Akhir September lalu seorang pria disabilitas di Kelurahan Singonegaran, Kecamatan Pesantren, Kota Kediri meninggal usai ditemukan kritis karena tak makan selama tiga hari. Lebih memilukan lagi, pria penyandang disabilitas ini ditemukan tergeletak di rumahnya, bersama jasad sang ibu yang diprakirakan meninggal sejak tiga hari sebelumnya.
Di Dusun Dawung Desa Pagerwojo, Kecamatan Kesamben, Kabupaten Blitar, seorang ibu dan dua anaknya yang juga disabilitas hidup dalam kemiskinan. Mereka makan hanya mengandalkan pemberian tetangga. Kadang makan, kadang tidak. Tinggal di rumah yang hampir roboh. Keluarga malang ini bahkan tak tersentuh bantuan Pemerintah karena belum punya e-KTP sebagai syarat.
Makin Terbebani
Dua kejadian di atas adalah sekelumit derita rakyat yang terjadi di tanah air. Masih banyak lagi jumlah warga miskin yang makin kesulitan memenuhi kebutuhan hidup. Menurut data BPS, jumlah warga miskin di Indonesia pada bulan Maret 2023 mencapai 25,90 juta orang. Pemerintah menetapkan bahwa pengeluaran masyarakat kurang dari Rp 17.851 per hari masuk kategori miskin atau di bawah garis kemiskinan. Namun, jika menggunakan ukuran Bank Dunia yang menetapkan warga dengan penghasilan di bawah US$ 2,15 per hari (sekitar Rp 33 ribu) terkategori miskin, maka jumlah warga miskin di Indonesia bisa mencapai 110 juta orang, alias 40% dari jumlah penduduk.
Melihat naiknya harga sejumlah kebutuhan pokok, kelihatannya angka kemiskinan versi Bank Dunia lebih riil. Meroketnya harga beras membuat warga di sejumlah daerah mencampur nasi dengan singkong untuk menyiasati makan sehari-hari. Bukan hanya beras. Sejumlah harga kebutuhan pokok lain seperti gula, telur, daging ayam juga naik. Para petani juga makin kesusahan karena sudah tidak ada lagi subsidi pupuk.
Untuk mendapatkan pekerjaan pun bukan hal yang mudah. Menurut Wapres, 14 dari 100 anak muda Indonesia tidak terserap lapangan kerja. Total jumlah pengangguran pada tahun 2023 ada 7,9 juta jiwa. Tentu saja ini menjadi tambahan beban kehidupan masyarakat.
Krisis ekonomi ini makin terasa dengan banyaknya keluhan para pedagang akan sepinya pembeli. Sudah beberapa tahun belakangan sejumlah mal tutup bahkan diobral karena makin sepi pengunjung. Para produsen dan pedagang juga menjerit karena membanjirnya barang-barang impor dari Cina yang harganya jauh lebih murah; apalagi yang dijual lewat e-commerce cross border, perdagangan online.
Namun, seperti menutup mata dari beban rakyat, Pemerintah tetap ngotot melanjutkan sejumlah proyek raksasa; pembangunan Ibu Kota Negara Nusantara (IKN) dan Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB). Padahal dua megaproyek tersebut menggerogoti APBN. Di sisi lain masih ada puluhan Proyek Strategis Nasional (PSN) yang mangkrak. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Menko) Airlangga Hartarto angkat suara perihal 58 Proyek Strategis Nasional (PSN) yang mangkrak. Totalnya bernilai 420 triliun rupiah.
Bukannya meringankan beban pengeluaran masyarakat, Pemerintah malah membuat keputusan menaikkan harga BBM seperti Pertamax, Pertamax Dex, Pertamax Turbo. Sebelumnya, Pemerintah juga telah menaikkan tarif sejumlah ruas tol. Kenaikan-kenaikan ini otomatis akan mendorong kenaikan harga dari barang dan jasa, menyebabkan menurunnya daya beli dan inflasi. Lagi-lagi rakyat pun semakin terjepit.
Islam dan Jaminan Kehidupan
Derita umat hari ini adalah hasil kebatilan sistem kapitalisme yang diterapkan penguasa. Dimana negara hanya berperan sebagai regulator. Negara tidak turut mengatur dan menjamin kehidupan warga. Rakyat dibiarkan berjuang sendiri dengan prinsip survival of the fittest. Siapa yang kuat, dia yang bertahan. Akibatnya, kemiskinan dan penderitaan semakin meruyak. Kesenjangan sosial semakin lebar menganga; ada 1% orang Indonesia yang jumlah kekayaannya sama dengan 46,6% total kekayaan seluruh penduduk Indonesia.
Karena itu saatnya umat menerapkan syariah Islam. Sebabnya, ini adalah tuntutan keimanan. Bukankah orang yang mengaku beriman harus taat pada hukum-hukum Allah? Apalagi syariah Islam berisi aturan yang memberikan jaminan kehidupan masyarakat. Ada sejumlah hukum Islam yang jika diterapkan akan menjaga pemenuhan kebutuhan tiap individu. Pertama: Islam mewajibkan setiap Muslim (pria) menjamin kebutuhan dirinya dan keluarganya. Rasulullah ﷺ bersabda:
ابْدَأْ بِنَفْسِكَ فَتَصَدَّقْ عَلَيْهَا ، فَإِنْ فَضَلَ شَيْءٌ فَلِأَهْلِكَ ، فَإِنْ فَضَلَ عَنْ أَهْلِكَ شَيْءٌ فَلِذِي قَرَابَتِكَ ، فَإِنْ فَضَلَ عَنْ ذِي قَرَابَتِكَ شَيْءٌ فَهَكَذَا وَهَكَذَا ، بَيْنَ يَدَيْكَ ، وَعَنْ يَمِينِكَ ، وَعَنْ شِمَالِكَ
Mulailah dari dirimu sendiri. Sedekahkanlah untuk dirimu. Selebihnya dari itu untuk keluargamu (anak dan istrimu). Selebihnya lagi dari itu untuk kerabat dekatmu. Selebihnya lagi dari itu untuk tujuan ini dan itu yang ada di hadapanmu, yang ada di kanan dan kirimu (HR Muslim).
Para suami/ayah telah diwajibkan Allah ﷻ untuk menjamin kebutuhan sandang, pangan dan tempat tinggal untuk keluarga mereka (lihat QS 2: 233 dan QS 65: 6). Nabi ﷺ menegur orang yang mengabaikan kewajiban nafkah untuk orang-orang yang wajib dia tanggung:
كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يَحْبِسَ عَمَّنْ يَمْلِكُ قُوتَهُ
Cukuplah seseorang itu dikatakan berdosa ketika dia menahan nafkah dari orang yang menjadi tanggungannya (HR Muslim).
Oleh karena itu kaum lelaki yang bermalas-malasan, tidak mau menafkahi dirinya dan orang-orang yang menjadi tanggungannya, akan dikenai sanksi. Mereka akan dipaksa untuk mencari nafkah. Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. pernah menegur dengan keras orang-orang yang duduk-duduk di masjid untuk beribadah, sementara orang-orang telah bertebaran mencari nafkah.
Kedua: Islam mewajibkan ihtimâm (kepedulian) kepada sesama Muslim, termasuk memenuhi hajat kaum dhuafa, khususnya orang-orang terdekat dan tetangga mereka. Rasulullah ﷺ bersabda:
لَيْسَ الْـمُؤْمِنُ الَّذيْ يَشْبَعُ وَجَارُهُ جَائِعٌ إلَى جَنْبِهِ
Bukan Mukmin orang yang kenyang perutnya, sedangkan tetangga sebelahnya kelaparan (HR al-Baihaqi).
Ketiga: Bagian terpenting dalam jaminan kebutuhan hidup adalah peran negara. Para ulama bersepakat bahwa kehadiran Negara (Khilafah) salah satunya adalah untuk mengatur urusan umat. Imam Al-Mawardi dalam kitabnya Al-Ahkâm As-Sulthâniyyah menyebutkan bahwa tujuan adanya Khilafah adalah untuk menjaga kepentingan agama dan pengaturan dunia. Baginda Nabi ﷺ bersabda:
الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Imam/Khalifah itu laksana penggembala dan dia bertanggung jawab terhadap gembalaannya (HR al-Bukhari dan Muslim).
Imam Hasan al-Bashri pernah memberikan nasihat pada Khalifah Umar bin Abdul Aziz tentang gambaran pemimpin yang adil, “Wahai Amirul Mukminin, pemimpin yang adil itu seperti seorang gembala yang memiliki belas kasihan terhadap untanya, berkawan dengannya, yang mencarikan untuknya padang rumput terbaik, melindunginya dari tempat makan yang berbahaya, melindunginya dari hewan buas, dan menempatkannya dari gangguan cuaca panas dan dingin.”
Kewajiban mengurus umat telah dicontohkan oleh Rasulullah ﷺ dengan harta yang diperoleh negara pada saat itu. Beliau memberikan jaminan hidup untuk ahlus-suffah yang tinggal di Masjid Nabawi. Beliau juga menjadikan dirinya sebagai penjamin bagi Mukmin yang meninggal, sedangkan ia memiliki utang atau tanggungan keluarga.
Syariah ini diteruskan oleh Khulafaur-Rasyidin. Khalifah Umar bin al-Khaththab ra., misalnya, pernah membangun dar ad-daqîq sebagai rumah singgah untuk para musafir. Di sana mereka boleh makan dan beristirahat. Beliau pun menyediakan pendidikan untuk kaum Muslim dan memberikan gaji yang layak untuk para pengajar. Khalifah Umar ra. juga memberikan insentif untuk anak-anak. Khalifah berikutnya, Utsman bin Affan ra., memberikan insentif 1 dirham setiap hari untuk kaum Muslim selama Ramadhan.
Para khalifah dari Bani Umayah juga melanjutkan kewajiban mengurus umat seperti membangun rumah sakit-rumah sakit, termasuk rumah sakit khusus untuk penderita kusta, secara gratis. Ini adalah rumah sakit pertama untuk penderita kusta dalam sejarah dunia. Mereka juga mendirikan rumah-rumah panti jompo, juga rumah-rumah untuk orang-orang yang tersesat. Mereka pun melakukan pelunasan utang warga yang dililit utang, melakukan pembebasan tawanan Muslim, serta subsidi nikah. Pada periode 120-126 H, Kekhilafahan Umayah menganggarkan dana sebanyak 10 ribu dirham untuk penanganan bencana dan pemerdekaan budak.
Sebaliknya, Islam mengancam para penguasa yang menelantarkan kebutuhan rakyat, apalagi menghalangi hak-hak mereka. Sabda Rasulullah ﷺ:
مَا مِنْ إِمَامٍ يُغْلِقُ بَابَهُ دُونَ ذَوِي الْحَاجَةِ وَالْخَلَّةِ وَالْمَسْكَنَةِ إِلَّا أَغْلَقَ اللَّهُ أَبْوَابَ السَّمَاءِ دُونَ خَلَّتِهِ وَحَاجَتِهِ وَمَسْكَنَتِهِ
Tidak seorang pemimpin pun yang menutup pintunya dari orang yang membutuhkan, orang yang kekurangan dan orang miskin, kecuali Allah akan menutup pintu langit dari kekurangan, kebutuhan dan kemiskinannya (HR at-Tirmidzi).
Namun, sadarkah kita, bahwa pemimpin yang adil yang bekerja keras untuk menjamin kehidupan warganya hanya terwujud jika umat ini menerapkan syariah Islam dalam naungan Khilafah? Selain itu tidak mungkin terjadi.
Hikmah:
Imam Hasan al-Bashri menulis surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz:
والإمام العدل يا أمير المؤمنين كالأم الشفيقة البرة الرفيقة بولدها، حملته كرهًا، ووضعته كرهًا، وربته طفلاً تسهر بسهره، وتسكن بسكونه
“Pemimpin yang adil, wahai Amirul Mukminin, adalah seperti ibu yang penyayang, yang amat penuh perhatian terhadap anaknya, yang membawanya saat hamil meskipun dalam keadaan sulit, melahirkannya dalam keadaan sulit, mendidiknya saat ia masih kecil, menjaganya pada waktu malam ketika anaknya sakit, yang merasa tenang dengan tenangnya anaknya.” (Abu Amr Ahmad bin Muhammad, Al-'Aqd al-Farîd, 1/10).
والله أعلمُ ﺑﺎ ﻟﺼﻮﺍﺏ
“dan Allah lebih tahu yang sebenar-benarnya”
Kaffah Edisi 313