Menteri Investasi atau Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia berencana untuk memberikan wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) kepada organisasi masyarakat (ormas) keagamaan mendatangkan protes. Alasan Pemerintah memberikan konsesi pertambangan pada ormas karena mereka berjasa pada bangsa dan negara. Selain itu, juga agar izin usaha pertambangan jangan hanya dikuasai oleh perusahaan-perusahaan raksasa.
Sejumlah ormas keagamaan secara terbuka menolak. Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) dan Huriah Kristen Batak Protestan (HKBP) termasuk yang menolak. Dari ormas Islam baru PBNU yang menyatakan menerima tawaran konsesi tersebut dengan alasan mereka membutuhkan.
Fitnah untuk Ulama
Selain soal kerusakan lingkungan, pemberian konsesi pertambangan dikhawatirkan menjadi alat untuk mengambil hati ormas Islam dan tokoh-tokohnya. Akibatnya, para ulama akan berada di barisan kekuasaan. Saat demikian penguasa mendapatkan legitimasi atas berbagai kebijakannya yang bisa merugikan masyarakat dan bertentangan dengan syariah Islam. Bisa juga fatwa ulama dipakai untuk menutupi berbagai borok-borok kekuasaan.
Ini tentu mencemaskan. Pasalnya banyak kebijakan rezim yang merugikan masyarakat dan menguntungkan oligarki. Misalnya saja politik dinasti, bancakan berbagai jabatan dan kekuasaan untuk kalangan penguasa, pelemahan pemberantasan korupsi, kenaikan PPN menjadi 12,5%, pungutan Tapera, krisis rupiah terhadap dolar, utang luar negeri yang makin bengkak, judi dan pinjaman online yang makin merajalela, dll. Semua itu disebabkan oleh buruk pengelolaan negara dan masyarakat serta menyalahi syariat Islam.
Dalam kondisi demikian, tentu bencana bagi umat jika para ulama malah menjadi stempel kebijakan zalim penguasa atau malah menjadi bemper penguasa untuk menghadapi umat. Baginda Nabi ﷺ mengingatkan bahwa golongan yang menjadi penyebab terbesar kerusakan umat adalah para ulama yang menjadi fasik. Sabda beliau:
هَلَاكُ أُمَّتِي عَالِمٌ فَاجِرٌ وَعَابِدٌ جَاهِلٌ، وَشَرُّ الشِّرَارِ أَشْرَارُ الْعُلَمَاءِ،
Kerusakan umatku adalah oleh ulama yang jahat dan orang bodoh yang beribadah (tanpa ilmu). Seburuk-buruknya kejahatan adalah kejahatan ulama (HR Ahmad).
Sebab itulah Rasulullah ﷺ mengingatkan para ulama agar berhati-hati dalam berinteraksi dengan penguasa. Bahkan sekadar mendekati penguasa saja bakal mendatangkan fitnah. Sabda Nabi ﷺ:
وَمَنْ أَتَى أَبْوَابَ السُّلْطَانِ افْتُتِنَ وَمَا ازْدَادَ عَبْدٌ مِنْ السُّلْطَانِ قُرْبًا إِلَّا ازْدَادَ مِنْ اللَّهِ بُعْدًا
Siapa saja yang mendatangi pintu-pintu penguasa niscaya terkena fitnah. Tidaklah seorang hamba makin dekat dengan penguasa kecuali makin jauh dari Allah (HR Ahmad, Abu Dawud, al-Baihaqi, Ibnu ‘Adi dan al-Bukhari dalam Târîkh al-Kabîr).
Kedekatan dengan penguasa bisa membuat para ulama makin jauh dari Allah. Dalam riwayat lain ada perintah untuk menjauhi pintu-pintu penguasa. Rasul ﷺ bersabda:
إيَّاكُمْ وَأبْوَابَ السُّلطَانَ، فَإِنَّهُ قَدْ أَصبَحَ صَعْبًا هبُوطًا
Waspadalah kalian terhadap pintu-pintu penguasa karena sesungguhnya hal itu akan menyebabkan kesulitan dan kehinaan (HR ath-Thabarani dan ad-Dailami).
Al-Munawi dalam kitab Faydh al-Qadîr menjelaskan hadis di atas bahwa pintu-pintu penguasa akan menyebabkan kesulitan besar bagi ulama serta mendatangkan kedudukan yang hina di dunia dan akhirat (Al-Munawi, Faydh al-Qadîr, 3/120, Maktabah Syamilah).
Ulama lain, Syaikh al-Mubarakfuri dalam kitab Tuhfah al-Akhwadzi menerangkan sabda Rasul saw. uftutina; maknanya adalah waqa’a fî al-fitnah (terjatuh ke dalam fitnah). Sebabnya, jika ulama telah menyetujui penguasa atas kebijakannya (yang menyimpang dari syariah islam, red.) dan memuji-muji penguasa itu maka sungguh dia membahayakan agamanya. Sebaliknya, jika dia menyalahi penguasa (yang menyimpang) itu maka boleh jadi dia membahayakan dunianya.
Para ulama salafus-shâlih memberikan teladan dengan tidak gegabah mendatangi istana-istana para penguasa. Imam Malik, misalnya, pernah menolak permintaan Khalifah Harun ar-Rasyid agar datang ke istana beliau untuk mengajarkan agama kepada keluarganya. Imam Malik mengeluarkan pernyataan yang masyhur yang ditujukan kepada Khalifah Harun ar-Rasyid: “Al-‘Ilmu yu’ta wa lâ ya’ti (Ilmu itu didatangi, bukan mendatangi).”
Bahkan para ulama terdahulu tidak suka mendatangi para penguasa, apalagi untuk mendapatkan jabatan dan kekayaan. Mereka menggolongkan perbuatan itu sebagai perilaku yang menjijikkan. Muhammad bin Maslamah rahimahulLâh berkata, “Lalat di atas kotoran lebih baik daripada ulama yang berada di pintu penguasa.”
Meski begitu, bukan berarti tidak ada ulama yang mendatangi para penguasa. Namun, kedatangan mereka bukan untuk mencari harta dan jabatan, tetapi untuk melakukan amar makruf nahi mungkar serta mengoreksi sikap keliru dan zalim para penguasa. Mereka melakukan apa yang diperintahkan Baginda Rasulullah ﷺ:
سَيِّدُ الشُّهَدَاءِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَمْزَةُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ، وَرَجُلٌ قَامَ إِلَى إِمَامٍ جَائِرٍ، فَنَهَاهُ وَأَمَرَهُ، فَقَتَلَهُ
Pemimpin para syuhada pada Hari Kiamat adalah Hamzah bin Abdul Muthalib dan seseorang yang berdiri di hadapan penguasa yang jahat, lalu dia melarang penguasa jahat tersebut dari kemungkaran dan menyuruh dia berbuat kemakrufan, namun kemudian penguasa itu membunuh dirinya (HR ath-Thabarani).
Namun, jika para ulama datang kepada para penguasa sekadar menjadi stempel mereka dan menjustifikasi kebijakan zalim mereka, maka Allah ﷻ mengingatkan:
وَلَا تَرْكَنُوٓا۟ إِلَى ٱلَّذِينَ ظَلَمُوا۟ فَتَمَسَّكُمُ ٱلنَّارُ وَمَا لَكُم مِّن دُونِ ٱللَّهِ مِنْ أَوْلِيَآءَ ثُمَّ لَا تُنصَرُونَ
Janganlah kalian cenderung kepada orang-orang yang zalim yang bisa menyebabkan kalian disentuh api neraka. Sekali-kali kalian tidak mempunyai seorang penolong pun selain Allah, kemudian kalian tidak akan diberi pertolongan (TQS Hud [11]: 113).
Butuh Ulama Pejuang
Dalam kondisi yang rusak saat ini para ulama justru harus hadir melakukan amar makruf nahi mungkar; mengoreksi penguasa dan menyerukan Islam sebagai satu-satunya solusi terbaik untuk negeri. Para ulama harus mengingatkan para penguasa bahwa penyebab krisis multidimensi yang melanda negeri adalah karena syariah Islam tidak diterapkan untuk mengatur negeri ini.
Terkait kebijakan pertambangan, misalnya, ada tiga persoalan yang mestinya disampaikan oleh para ulama. Pertama: Mengoreksi rezim atas kebijakan pertambangan yang hanya menguntungkan oligarki, tidak menyejahterakan rakyat, tetapi justru menciptakan berbagai bencana dan kesusahan. Fakta menunjukkan pertambangan batubara, misalnya, baik legal maupun ilegal, telah membahayakan dan merugikan warga sekitar. Ribuan lubang bekas tambang yang dibiarkan terbuka menyebabkan banyak jatuh korban meninggal karena terperosok atau tenggelam. Ketersediaan air bersih juga terancam akibat pencemaran pertambangan yang mengancam manusia, ternak dan tanaman.
Sebaliknya, warga sekitar justru jauh dari sejahtera. Bahkan hidup mereka semakin berat karena terdampak kerusakan lingkungan. Riset Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menunjukkan 80 persen dari seluruh wilayah tambang di Indonesia berisiko terhadap ketahanan pangan dan berujung pada kemiskinan. Hanya para pemilik pertambangan yang diuntungkan dengan bisnis mereka.
Para penguasa harus diajari bahwa Islam mengharamkan tindak kemadaratan bagi lingkungan, apalagi bagi manusia. Sabda Nabi ﷺ:
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ
Tidak boleh ada kemadaratan, juga tidak boleh menimpakan kemadaratan (kepada orang lain) (HR Ibnu Majah).
Kedua: Para ulama harus menyampaikan kepada para penguasa hukum Islam terkait pengelolaan tambang yang semestinya dipegang oleh negara untuk kesejahteraan rakyat. Nabi saw. pernah menarik kembali konsesi tambang garam yang sempat diberikan kepada Abyadh bin Hammal setelah tahu depositnya berjumlah besar. Hal ini menjadi dasar hukum bahwa tambang-tambang yang memiliki deposit yang besar adalah milik umum, haram hukumnya diserahkan kepada swasta, baik perusahaan maupun ormas.
Para ulama saatnya menyerukan pencabutan berbagai undang-undang yang mengizinkan swastanisasi berbagai sumber daya alam. Sebabnya, semua itu bertentangan dengan syariah Islam. Menurut syariah Islam, semua sumber daya alam yang menjadi hajat hidup publik adalah milik umum yang harus dikelola sebaik-baiknya oleh negara. Nabi saw. bersabda:
اَلْمُسْلِمُوْنَ شُرَكَاءُ في ثلَاَثٍ فِي الْكَلَإِ وَالْماَءِ وَالنَّار
Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu: padang rumput, air dan api (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Ketiga: Para ulama berkewajiban menyadarkan umat dan menjelaskan kepada mereka bahwa pangkal kerusakan hari ini adalah ketiadaan penerapan syariah Islam dalam berbagai bidang kehidupan. Allah ﷻ telah mengingatkan:
وَأَنَّ هَٰذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ۚ ذَٰلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Ini adalah jalan-Ku yang lurus. Ikutilah jalan itu dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain). Sebabnya, jalan-jalan itu akan menceraiberaikan kalian dari jalan-Nya. Yang demikian Allah perintahkan agar kalian bertakwa (TQS al-An’am [6]: 153).
Semoga para ulama tidak terjebak fitnah penguasa, lalu berpaling membenarkan kedustaan dan kezaliman mereka. Sungguh betapa keras ancaman Allah ﷻ terhadap para ulama yang bersekutu dengan para penguasa yang zalim.
Hikmah:
Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahulLâh berkata:
رُبَمَا دَخَلَ اَلْعَالِمُ عَلَى الْمَلِكِ وَمَعَهُ شَىْءٌ مِن دِيْنِهِ فَيَخْرُجُ وَلَيْسَ مَعَهُ شَىْءٌ. قِيْلَ لَهُ: وَ كَيْفَ ذَلِكَ؟ قَالَ: يُصَدِّقُهُ فِى كَذِبِهِ، وَيَمْدَحُهُ فِى وَجْهِهِ
“Boleh jadi seorang ulama yang mendatangi penguasa sambil membawa agamanya, ketika dia pulang, agamanya hilang.” Beliau ditanya, “Bagaimana bisa agamanya hilang?” Beliau menjawab, “Saat dia membenarkan kebohongan penguasa tersebut dan memuji-muji penguasa tersebut di hadapannya.” (Ibnu Bathal, Syarh Shahîh al-Bukhârî, 1/131, Maktabah Syamilah).
والله أعلمُ ﺑﺎ ﻟﺼﻮﺍﺏ
“dan Allah lebih tahu yang sebenar-benarnya”
Kaffah Edisi 348