Dalam Islam kekuasaan sangatlah penting. Begitu pentingnya, kekuasaan sering disandingkan dengan agama. Sebagian ulama, seperti Imam al-Ghazali rahimahulLâh, menyatakan:
الدِّيْنُ وَالسُّلْطَانُ تَوْأَمَانِ، وَلِهَذَا قِيْلَ: الدِّيْنُ أُسٌ وَالسُّلْطَانُ حَارِسٌ وَمَا لاَ أُسَ لَهُ فَمَهْدُوْمٌ وَمَا لاَ حَارِسَ لَهُ فَضَائِعٌ
Agama dan kekuasaan itu ibarat dua saudara kembar. Karena itu sering dikatakan: Agama adalah fondasi, sementara kekuasaan adalah penjaganya. Apa saja yang tidak memiliki fondasi akan hancur. Apa saja yang tidak memiliki penjaga akan lenyap (Abu Hamid al-Ghazali, Al-Iqtishâd fî al-I’tiqâd, 1/78).
Berkat agama (Islam) yang bersanding dengan kekuasaan, kata Imam ar-Razi rahimahulLâh, Allah ﷻ menghilangkan berbagai keburukan dunia dari manusia (Lihat: Fakhruddin ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, 3/424).
Fungsi Kekuasaan
Pentingnya kekuasaan sangat disadari oleh Rasulullah ﷺ. Karena itulah, sejak awal, beliau berdoa kepada Allah ﷻ agar diberi suatu kekuasaan (sulthân). Bukan sembarang kekuasaan. Namun, kekuasaan yang bisa menolong agama-Nya (sulthân[an] nashîrâ). Allah ﷻ berfirman:
وَقُلْ رَبِّ أَدْخِلْنِي مُدْخَلَ صِدْقٍ وَأَخْرِجْنِي مُخْرَجَ صِدْقٍ وَاجْعَلْ لِي مِنْ لَدُنْكَ سُلْطَانًا نَصِيرًا
Katakanlah (Muhammad), “Tuhanku, masukkanlah aku dengan cara masuk yang benar, keluarkan aku dengan cara keluar yang benar dan berilah aku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong.” (TQS al-Isra’ [17]: 80).
Berkaitan dengan ayat di atas, Imam Ibnu Katsir rahimahulLâh, dengan mengutip Qatadah ra., menyatakan:
إِنَّ نَبِيَّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلِمَ أَلاَّ طَاقَةَ لَهُ بِهَذَا اْلأَمْرِ إِلاَّ بِسُلْطَانٍ. فَسَأَلَ سُلْطَانًا نَصِيْرًا لِكِتَابِ اللهِ، وَلِحُدُوْدِ اللهِ، وَلِفَرَائِضِ اللهِ، وَلِإِقَامَةِ دِيْنِ اللهِ؛ فَإِنَّ السُّلْطَانَ رَحْمَةٌ مِنَ اللهِ جَعَلَهُ بَيْنَ أَظْهُرِ عِبَادِهِ، وَلَوْلاَ ذَلِكَ لَأَغَارَ بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ، فَأَكَلَ شَدِيْدُهُمْ ضَعِيْفَهُمْ
Sungguh Nabi Muhammad ﷺ menyadari bahwa beliau tidak punya daya/kekuatan untuk menegakkan agama ini (Islam), kecuali dengan kekuasaan. Karena itulah beliau memohon kepada Allah kekuasaan yang bisa menolong Kitabullah (al-Quran), melaksanakan hudûd Allah, menunaikan berbagai kewajiban dari Allah dan menegakkan agama Allah (Islam). Sungguh kekuasaan adalah rahmat yang Allah berikan kepada para hamba-Nya. Andai bukan karena kekuasaan tersebut, orang-orang bisa saling menyerang (menzalimi) satu sama lain sehingga pihak yang kuat bisa memangsa pihak yang lemah (Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, 5/111).
Dari penjelasan Imam Ibnu Katsir tersebut bisa disimpulkan bahwa ada dua fungsi kekuasaan yang utama:
Pertama, untuk menegakkan agama Islam. Inilah yang sekaligus menjadi motif utama Rasulullah ﷺ untuk meminta kekuasaan kepada Allah ﷻ. Faktanya, ketika pada akhirnya Rasulullah ﷺ benar-benar menjadi penguasa (kepala negara) Daulah Islam di Madinah, kekuasaan beliau benar-benar diorientasikan untuk menegakkan Islam dan menyebarluaskan dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.
Kedua, untuk mengurus berbagai urusan dan kepentingan masyarakat. Tentu dengan menggunakan syariah Islam. Inilah juga yang dipraktikkan oleh Rasulullah ﷺ sebagai penguasa (kepala negara). Dengan itu semua warga negara (Muslim maupun non-Muslim) terurus dan terayomi dengan baik. Tidak ada yang berani saling menzalimi. Tidak ada pihak yang kuat memangsa pihak yang lemah.
Kondisi demikian berbeda dengan saat ini. Sekarang ini Islam dan kekuasaan dipisahkan. Negara memberlakukan ideologi Kapitalisme-sekuler. Tidak memberlakukan syariah Islam. Akibatnya, penguasa bukan hanya gagal mencegah berbagai kezaliman yang menimpa rakyatnya. Penguasa yang berkolaborasi dengan oligarki bahkan sering menjadi aktor utama dalam berbagai kebijakan zalim terhadap rakyatnya. Pihak yang kuat (oligarki) acapkali difasilitasi oleh negara untuk “memangsa” pihak yang lemah, yakni rakyat.
Apa bentuk fasilitasnya? Tidak lain aneka UU dan kebijakan negara yang menguntungkan oligarki dan merugikan rakyat. Contohnya adalah pengesahan sejumlah UU oleh Pemerintah seperti UU Migas, UU Mineral dan Batubara, UU Kelistrikan, Omnibus Law, UU IKN, dll. Semuanya memberikan keleluasaan kepada oligarki untuk merampas sekaligus menguasai berbagai sumberdaya alam milik rakyat seperti hutan, minyak dan gas, mineral dan batubara, barang tambang (seperti emas, perak, timah, nikel, dll) dan sebagainya. Rakyat yang notabene pemilik berbagai sumber daya alam tersebut tak kebagian apa-apa selain ‘ampas’-nya.
Karena itulah, dalam pandangan Islam, tidak ada artinya kekuasaan jika tidak digunakan untuk menegakkan Islam dan menyebarluaskan dakwah Islam. Tidak ada artinya pula kekuasaan jika tidak digunakan untuk mengurus berbagai urusan dan kepentingan rakyat dengan syariah Islam.
Sayangnya, selama negara ini berdiri sejak kemerdekaan, bangsa ini memilih sekularisme, yakni ide yang memisahkan agama (Islam) dari kekuasaan. Meski berpenduduk mayoritas Muslim, Islam tidak dipilih untuk berdampingan dengan kekuasaan. Islam selalu dijauhkan dari kekuasaan. Bahkan isu Islam dan syariah Islam acapkali absen dalam setiap momen pergantian kekuasaan, seperti saat Pilpres/Pemilu. Saat ini, misalnya, tak ada satu pun paslon Muslim ataupun partai Islam yang mengusung agenda penerapan syariah Islam.
Padahal negeri ini berpenduduk mayoritas Muslim. Wajib dan sudah sepantasnya mereka hidup diatur oleh syariah Islam. Tak hanya dalam ibadah ritual, urusan moral atau perkara spiritual saja. Syariah Islam pun wajib dan layak digunakan untuk mengatur urusan ekonomi, sosial, pendidikan, politik, pemerintahan, hukum/peradilan, dll. Sebabnya jelas. Islam bukan sekadar agama ritual, spiritual dan moral belaka. Islam adalah mabda’ (ideologi) dan sistem kehidupan.
Selain itu, hanya sedikit ulama yang menyerukan para penguasa atau para calon penguasa agar memimpin dan mengurus rakyat dengan syariah Islam. Memang, dalam setiap Pilpres/Pemilu, tak sedikit ulama termasuk MUI yang memfatwakan umat Islam wajib memilih pemimpin dan haram golput. Namun, sedikit sekali ulama yang memfatwakan pemimpin atau penguasa wajib menegakkan syariah Islam secara kâffah dalam seluruh aspek kehidupan.
Padahal dalam kitab-kitab para ulama fiqih, misalnya, tak hanya dibahas bab thaharah (bersuci) dan ubudiyah (shalat, puasa, zakat atau haji) saja. Di dalamnya juga dibahas bab muamalah, termasuk ekonomi dan siyâsah (politik), hudûd hingga imamah (khilafah), bahkan jihad (perang) fi sabilillah, dll. Sampai saat ini pun, kitab-kitab para ulama fiqih itu di antaranya yang ditulis sejak ratusan tahun lalu tetap dikaji para santri dan diajarkan oleh para ulama/kiai, khususnya di pondok-pondok pesantren.
Kitab-kitab fiqih karya Imam Syafii dan para ulama mazhab Syafii, misalnya yang dianut oleh mayoritas umat Islam di negeri ini jelas mengajarkan semua perkara yang disebutkan di atas. Sayangnya, semua itu tak diserukan oleh para ulama untuk diterapkan oleh penguasa di negeri yang mayoritas berpenduduk Muslim ini.
Padahal katanya, bangsa ini ingin maju. Ingin sejahtera, adil dan makmur. Jelas, sejahtera, adil dan Makmur hanya mungkin saat umat Islam mengamalkan dan menerapkan syariah Islam. Demikian sebagaimana dinyatakan oleh Sayyid Muhammad bin ‘Alawi al-Maliki rahimahulLâh:
فَلَوْ أَنَّ الْمُسْلِمِيْنَ (الْيَوْمَ) عَمِلُوْا بِأَحْكَامِ الْفِقْهِ وَ الدِّيْنِ كَمَا كَانَ أَبَاءُهُمْ لَكَانُوْا أَرْقَ اْلأَمَمِ وَ أَسْعَدَ النَّاسِ
Andai kaum Muslim hari ini menerapkan hukum-hukum fiqih dan (syariah) agama ini, sebagaimana generasi pendahulu mereka (pada masa lalu), niscaya mereka menjadi umat yang paling maju dan paling bahagia (Sayyid Muhammad bin ‘Alawi al-Maliki al-Hasani, Syarî’atulLâh al-Khâlidah, hlm. 7).
Wujud Iman dan Takwa
Jelas, dalam Islam, fungsi kekuasaan adalah untuk menegakkan Islam serta mengurus berbagai urusan dan kepentingan rakyat dengan syariah Islam. Semua ini adalah wujud keimanan dan ketakwaan kepada Allah ﷻ. Saat negeri yang berpenduduk mayoritas Muslim ini benar-benar beriman dan bertakwa maka kemakmuran, kesejahteraan, keadilan serta aneka kebaikan (keberkahan) pasti dirasakan oleh mereka. Allah ﷻ berfirman:
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Andai saja penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan membuka untuk mereka keberkahan dari langit dan bumi. Akan tetapi, mereka telah mendustakan (ayat-ayat Kami). Karena itu Kami menyiksa mereka sebagai akibat dari apa yang mereka perbuat itu (TQS al-A’raf [7]: 96).
Keimanan dan ketakwaan tentu saja diwujudkan dengan kemauan untuk menjalankan dan menerapkan seluruh syariah Islam secara kâffah dalam semua aspek kehidupan. Itulah yang dipraktikkan oleh Baginda Nabi Muhammad selaku penguasa Negara Islam di Madinah dulu. Beliau mengatur negara dan rakyat beliau hanya dengan syariah Islam. Sedikitpun beliau tidak mengambil aturan lain selain dari wahyu telah Allah ﷻ turunkan kepada beliau. Kekuasaan beliau lalu dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin dan para khalifah setelah mereka. Jelas, para khalifah pun, sepanjang sejarah Kekhilafahan Islam selama tidak kurang dari 13 abad, hanya menggunakan syariah Islam dalam mengatur negara dan rakyat mereka.
Baru setelah Khilafah Islam terakhir, Khilafah Utsmaniyah, diruntuhkan oleh Barat (Inggris) melalui agennya Mustafa Kemal Ataturk pada tanggal 3 Maret 1924, kaum Muslim tidak diatur oleh syariah Islam, kecuali dalam urusan ibadah dan sedikit muamalah. Sebagian besar aspek kehidupan mereka diatur oleh aturan-aturan sekuler yang bersumber dari Barat kafir penjajah. Itulah yang terjadi. Termasuk di negeri tercinta ini.
Pertanyaannya: Maukah kita kembali diatur oleh syariah Islam, yang notabene merupakan aturan-aturan Allah ﷻ, sementara kita mengaku sebagai hamba-Nya?!
والله أعلمُ ﺑﺎ ﻟﺼﻮﺍﺏ
“dan Allah lebih tahu yang sebenar-benarnya”
Kaffah Edisi 333