلاَّ كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ
Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila (TQS al-Baqarah [2]: 275).
Kedua: Orang-orang yang masih mempraktikkan riba berarti menyatakan perang kepada Allah ﷻ dan Rasul-Nya. Allah ﷻ berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ . فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُونَ وَلاَ تُظْلَمُونَ
Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kalian kepada Allah dan tinggalkan sisa-sisa riba jika kalian orang-orang yang beriman. Jika kalian tidak meninggalkan riba, berarti kalian telah memaklumkan perang kepada Allah dan Rasul-Nya. Namun, jika kalian bertobat, kalian berhak atas pokok harta kalian. (Dengan begitu) kalian tidak berbuat zalim (merugikan) dan tidak dizalimi (dirugikan) (TQS al-Baqarah [2]: 278-279).
Ketiga: Mereka yang terlibat dalam riba dilaknat oleh Nabi ﷺ. Bukan saja pemberinya, tetapi juga saksi dan para pencatatnya. Nabi ﷺ bersabda:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعَنْ آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَشَاهِدَيْهِ ، أَوْ قَالَ: وَشَاهِدَهُ وَكَاتِبَهُ
“Sungguh Nabi ﷺ telah melaknat pemakan riba, pemberi riba dan dua orang saksinya.” Atau dikatakan, “Saksinya dan pencatatnya.” (HR Abu Dawud).
Keempat: Pelaku riba akan mendapatkan siksa yang keras di neraka. Rasulullah ﷺ menuturkan salah satu kejadian yang beliau saksikan di dalam neraka saat perjalanan Mi’raj:
وَأَتَيْتُ عَلَى قَوْمٍ بُطُونُهُمْ كَالْبُيُوتِ فِيهَا الْحَيَّاتُ تُرَى مِنْ خَارِجِ بُطُونِهِمْ فَقُلْتُ: مَنْ هَؤُلاَءِ يَا جِبْرِيلُ؟ قَالَ هَؤُلاَءِ أَكَلَةُ الرِّبَا
Aku diperlihatkan suatu kaum yang perutnya (besar) seperti rumah yang penuh dengan ular dan ular-ular itu terlihat dari luar. Aku bertanya (kepada Jibril), “Siapakah mereka, Jibril?” Ia menjawab, “Mereka adalah para pemakan riba.” (HR Ahmad).
Alhasil, persoalannya adalah muamalah ribawi pada pinjol yang jelas haram, bukan persoalan legal atau ilegal.
Islam Menghapus Riba
Saat ini riba adalah bagian dari sistem ekonomi kapitalisme. Para kapitalis, seperti para pemilik bank, menjadikan pinjaman sebagai investasi untuk memperkaya diri dengan mengeksploitasi ekonomi orang lain dengan pinjaman berbunga yang mencekik.
Meski sudah banyak menelan korban, karena tak ada pilihan lain, jumlah orang yang terjerat pinjol semakin bertambah setiap tahunnya. OJK mencatat, jumlah penyaluran pinjaman online mencapai Rp 18,96 triliun per November 2022. Angka itu, dibandingkan dengan tahun lalu, meningkat sekitar 46,18%.
Dalam Islam memberikan utang adalah bagian dari amal salih untuk menolong sesama, bukan investasi untuk mendapatkan keuntungan, apalagi dijadikan alat untuk mengeksploitasi orang lain yang sedang membutuhkan. Nabi ﷺ bersabda:
مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ
Siapa saja yang meringankan suatu kesusahan (kesedihan) seorang Mukmin di dunia, Allah akan meringankan kesusahannya pada Hari Kiamat. Siapa saja yang memudahkan urusan seseorang yang dalam keadaan sulit, Allah akan memberi dia kemudahan di dunia dan akhirat (HR Muslim).
Orang yang memberikan pinjaman pun dianjurkan oleh Allah ﷻ untuk bersikap baik saat menagih haknya dan memudahkan urusan saudaranya yang meminjam. Allah ﷻ berfirman:
وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, berilah tangguh sampai dia lapang. Menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu lebih baik bagi kalian jika saja kalian mengetahui (TQS al-Baqarah [2]: 280).
Meski demikian seorang Muslim juga diingatkan dengan keras oleh Nabi ﷺ untuk tidak meremehkan utang dan tidak mudah berutang. Bahkan Aisyah ra. menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ sering memohon kepada Allah ﷻ perlindungan dari utang. Selain itu, utang yang belum dilunasi di dunia akan dituntut di akhirat. Rasul ﷺ bersabda:
نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ
Jiwa seorang Mukmin itu terkatung-katung dengan sebab utangnya sampai utangnya dilunasi (HR Ahmad).
Solusi atas muamalah ribawi hari ini tidak hanya sebatas individu. Ini karena muamalah ribawi telah menjadi persoalan sistemik yang menjerat banyak pihak di negeri ini. Oleh karena itu Islam mewajibkan Negara untuk melindungi rakyat dari praktik muamalah ribawi.
Dalam Islam, Negara Khilafah akan menghapuskan praktik ribawi karena haram, termasuk dosa besar, dan menghancurkan ekonomi. Selanjutnya Khilafah akan menata mekanisme proses utang-piutang yang sedang berjalan agar terbebas dari riba, dengan tetap menjaga hak-hak harta warga negara. Untuk itu, Khalifah akan menetapkan bahwa yang wajib dibayar hanyalah utang pokoknya. Adapun riba/bunga yang telah diambil oleh para pihak pemberi piutang wajib dikembalikan kepada pihak yang berutang.
Khalifah juga akan menjatuhkan sanksi terhadap warga yang masih mempraktikkan muamalah ribawi. Sanksi yang dijatuhkan berupa ta’zîr yang diserahkan pada keputusan hakim, bisa berupa penjara hingga cambuk. Sanksi dijatuhkan kepada semua yang terlibat riba; pemberi riba, pemakan riba, saksi riba dan para pencatatnya.
Kaum Muslim juga harus diingatkan agar tidak bergaya hidup konsumtif dan mudah berutang yang menyebabkan kesusahan. Khalifah Umar bin Abdul Aziz berwasiat, “Aku mewasiatkan kepada kalian agar tidak berutang meskipun kalian merasakan kesulitan. Sebabnya, sungguh utang itu adalah kehinaan pada siang hari dan kesengsaraan pada malam hari. Karena itu tinggalkanlah ia, niscaya kehormatan dan kedudukan kalian akan selamat, dan akan tersisa kemuliaan bagi kalian di antara manusia selama kalian hidup.” (‘Umar bin Abdil ‘Azîz, Ma’âlim al-Ishlâh wa at-Tajdîd, 2/71).
Negara Khilafah wajib memberikan rasa aman dan nyaman untuk setiap warganya, termasuk aman karena kebutuhan pokok mereka terpenuhi. Dalam Baitul Mal ada pos-pos pengeluaran yang ditujukan untuk kemaslahatan umum seperti untuk pendidikan, kesehatan, dsb. Di Baitul Mal juga ada Divisi Santunan (Dîwân al-Athâ’) yang menyediakan anggaran khusus untuk kaum fakir, miskin dan warga yang terjerat utang (Abdul Qadim Zallum, Al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah, hlm. 26).
Wahai kaum Muslim: Tanpa syariah Islam dalam naungan Khilafah, praktik muamalah ribawi akan terus eksis. Artinya, rakyat yang tercekik oleh kaum kapitalis yang berjiwa ribawi akan terus ada, bahkan bertambah. Beginilah hidup tanpa naungan syariah Islam dan pengayoman Khilafah.
Hikmah:
Nabi ﷺ bersabda:
إذا ظهَر الزِّنا والرِّبا في قريةٍ، فقد أحَلُّوا بأنفُسِهِمْ عذابَ الله
Jika telah terang-terangan zina dan riba di satu negeri, maka mereka telah menghalalkan untuk diri mereka azab Allah. (HR Hakim).
والله أعلمُ ﺑﺎ ﻟﺼﻮﺍﺏ
“dan Allah lebih tahu yang sebenar-benarnya”
Kaffah Edisi 304